Menyusuri Jejak Orang Utan di Alam Ketambe

Waktu Baca 20 Menit

Menyusuri Jejak Orang Utan di Alam Ketambe
Orang Utan di belantara Ketambe. [readers.ID/Muhammad]

Empat gelas kopi baru saja disuguhkan seorang perempuan paruh baya di atas meja di hadapanku, Junaidi, Yulham, dan Arwin. Saat itu, kami berempat sedang asik membicarakan tentang orang utan.

"Diminum kopinya," kata perempuan itu usai menyajikan empat gelas kopi yang tampak masih menyemburkan asap tipis.

"Bi, saya gak bisa kenak kopi pagi-pagi. Gak tahan lagi lambung. Saya dibuatkan teh saja," pinta Junaidi.

Wanita itu memang dikenal dengan panggilan Bibi, bagi mereka yang sering berkunjung ke Stasiun Penelitian Ketambe di Aceh Tenggara, tempat yang dikenal sebagai salah satu kawasan habitat orang utan di Indonesia.

Junaidi sendiri terbilang sering berkunjung ke tempat yang dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dan Forum Konservasi Leuser (FKL) tersebut.

Bahkan, ia sudah kenal dekat dengan Arwin, pria yang menyambut kami ke tempat itu, Minggu lalu (4/4/2021), ketika matahari menembus sela pepohonan di kawasan Leuser yang masih berselimut kabut.

Arwin orang penting di tempat riset yang masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tersebut. Ia menjabat Kepala Stasiun Penelitian Ketambe.

Tak ada kacang atau pun makanan ringan lainnya di meja kami, selain hanya empat gelas kopi yang sudah disajikan sebelumnya oleh Bibi. Walau begitu, obrolan kami tetap berlanjut.

Arwin bercerita tentang upayanya dalam beberapa hari terakhir mencari orang utan. Namun primata langka itu tak kunjung ditemukan.

"Sudah lebih dua hari ini orang utan gak nampak. Padahal sudah kami cari juga sampai masuk ke dalam," kata Arwin.

Pria berusia 41 tahun itu memang sebelumnya berjanji kepada saya, Junaidi, Yulham, dan beberapa rekan jurnalis lainnya untuk menunjukkan keberadaan orang utan, ketika rombongan akan berkunjung ke stasiun penelitian yang ada sejak 1971 tersebut.

Gemuruh air dari alur Sungai Alas yang hanya berjarak dua tiang listrik jelas terdengar. Kicauan burung mengalun, begitu pula raungan serangga yang saling bersahutan.

Di sela pembicaraan, Bibi kembali datang membawa teh yang diminta Junaidi tadi. Sambil menyeruput teh itu, matanya terus mengintai ke arah dahan pepohonan di belakang dapur Stasiun Penelitian Ketambe, tempat kami berkumpul.

Entah ada firasat apa, Junaidi pun beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam hutan, meninggalkan saya, Arwin, dan Zulham yang masih asik mengobrol.

Asap tipis masih menyembul di gelas milik Junaidi meski sebagian isinya telah diserut. Tiba-tiba pria itu kembali dengan langkah terpacu sembari menebarkan senyum.

"Ada orang utan satu di pohon situ," Junaidi memberitahu kami.

Pembahasan terhenti. Sejurus kemudian, gelas berisi kopi dan teh yang sebelumnya telah dihidangkan sontak tak bertuan.

Langkah-langkah saling mengikuti, sedangkan setiap mata tertuju pada dahan yang mengayun tanpa melodi.

"Jangan ribut-ribut ya," ujar Junaidi meminta kami tidak gaduh ketika menunjukkan posisi salah satu primata kunci di Taman Hutan Gunung Leuser itu.

Di balik dedaunan hijau, terlihat satu orang utan yang menggantung di ujung dahan pohon rambong uahuah. Ia tampak sedang memetik buah berukuran biji kopi robusta tersebut dari tangkai lalu memakannya.

