OPINI: Konstruksi Problem Sosial Media dan Kepolisian

Foto: istimewa
Penulis:

Tulisan ini dimulai dengan terlebih dahulu menerangkan pendekatan sosiologis tentang problem sosial, yang nantinya akan dikaitkan dengan “peran media” dalam mengkonstruksi problem.

Pendekatan sosiologis itu mengedepankan aliran positivis yang melihat problem adalah fakta dan bisa diukur dan ditangani secara ilmiah. Pendekatan positivis memiliki varian, yaitu pendekatan fungsionalis, yang memandang problem sebagai disfungsi “pelaksanaan fungsi” masyarakat sebagai sebuah sistem.

Problem dalam pengertian ini dapat dianalisis dari segi asal usulnya dalam kondisi sosial. Setelah mengidentifikasi kondisi-kondisi yang menimbulkan disfungsi ini, pembuat kebijakan dapat menangani problem yang tampak maupun yang tidak tampak (laten atau tersembunyi).

Ada dua tokoh mengenai sumber dari pendekatan di atas, yaitu Emile Durkheim dan Talcott Parsons.Durkheim memandang problem—atau penyimpangan (deviance)--sebagai sesuatu yang fungsional di dalam sistem sosial.

Dalam perspektif Durkhemian, problem sosial adalah sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan: mereka yang menyimpang dari ekspektasi perilaku normal dapat dipakai untuk mendefinisikan apa-apa yang bisa diterima dan yang tidak-yang baik dan yang buruk.

Adapun Talcott Parsons dari aliran fungsionalis, menganalisis masyarakat yang dianggapnya lebih cenderung ke ekuilibrium. Dari perspektif ini, problem sosial merupakan penyesuaian dan kemungkinan disfungsi dalam sistem sosial.

Problem sosial juga disebut memiliki dimensi subjektif dan objektif. Problem sosial itu adalah suatu disorganisasi sosial dan perilaku menyimpang atau penyimpangan dari norma sosial yang telah diterima dan dilembagakan.

Rentang dari apa yang disebut sebagai problem sosial itu sendiri, sangat luas. Problem sosial itu adalah kondisi yang dapat merusak masyarakat yang antara lain berbentuk kejahatan, rasisme, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, konflik etnis, pengangguran, kontaminasi lingkungan, dan sebagainya.

Semua keadaan tersebut adalah penyimpangan dari keadaan yang ideal atau keadaan yang normal dan karena itu diperlukan langkah-langkah penanganan. Dalam beberapa jenis problem sosial, institusi kepolisian berada di garis depan. Dapat teratasi atau tidaknya problem sosial, tergantung antara lain pada kemampuan kepolisian mengidentifikasi dengan tepat dan cepat akar problem tersebut, lalu merumuskan solusinya.

Lalu di mana media “berperan?” Ini terkait dengan peran “tradisional media” dalam proses pembuatan agenda, yang disebut juga dengan “agenda setting.” Dari segi pendekatan kontruktivis, dampak media terhadap problem sosial adalah aspek kunci dari proses “labeling” karena media bisa menambah “sensitifitas” dan “memperkuat”sesuatu yang dilabeli sebagai problem.

Sosiolog Robert Cohen melakukan studi tentang cara media mengangkat isu pertempuran antargeng (Mods dan Rockers) pada 1960-an di AS dan cara media “membesar-besarkan” insiden itu sedemikian rupa sehingga peristiwa yang sebenarnya kecil menjadi problem sosial besar. Pada gilirannya hal ini menimbulkan kepanikan. Polisi pun kemudian diminta bantuannya untuk mengatasi insiden yang dianggap mengancam ketertiban sosial.

Dalam kasus antara Mods dan Rockers itu, media massa sesungguhnya menciptakan sebuah problem, mendistorsi isu, dan mereka-reka tentang adanya “gerombolan jahat” yang sesungguhnya hanyalah sebuah gangguan kecil.

Dalam mendistorsi isu dan menciptakan ancaman stereotype ini, media massa dapat membentuk konteks untuk respons kebijakan dan memengaruhi “opini publik” dengan menentukan agenda publik dari sudut pandang insiden atau peristiwa.

Karena itu, media sebagai “bisnis” pabrik berita, juga terlibat dalam penciptaan problem. Media memilih kejadian-kejadian yang layak diberitakan (newsworthy) dan dalam melakukan seleksi itu media massa memasukkan atau mengesampingkan isu, peristiwa, dan ide (sehingga peran media juga disebut sebagai penjaga gawang).

Akan tetapi, peran media juga harus dilihat bersama dengan bagaimana pakar memanfaatkan dan dimanfaatkan media, dampak dari propaganda birokratik, serta pengaruh sinetron drama dan acara TV lainnya yang berkaitan dengan problem sosial.

Penjelasan kritis terhadap peran media dalam “mengonstruksikan” problem sosial dikemukakan oleh Murray Edelman (dalam Wayne Parsons, 2008). Menurutnya, media lebih banyak mengaburkan dan memanipulasi ketimbang menjelaskan masalah-masalah sosial.

Media berita berfungsi demi kepentingan status quo yang berkuasa, mengonstruksikan isu misalnya dengan membuat demokrasi menjadi tontotan yang mendominiasi pikiran tindakan publik. Media massa dan TV membuat suatu isu menjadi perhatian utama publik dengan memasukkan sisi politis dalam pemberitaan suatu problem sosial.

Terkait dengan “kekuatan” media yang semacam itu, maka kehati-hatian semisal oleh kepolisian dalam menjadikan informasi dari media sebagai suatu sumber informasi, dirasakan sangat penting.

Kepolisian perlu secara valid mengetahui apa sesungguhnya problem sosial atas dasar verifikasi yang dilakukan sendiri oleh kepolisian. Kepolisian tak perlu takut kepada media, malah harus dapat bekerja sama dengan media dan terbuka dalam penegakan hukum.

Media dan polisi saling membutuhkan. Untuk itu, pola pikir polisi yang berhadapan dengan media harus diubah. Polisi, jangan tergantung dengan media massa.

Dalam hal ini, polisi dituntut untuk bersih, tidak KKN, dan terbuka. Polisi dan media harusnya bekerja sama untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Jadi, tidak perlu khawatir dengan media. Mari sama-sama mendukung tupoksi media. Bagaimana media ikut membuat tenang masyarakat, bukan media tampil membuat suasana gaduh.

Jadi, mengenali media menjadi suatu kemestian, termasuk dalam hal bagaimana media melakukan kontruksi mengenai problem-problem sosial.[]

Penulis: Saifuddin Bantasyam
[Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)