OBITUARI | Sang Penasihat Itu Kini Telah Tiada
Nezar Patria menjawab lirih, mengiyakan kabar meninggalnya seorang tokoh Aceh, Adnan Ganto kepada readers.ID, Selasa siang (23/3/2021).
“Iya, saya juga sedang koordinasi soal perkembangan kabar ini,” tukas mantan jurnalis yang kini menjabat sebagai Direktur Kelembagaan PT POS Indonesia itu, beberapa jam usai kabar meninggalnya Adnan tersebar cepat di berbagai grup percakapan WhatsApp.
Adnan, bankir internasional yang juga dikenal baik oleh sejumlah tokoh politik pemerintahan nasional ini, baru saja menghembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 11.37 WIB, di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia meninggal di usia 74 tahun.
Sejak dua tahun silam, Adnan kabarnya menjalani operasi saraf terjepit pada tulang belakang di salah satu rumah sakit di Singapura. Usai operasi, ia rutin mengontrol kondisi kesehatannya ke sana. Namun saat pandemi, konsultasi dilakukan di dalam negeri. Kondisi Adnan pun sempat menurun awal Maret lalu dan terpaksa dirawat di ICU RSCM Jakarta.
Adnan lahir di Buloh Blang Ara, satu desa terpencil di pedalaman Kuta Makmur, Aceh Utara pada 4 Februari 1947. Langkahnya meniti pendidikan kian berliku. Ayahnya yang merupakan pensiunan Tentara Keamanan Rakyat berpangkat kopral tak punya cukup biaya untuk menyekolahkan Adnan.
Namun usai tamat pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Islam (SRI) Keude Krueng, Aceh Utara, ia tetap tekun hingga dapat terus sekolah hingga SMP di Lhokseumawe. Padahal kondisi sosial politik kala itu tengah bergolak. Nezar dalam Keputusan Sulit Adnan Ganto (Circa, 2017) mengisahkan Adnan kecil yang hidup dalam kemelut situasi konflik antara Darul Islam dengan pasukan pemerintah, sekitar tahun 1959.
“Sehari-hari tinggal di Buloh Blang Ara, Adnan ingat betapa warga kampungnya hidup dalam keadaan siaga,” tulis Nezar.
Konflik bertaut dengan kemiskinan di kampung halaman, mengasah amatannya pada ketimpangan kondisi ekonomi.
Meski bersekolah, Adnan juga bekerja sebagai kuli pelabuhan, mengumpulkan uang dari bongkar muat barang di geladak kapal.
Ia melanjutkan SMA di Paya Bujok, Langsa. Alasannya mantap, karena Langsa dekat dengan Medan, lokasi kampus Universitas Sumatera Utara. Ia ingin sekali bisa lanjut kuliah ke sana. Namun Adnan juga mempertimbangkan hal lain. Ia memutuskan untuk belajar di dua sekolah, SMA Negeri Paya Bujok dan sekolah kejuruan ekonomi, SMEA PGRI.
“Bila tak mampu masuk universitas, lebih baik sekolah di kejuruan supaya bisa langsung bekerja,” ungkap Adnan dalam buku tersebut.
Selepas SMA, Adnan memang sempat kuliah di USU, tapi cuma dua bulan. Setelah itu ia terpikat untuk ikut tes di Institut Ilmu Keuangan Negara (sekarang STAN). Ia berhasil lulus di situ.
Setahun kemudian, Adnan Ganto dipercayakan jadi akuntan pemeriksa keuangan Pertamina di Plaju, Palembang.
Tak berapa lama, di usianya yang masih 22 tahun kala itu Adnan malah ketiban tawaran untuk bekerja di Belanda. Nasib baik pun mengiringi usahanya hingga dapat menyambangi negeri kincir angin itu.
Perlahan, Adnan menjalani proses hidupnya di sana. Ia lalu bekerja di Amro Bank Belanda. Gaya hidup masyarakat setempat yang sangat disiplin ikut mengubahnya jadi lebih baik. Tahun 1974, ia bekerja di Pierson Bank Amsterdam.
Usai menempuh rangkaian pelatihan, ia ditempatkan di Pierson perwakilan London.
Karena kepiawaiannya, Adnan kelak dipromosikan sebagai kepala perwakilan Pierson Bank di Jakarta sekaligus Hongkong. Sejak itu namanya mulai berkibar dan memantik perhatian di jajaran petinggi sejumlah bank lainnya.
Tawaran posisi di Morgan Bank Ltd jauh lebih baik, pikirnya. Ia lantas dijadikan direktur di cabang Singapura selama enam tahun.
