Ombudsman: Empat Poin Penting Bisa Akhiri Polemik IPAL di Gampong Jawa
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh telah menggelar rapat membahas pro dan kontra terkait proyek pembangunan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) Banda Aceh yang ada di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh yang dinilai berada di situs sejarah.
Rapat yang digelar di Kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, pada Senin (19/4/2021) lalu tersebut, mempertemukan pihak Pemerintahan Kota Banda Aceh beserta lembaga seperti Mapesa, Darud Dunia, maupun aktivis pemerhati sejarah.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin mengaku, jika Ombudsman telah beberapa kali turun langsung ke lokasi pembangunan proyek tersebut. Bahkan, mereka juga menginvestigasi langsung lokasi IPAL secara door to door (dari pintu ke pintu) ke beberapa instansi terkait untuk mendapatkan informasi.
Baca Juga:
Hasil penelusuran yang telah dilakukan, Taqwaddin menyimpulkan, ada empat poin penting dan dianggap bisa menyelesaikan pro kontra terkait lokasi proyek pembangunan IPAL di Gampong Jawa.
“Ada empat poin penting yang mungkin bisa mengakhiri polemik tersebut,” ungkap Taqwaddin, saat melakukan peninjauan lokasi proyek pembangunan IPAL, pada Selasa (27/4/2021).
Poin pertama dijelaskannya, yakni perlu segera dilakukan heritage impact assessment atau analisis dampak pusaka dari pembangunan IPAL di lokasi yang dianggap banyak terdapat situs bersejarah tersebut.
“Perlu ada penelitian sesuai dengan dampak pembangunan terhadap warisan budaya atau situs-situs purbakala,” ujar Taqwaddin.
Dalam hal ini, yang akan melakukan penelitian adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh dan Sumatera Utara di bawah Kementerian Kebudayaan.
Dua instansi ini dianggap lebih independen dan siap melakukan penelitian di lokasi pembangunan IPAL, tentunya dengan melibatkan akademisi di bidang sejarah maupun arkeolog.
“Saya sudah berkoordinasi dengan mereka dan mereka siap untuk melakukannya dalam tahun ini. Soal biaya nanti kita bicarakan, namun yang pastinya mereka sudah siap,” kata Taqwaddin.
“Kami berharap penelitian ini dilakukan secara independen oleh akademisi, bisa dari UGM maupun USK,” imbuhnya.
Poin Kedua, dijelaskan kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, perlu dibentuk tim terpadu di Pemerintahan Kota Banda Aceh. Pada poin ini, dikatakan Taqwaddin, diakui telah dibentuk oleh pemerintah.
Selanjutya, poin ketiga, harus menjalankan sosialisasi maupun edukasi kepada masyarakat untuk memberi pemahaman terkait pentingnya situs sejarah di lokasi yang memiliki luas 3 ribu meter tersebut dan juga perlu dibangunnya IPAL.
Poin terakhir yang dianggap paling penting menurut Taqwaddin yakni perlu adanya manajemen media. Sebab ia menilai, media perlu mengetahui lokasi pasti lokasi proyek pembangunan IPAL dikerjakan.
“Media itu perlu di-manage (diatur). Sehingga media yang paling utama, dia itu tahu di mana lokasi. Tahu bagaimana mekanisme kerja IPAL. Selama ini kan banyak di antara mereka belum tahu di mana lokasi IPAL,” ucapnya.
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh tak ingin berspekulasi mengenai polemik IPAL. Taqwaddin menyampaikan, pihaknya masih menunggu tim yang akan melakukan penelitian situs sejarah di lokasi tersebut.
“Saya masih menunggu hasil kerja dari BPCB Aceh. Waktu penelitian kemungkinan dibutuhkan satu tahun,” tutupnya.
Pantauan readers.ID di lokasi, proyek pembangunan IPAL saat ini telah berhenti dikerjakan. Tidak adanya aktivitas di lokasi tersebut membuat kompleks seluas lebih kurang 3 ribu meter itu ditumbuhi ilalang.
Sementara di salah satu sisi tak jauh dari pintu masuk terdapat beberapa nisan yang disusun sejajar. Sebagian dari nisan tersebut ditutupi kain berwarna kuning.[acl]
Komentar