Momen langka itu pun tak ingin dilewatkan begitu saja dari lensa kamera. "Klik, klik, klik," beberapa momen aktivitas satwa langka yang diperkirakan berusia lebih 20 tahunan itu pun diabadikan.

Bukannya beranjak masuk ke dalam hutan, orang utan berjenis kelamin betina itu malah mendekati pohon di belakang dapur. Sehingga buah rambong uahuah yang masih terselip di mulutnya jelas terpampang.

Penampakan seperti ini berlangsung lebih kurang dua jam. Sebelumnya akhirnya orang utan yang belakangan diketahui bernama Kelli ini kembali masuk ke dalam belantara Taman Nasional Gunung Leuser.

Pencarian keberadaan orang utan tak hanya sampai di situ. Keesokan harinya, Senin (5/4/2021), Arwin mengajak saya beserta delapan orang lainnya masuk ke dalam hutan. Selain untuk memonitor hutan yang diakui masih murni atau primer itu, tentunya sembari melacak keberadaan orang utan dan beberapa satwa dilindungi lainnya.

Cahaya matahari pagi itu tidak begitu mampu menembus hingga ke halaman Stasiun Penelitian Ketambe. Sebab gumpalan awan masih tampak mengitari di atasnya.

Usai memastikan semua keperluan selama perjalanan dianggap telah siap, sekitar pukul 10.00 WIB, rombongan mulai bergerak masuk ke dalam hutan.

Di dalam hutan, titik-titik air masih terlihat hampir di setiap dedaunan. Sedangkan tanah begitu mudah menyimpan jejak yang dilalui rombongan.

Suara deru kendaraan yang lalu-lalang melintasi jalan Gayo Lues-Aceh Tenggara pun telah berganti dengan kicauan burung, aungan serangga serta satwa lainnya.

Jika berdiri, kita hanya bisa melihat rona hijau, merah, cokelat dari warna dedaunan dan tanaman menjalar pada pepohonan yang menjulang ke langit. Selebihnya, hanya batang-batang kayu yang merebah ke tanah akibat kalah dengan alam.

Monitor sekaligus pencarian keberadaan orang utan di dalam hutan belantara ternyata tidaklah mudah. Tak seperti di hari sebelumnya.

Lebih kurang tiga jam rombongan menyusuri jalanan mendaki, menurun, serta melalui alur-alur air, namun belum ada tanda-tanda keberadaan orang utan maupun satwa lainnya. Yang terdengar hanya suara monyet, siamang, dan lutung. Suara rangkong badak juga menggema di tengah rimba meski tak diketahui keberadaannya.

Rombongan pun memutuskan untuk kembali ke stasiun penelitian, mengingat matahari sudah sedikit lebih condong ke barat. Sedangkan perbekalan makan tidak dibawa, mengingat patroli dilakukan hanya sementara.

Singkat cerita, rombongan telah berada di stasiun penelitian. Sebagian ada yang beristirahat di kamar dan lainnya duduk di salah satu bangunan yang biasa dijadikan dapur di tempat penelitian ini.

Lihat Foto:

Tiba-tiba salah seorang petugas memberitahu bahwa ada dua orang utan sedang bermain di dahan pohon pikus. Lagi-lagi momen keberadaan orang utan jantan dan betina pantang dilewatkan begitu saja.



Stasiun Penelitian Ketambe merupakan salah satu tempat habitatnya orang utan (Pongo abelii) dan beberapa satwa dilindungi lainnya di Indonesia.

Arwin mengatakan, kehidupan orang utan di tempat yang didirikan oleh Herman D Rijksen, warga berkebangsaan Belanda sejak 1971 itu, tidak terganggu dengan keberadaan manusia.