Prestasinya mentereng. Di Singapura lah, Adnan mampu mendatangkan banyak nasabah besar untuk berinvestasi melalui Morgan. Rivalnya dari bank-bank lain mulai tertinggal, lantaran Adnan terlampau mampu mengenalkan produk yang inovatif dan kreatif ke pasar. Bahkan, bank milik raksasa bisnis JP Morgan itu pun mulai menarik minat sejumlah orang Indonesia.
Sejak saat itu Adnan mulai berhubungan dengan orang-orang penting dari kalangan pemerintah Indonesia. Salah satunya Panglima ABRI, Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani.
Nezar Patria, mantan jurnalis Tempo yang juga pernah menjabat anggota Dewan Pers ini berhasil mengabadikan jejak kehidupan Adnan Ganto dalam buku Keputusan Sulit Adnan Ganto.
Adnan tercatat meniti karier bankir di sejumlah bank internasional seperti Pierson Bank NV Amsterdam, Amro Bank dan Morgan Bank. Di bank terakhir ini, ia diingat sebagai orang Asia pertama yang menduduki posisi direksi.
Namun, bersama mendiang jurnalis senior Rusdi Mathari, Nezar tak hanya menulis perjalanan karier Adnan Ganto. Buku ini juga merekam cerita dilematis Adnan dan relasinya dengan sejumlah pejabat pemerintahan.
Itu bermula sekira tahun 1990, saat Adnan masih berkarier di Morgan Bank. Ia ditawarkan mengisi jabatan Penasihat Ekonomi di Departemen Pertahanan RI. “Di situ ia berada di posisi dilema,” ujar Nezar seperti terungkap dalam kegiatan bedah buku tersebut, beberapa tahun lalu.
Di satu sisi, Adnan ingin tetap melakoni pekerjaannya sebagai bankir profesional di luar negeri. Namun di sisi lain ia juga ingin berkontribusi untuk negara asalnya, Indonesia.
Beruntung, atasannya di Morgan Bank memberinya jalan tengah, yakni tetap bekerja untuk Morgan sekaligus penasihat ekonomi di Dephan RI. Adnan mampu membuktikan profesionalitasnya.
Terbukti, Adnan tetap menjadi penasihat untuk tujuh menteri pertahanan. Dari Jenderal Moerdani di masa orde baru hingga Jenderal Ryamizard Ryacudu di Kabinet Presiden Joko Widodo, Adnan tetap sosok yang dipercaya di posisinya. Ia mampu berperan menangani paket finansial dan prosedur anggaran pemerintah terkait dengan pengadaan senjata dan sistem pendukung yang dibutuhkan oleh militer.
“Berkat keteguhannya, dia (Adnan Ganto) tetap dipercaya membantu kementerian itu hingga politik Indonesia memasuki reformasi meskipun para menteri dan presiden silih berganti,” sela Nezar.
Ketulusan itu memang tampak sejak Adnan Ganto bekerja di Amro Bank. Atasan bank ini bahkan menyebutkan,
“He is a client man," yang artinya, Adnan kerap mengurus nasabahnya dengan baik dan berdiri berdasarkan kepentingan kliennya.
Ketulusan ini pula yang sering kali mendatangkan keberuntungan buat Adnan Ganto. Salah satu momen yang paling berkesan adalah di tahun 1986, ketika Morgan Bank menyekolahkannya ke kampus nomor satu di AS, Universitas Harvard.
Adnan ternyata telah mengimpikan itu sejak lama, hanya saja ia tak menduga peluang itu datang melalui Morgan.
“Menjaga hubungan dengan ketulusan melampaui hubungan pekerjaan tampaknya menjadi kekuatan pribadi Adnan,” pungkasnya.
Pakar ekonomi Rhenald Kasali dalam pengantar buku tersebut, Orang Udik Menjadi Bankir Kelas Dunia menilai, kemampuan Adnan dalam mengambil berbagai keputusan sulit adalah bukti dari kualitasnya yang istimewa.
“Antara karier yang menjanjikan kemapanan, dengan panggilan tanah air yang justru menuntut pengorbanan besar, ini bukan keputusan mudah,” tulis Rhenald.
Menurutnya, sangat tidak mudah menjadi bankir sembari penasihat Menteri Pertahanan. Tak hanya itu, Adnan juga dikenal utusan pemerintah tetapi juga akrab dengan petinggi-petinggi GAM.
“Ia menjadi kepercayaan orang-orang penting di republik ini, namun juga dipercaya bank kelas dunia,” ujarnya.
