Orasi Runcang, Salman Yoga S: Dimana Keistimewaan Aceh?
BANDA ACEH, READERS — Budayawan dan seniman Salman Yoga S mempertanyakan keistimewaan Aceh yang selama ini lesu dan beku, padahal sebelumnya menjadi bagian esensi dari identitas ke-Acehan. Hal itu ia sampaikan dalam Orasi Runcang (Orasi Kritis) pada kegiatan Pagelaran Seni dan Budaya 2nd Didong Arts Day pada Selasa (5/8/2025).
“Hadirin sekalian, Aceh dikenal dengan tiga keistimewaan. Keistimewaan Adat dan Budaya, Keistimewaan Pendidikan dan Keistimewaan Syariat,” sebut Salman, dalam peringatan hari Didong tersebut.
Sayangnya, sambung Salman, dari ketiga keistimewaan itu, satupun tidak mampu berbicara yang lebih luas, bahkan melahirkan “keistimewaan ke empat” yang minor di luar sebagai Provinsi termiskin di Sumatera.
Salman menegaskan, bahwa Saman Gayo sudah diakui Unesco, Syair-syair Hamzah Fansuri dan Hikayat diakui Unesco. Tapi negeri yang salah satu isitmewanya dalam bidang adat-budaya juga keagamaan belum ada yang bergezah ditingkat nasional, juara MTQ atau bidang keistimewaa lainnya, sebutnya.
“Kita himbau Pemerintah Aceh dan Presiden Prabowo, tiga keistimewaan Aceh dikembalikan dan dihidupkan di Negeri Serambi, sehingga kita dapat menjalankan ajaran agama sekaligus berseni-berbudaya dan bersosialisasi sebagaimana keistimewaan Aceh yang pernah ada,” seru Salman Yoga S, diiringi tepukan klub Didong Gayo Serungke Bujang dan Tawar Bengi.
Menurutnya, sebagai pemerintah sudah cukup payung hukum dan payung regulasi, ada undang-undang nomor 15 tahun 2017, undang-undang pemajuan kebudayaan, sudah ada intruksi presiden, permen, bahkan ada Undang-Undang Pemerintahan Aceh tentang pemajuan kebudayaan.
“Tapi dari tahun ke tahun, kebudayaan hanya lipstik, hanya ketika memanfaatkan pemilu, hanya menyambut gubernur, bupati, wali kota, dengan regulasi yang beku. Sementara itu seniman-senimannya terus hidup dipinggir-pinggir kebijakan tanpa mengetahui dimana kiblatnya,” jelasnya.
Negeri ini harus sadar, dari ketiga keistimewaan Aceh salah satunya harus mampu bicara di forum dunia.
Amatan media ini, belum ada unsur pemerintah yang menanggapi kritikan tajam (Orasi Runcang) yang disampaikan Salman Yoga Tersebut.
Sebelumnya, Ketua Panitia kegiatan, Farhan Ananda, dalam laporannya menyebutkan bahwa kegiatan Sound of Nanggroe berlangsung tanpa bantuan pemerintah sedikitpun melainkan murni inisiatif mandiri komunitas.
“Kegiatan ini terlaksana tanpa ada sepeserpun bantuan dari pemerintah, acara ini tetap berlanjut. Karena kami sadar bahwasanya adat dan budaya kita sudah mulai sirna sehingga harus tetap dirawat dan dijaga,” kata Farhan.
Kemudian Kepala UPTD Taman Seni dan Budaya Aceh, Azhadi Akbar mengapresiasi kegiatan tersebut. Ia menilai bahwa penampilan Didong Gayo sebagai bentuk perlawanan di tengah situasi krisis budaya.
“Kami salut dan berterima kasih atas kegiatan ini yang dilaksanakan di sini. Itu adalah sebuah kehormatan bagi kami. Saat kita sedang krisis dan teman-teman masih mampu untuk berjuang atas nama kebudayaan, itu luar biasa,” katanya.
Ketua Majelis Seniman Aceh (MaSA) Chairiyan Ramli dalam sambutannya menyampaikan bahwa dirinya bangga generasi muda Gayo tetap memilih adat, budaya, dan tradisi di tengah arus budaya asing yang terbawa arus.
Ia juga membuka ruang kolaborasi antara MaSA dan komunitas mahasiswa untuk kegiatan Kebudayaan di masa mendatang.
“Saya sangat bangga dengan adik-adik ini yang punya semangat tinggi, yang sadar terhadap budaya yang harus terus dijaga, jangan sampai anak-anak muda yang segini ramai lari ke K-POP atau sebagainya,” katanya.
Sedangkan Salah seorang tokoh masyarakat Gayo Banda Aceh dari Keluarga Negeri Antara, Karim Gito, menyambut baik kegiatan itu. Ia berujar bahwa kegiatan ini memantik semangat untuk dapat dijadikan sebagai agenda tahunan.
“Kami atas nama masyarakat Gayo yang ada di Banda Aceh dan Aceh Besar berharap kegiatan seperti ini dijadikan event rutinitas setiap tahunnya,” katanya.
Secara terpisah, koordinator kegiatan, Moeslem Arrasuly menegaskan bahwa bahwa kegiatan ini murni kolektif dan independen dan bukan event agenda pemerintah kota Banda Aceh maupun pemerintah Provinsi Aceh.
“Suara Nanggroe Vol. 8 digelar berkat dukungan Majelis Seniman Aceh, UPTD Taman Seni dan Budaya Aceh, HP3MAT, The Gayo Institute, KOSMA, ICMI Orda Banda Aceh, PT Ulee Kareng Inti Rasa, Twins Coffee Car, dan FAM Soundsystem,” katanya.
Ia menambahkan, Mahasiswa Gayo Kota Banda Aceh saling beradu Argumen melalui Syair dan saling bersahutan diantara kedua Grup didong.
“Group Serungke Bujang asal Aceh Tengah dan Grup didong Tawar Bengi asal Bener Meriah membuat susana hiruk-pikuk dan penuh canda tawa bahagia, khususnya bagi masyarakat Gayo yang hadir,” ujarnya.[]
Editor: Herman Muhammad