Seperti tiga orang utan yang terlihat selama dua hari ketika rombongan jurnalis berada di stasiun penelitian tersebut. Di sini, orang utan akan beraktivitas seperti biasa dan tidak akan kabur saat berjumpa dengan manusia, walau terkadang jaraknya tak lebih daripada tingginya pohon kelapa.

Orang utan yang berada di stasiun penelitian ini merasa tidak begitu terancam ketika manusia hadir di antara mereka. Sebab, diakui bahwa insting primata itu begitu kuat dan daya pengenalan hampir sama layaknya manusia.

Kata Arwin, orang utan akan tahu jika ada manusia yang hanya sekedar melihat-lihat maupun mengikutinya untuk pengambilan data penelitian.

Tapi jangan salah, satwa ini akan melawan jika merasa ada manusia yang dianggap membahayakan. Walau orang tersebut berada di kawanan peneliti. "Karena dia itu bisa tahu apakah kita mempunyai karakter yang merusak atau tidak, dia tahu. Dari bahasa tubuh kita dia bisa hafal," ungkap Arwin.

Tiga orang utan yang dilihat sebelumnya merupakan orang utan yang sudah habituasi atau sudah ramah dengan lingkungan di Stasiun Penelitian Ketambe, termasuk dengan orang-orangnya.

"Yang kita jumpai kemarin itu adalah Kelli. Itu orang utan yang sudah sering beberapa tahun ini kita ikutin dan sudah sering kita ambil data behaviornya. Jadi dia betul-betul sudah kenal sama kita," jelasnya lagi.

Diperkirakan jumlah orang utan di Stasiun Penelitian Ketambe berkisar 30-50 individu. Jumlah tersebut belum terbilang konkret, sebab hanya orang utan habituasi saja yang kerap terlihat dan baru bisa didata petugas.

Tidak lengkapnya data riil mengenai jumlah primata dilindungi tersebut, lantaran belum ada penelitian terbaru mengenai orang utan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser selama dua tahun terakhir, terlebih saat kondisi pandemik Covid-19.

"Tetapi yang jelas kita ada laporan setiap bulan, setiap kita melakukan patroli ke hutan kalau kita menjumpai orang utan itu kita akan catat," ucap Arwin.



Di stasiun seluas 450 hektare ini ternyata tak hanya didiami oleh orang utan liar. Ada juga keturunan orang utan yang pernah direhabilitasi.

Perbedaan tingkah laku keduanya juga kentara. Kata Arwin, orang utan liar jarang sekali turun ke tanah apabila ingin berpindah pohon. Walaupun ada, tapi dalam setahun belum tentu tindakan itu dilakukannya.

Sebaliknya, orang utan yang pernah direhabilitasi lebih sering turun ke tanah ketika akan berpindah pohon. Bahkan ia akan mendatangi bangunan di kawasan stasiun penelitian.

"Itu karena sejak dia dibawa dari asalnya dia ditaruh di kamp. Contohnya, si Binjai," kata Arwin.

Binjai ialah orang utan asal Langkat, Sumatra Utara yang direhabilitasi ke Stasiun Penelitian Ketambe pada 1971 silam. Kala itu, tempat itu tidak hanya pusat riset satwa, namun juga masih digunakan sebagai tempat rehabilitasi orang utan.

Selama direhabilitasi, ternyata kebiasaan Binjai masih terbawa dan belum terbiasa dengan hutan liar. Satwa berjenis kelamin betina itu kerap memakan pakaian, karton, dan lainnya yang bukan pakan alaminya.

Melihat adanya perbedaan tingkah laku dari orang utan bernama Binjai itu, pusat rehabilitasi akhirnya dipindahkan ke kawasan Bukit Lawang, Sumatra Utara, sekitar tahun 1974. Tujuannya agar kebiasaan orang utan yang direhabilitasi tidak mempengaruhi tingkah laku orang utan liar lainnya di Ketambe.

Sementara Binjai, kini telah berbaur ke dalam hutan dengan membawa sifatnya sendiri. Tingkah lakunya pun seakan diwariskan ke keturunannya yang ada di Stasiun Penelitian Ketambe.