Kualitas itu juga dibuktikan lewat pergelutan Adnan di beberapa momen kebijakan politik pemerintahan RI. Banyak catatan tentang ini. Salah satunya saja, seperti yang pernah diceritakan Ahmad Farhan Hamid, Adnan terlibat pada saat genting perundingan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA), sebuah upaya penghentian permusuhan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2000.
Kala itu, Farhan menceritakan, sehari menjelang penandatanganan CoHA, TNI dimobilisasi di Aceh Utara. Kepala Staf TNI Angkatan Darat Ryamizard Ryacudu serta Panglima TNI Faisal Tanjung juga di lapangan. Tim perunding GAM menolak berunding di bawah ancaman. Namun lebih kurang pukul 12 malam waktu Jenewa, keputusan harus diambil.
Kata Farhan, TNI kala itu harusnya mundur. Sementara yang bisa memerintahkannya hanya Presiden selaku Panglima Tertinggi TNI. Menkopolkam, SBY, tidak berani mengusulkan itu secara langsung.
"Adnan Ganto lah menelepon Presiden Megawati. Kita tahu, hari itu juga pasukan ditarik, dan besoknya, 9 Desember 2002 CoHA ditandatangani," kenangnya.
Jelang memasuki usia senja, Adnan tak lupa pada Aceh. Kontribusinya di tanah kelahiran seakan epilog yang manis, usai bergelut di sektor keuangan global, jalinan relasi dengan elite pemerintahan hingga acap kali bersentuhan dengan beberapa momen politik transisi di Aceh.
Ia menaruh perhatian lebih ke bidang pendidikan. Salah satunya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa di perguruan tinggi Universitas Syiah Kuala. Semula, sebagai pemberi beasiswa Adnan meminta namanya anonim.
Namun beberapa tahun kemudian, Rektor USK Prof. Samsul Rizal membujuk Adnan untuk berkenan namanya disebutkan. Samsul beralasan, supaya itu jadi contoh untuk yang lainnya. Program yang diperuntukkan bagi mahasiswa S3 itu akhirnya dinamai Beasiswa Adnan Ganto.
Sebagai penghargaan untuk kontribusi Adnan, USK juga pernah meresmikan Ruang Adnan Ganto Multimedia Center yang berada di lantai I Perpustakaan Unsyiah, 2019 lalu.
Tak hanya USK, hal serupa juga dilakukan Adnan Ganto untuk UIN Ar-Raniry dan Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Peran Adnan juga penting di sektor ekonomi dan keuangan Aceh. Walaupun dikenal bankir dengan reputasi internasional, Adnan masih bersedia jadi penasihat Bank Pembangunan Daerah Aceh di masa Gubernur Zaini Abdullah.
Di masa itu pula, peran Adnan dinilai signifikan di balik keputusan Zaini untuk mengubah status bank tersebut menjadi Bank Syariah Aceh. Usai diresmikan pada tahun 2016, Bank Pembangunan Aceh tercatat satu-satunya bank pembangunan daerah yang dikonversikan menjadi Bank Syariah secara utuh.
Setahun berselang, Adnan Ganto dianugerahi penghargaan oleh sebuah lembaga konsultasi perbankan di Jakarta, Karim Consulting Indonesia sebagai ‘Man Behind The Scene’ di balik konversi BPD Aceh. Pimpinan lembaga itu, Adiwarman Karim menyebut konversi tersebut secara signifikan telah meningkatkan pangsa pasar bank syariah di Indonesia menjadi di atas 5 persen.
“Keberhasilan itu mustahil tanpa Adnan terlibat di belakang layar,” tandas Adiwarman.
Gambaran tentang Adnan kian lekat dengan sifatnya yang tak kenal pamrih. Ia sering kali enggan kontribusinya dipublikasikan. Politisi senior, Ahmad Farhan Hamid mengatakan, meski jadi penasihat untuk Pemerintah Aceh sejak periode Gubernur Ibrahim Hasan hingga sekarang, ia tidak pernah minta di-SK-kan.
"Obsesinya hanya membantu," kata Farhan mengenang Adnan.
Ia juga membenarkan Adnan pernah menegur seorang rektor perguruan tinggi di Aceh karena 'ketahuan' oleh seorang penerima beasiswa yang berniat berterima kasih padanya. Begitu pun dengan sumbangan dana abadi yang diberikannya ke sebuah yayasan untuk pembiayaan pendidikan 100 anak yatim dan duafa.
"Ini juga, anak-anak itu tak boleh diberitahukan bahwa biaya itu dari Adnan Ganto," tandasnya.[]
Editor: Fuadi Mardhatillah