"Begitulah seterusnya. Makanya itu seperti tertular penyakit buruknya lah," ungkap Arwin.

Selama di Stasiun Penelitian Ketambe, saya berkesempatan untuk melihat dan mengetahui tentang aktivitas orang utan, termasuk mengenai sarangnya.

Ternyata orang utan memiliki kebiasaan, yakni beristirahat di siang hari sebelum akhirnya istirahat di waktu malam.

Waktu istirahat siang biasanya sekitar pukul 10.00 WIB atau setelah mencari makan ketika pagi. Ia akan kembali keluar mencari makan setelah beristirahat selama satu atau dua jam.

Setelah lelah beraktivitas dan merasa telah mencukupi kebutuhan makannya, kebanyakan orang utan akan kembali beristirahat sekitar pukul 15.00 WIB. Itu sekaligus dengan jadwal tidur malam.

Sehubungan dengan kebiasaan beristirahat, orang utan ternyata juga memiliki keunikan perihal sarang. Primata ini ternyata memiliki empat posisi penempatan sarang untuk beristirahat.



Sarang di posisi pertama biasanya didirikan di pangkal dahan pohon. Posisi kedua, berada di bagian tengah dahan.

Sementara sarang posisi ketiga dibuat di ujung atau pucuk dahan. Terakhir posisi keempat, sarang dibuat di antara dua pohon yang ujung dahannya digabungkan. Posisi yang terakhir ini cukup jarang dibuat, kecuali orang utan masih remaja dan jantan yang akan merebut kekuasaan.

"Tujuannya menyatukan dua pohon agar ketika dia keluar sarang tersebut rusak atau digunakan untuk menghilangkan jejak sehingga dia tidak ketahuan membuat sarang," ungkap Arwin.

Selain beragam posisi penempatan sarang, orang utan juga punya kebiasaan lainnya, yakni tidak akan membangun maupun menempati sarang yang sama untuk beristirahat. Primata ini setiap harinya akan selalu berpindah-pindah pohon dan membuat sarang baru sebagai tempat tidurnya, kecuali jika pohon yang dihinggapi memiliki cukup pakan.

"Selama mengikuti orang utan, kita sudah bisa membedakan sarang siang dan sarang malam. Besok dia tidak akan membuat sarang di situ lagi. Dia akan mencari ke tempat yang lain lagi meski terkadang di pohon yang sama," ujar Arwin.

"Orang utan tidak akan pindah sarang apabila di pohon tersebut tersedia pakannya. Misalnya, pohon pikus buahnya banyak, sehingga orang utan bisa sampai beberapa hari membuat sarang di pohon tersebut sampai habis buahnya," imbuhnya.

Selain itu, orang utan juga punya perbedaan bentuk sarang saat akan beristirahat ketika siang dan malam.

Ketika beristirahat siang, kebanyakan orang utan akan membuat sarang dengan posisi kedua maupun ketiga, seperti dijelaskan sebelumnya. Posisi sarangnya juga lebih terbuka. Bahkan ada pula yang membuat sarang siang di bagian akar pohon.

Berbeda dengan tempat peristirahatan siang, sarang malam lebih banyak dibuat di posisi pertama walau ada pula orang utan yang membuat di posisi kedua dan ketiga.

"Tetapi kalau untuk tidur malam tidak akan pernah mau di akar, sebab banyak bahaya yang datang kalau dia tidur malam di akar," tandas Arwin.[]


Keberangkatan tujuh jurnalis ke Kawasan Ekosistem Leuser di Ketambe (Aceh Tenggara), Soraya (Aceh Selatan), dan Suak Belimbing (Aceh Selatan) difasilitasi oleh Forum Konservasi Leuser bekerja sama dengan Taman Nasional Gunung Leuser, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah 6, dan disponsori oleh Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatra.

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...