Pajak Sembako dan Pendidikan Picu Kesenjangan Baru

Ilustrasi - Sejumlah murid Sekolah Ibtidaiyah Negeri (MIN) mengikuti ujian berbasis komputer dan dilanjutkan tes kemampuan membaca Alquran saat masuk Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Banda Aceh, Rabu (10/6/2020). (ANTARA FOTO/Ampelsa)
Penulis:

Jargon presiden Joko Widodo selama ini "kerja, kerja, kerja", yang mengisyaratkan semua pihak agar terus produktif, terutama di dataran pemerintahan. Sepekan ini tampaknya pemerintah telah memperkenalkan jargon baru "pajak, pajak, pajak".

Hal tersebut menjadi kontroversi di tengah masyarakat, setelah draf yang hendak dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bocor ke media yang memantik kontroversi.

Isi dari draft tersebut tentang rencana pemerintah mengambil pajak pertambahan nilai (PPN) dari sejumlah jasa dan komoditas, yang selama ini bebas pajak. Seperti sembako dan juga jasa pendidikan swasta.

Selama ini baik sembako dan jasa pendidikan berdasarkan Permenkeu 11/2014 kedua layanan itu tidak dipungut PPN. Tetapi bila aturan baru itu berlaku, nantinya ada sejumlah layanan dipungut pajak yang sebelumnya tidak perlu bayar pajak.

Kendati PPN jasa pendidikan itu tidak menyentuh pendidikan negeri, terutama tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederat yang selama ini gratis.

Tetapi regulasi yang hendak dibahas itu akan dikenakan PPN jasa pendidikan seperti sekolah swasta, bimbingan belajar (bimbel), pendidikan luar biasa dan sejumlah jasa pendidikan swasta lainnya.

Ada sejumlah alasan yang disampaikan pemerintah mengenai jasa pendidikan swasta diwajibkan bayar pajak. Dikutip dari vice.com/id, staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut semua ini demi “keadilan”. Dia menjelaskan dengan pakai contoh dua anak SMA. Satu masuk sekolah negeri, satunya lagi di sekolah swasta yang mahal.

Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kabar pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan oleh pemerintah melalui sembako dan pendidikan.

Pemerintah menganggap tidak adil jika kedua anak ini dibebaskan dari pajak. Padahal mereka berdua punya kemampuan ekonomi berbeda. Dengan logika seperti itu, disimpulkan bahwa penyelenggara yang memungut biaya mahal pada murid seharusnya juga mampu membayar pajak.

“Jadi [sekolah yang] profit oriented dan [mampu dikonsumsi] oleh kelompok masyarakat mampu, lebih fair kalau dikenai PPN. Bahwa nanti [besaran] tarifnya itu, itu bisa dibuat skema, kan kita punya ruang multitarif sekarang bisa 5 persen. Atau mungkin untuk yang kelompok lebih rendah bisa dengan nilai lain yang 1 persen. Saya rasa ruang itu disediakan,” ujar Yustinus dilansir dari Detik.

Rencana pemerintah mewajibkan PPN, khususnya untuk sembako dan jasa pendidikan menuai kritik dari berbagai elemen. Mayoritas menilai, kebijakan kontroversi itu akan semakin memperuncing kesenjangan baru di tanah air.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Cinta Aceh (DPC PCA), Sulthan Alfaraby menyebutkan, rencana kebijakan tersebut akan berimbas ke berbagai sektor, terutama bagi masyarakat kalangan bawah.

"Sangat tidak tepat jika pemerintah memungut pajak sembako yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat kalangan bawah. Imbasnya ke berbagai sektor. Kondisi mereka saat ini sedang sulit," kata Sulthan kepada readers.ID, Sabtu (12/6/2021).

Ketua DPC PCA yang juga aktivis mahasiswa UIN Ar-Raniry itu menilai, kebijakan tersebut nantinya akan berimbas pada tingginya harga dan meminta kepada pemerintah untuk mencari jalan lain untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi.

"Sembako jadi makin mahal. Sembako harusnya terjangkau, murah dan jangan membebani. pertumbuhan ekonomi negara harus dicari jalan lain. Jangan sampai nasib si miskin makin miskin, si kaya makin kaya," kata Sulthan.

Tanggung jawab negara, lanjut aktivis mahasiswa UIN Ar-Raniry ini, salah satunya adalah pengentasan kemiskinan. Dengan adanya PPN untuk sembako, yang notabene-nya diburu oleh masyarakat kecil, maka akan berisiko menambah tingkat kemiskinan.

"Dengan adanya PPN sembako, tidak bisa kita bayangkan bagaimana susahnya mereka (masyarakat) saat ini. Tugas negara itu harusnya mengentaskan kemiskinan, menjamin kesejahteraan, bukan malah sebaliknya," ungkap Sulthan.

Ketua DPC PCA itu juga mendorong pemerintah agar membatalkan kenaikan pajak terhadap sejumlah aspek yang tidak pro masyarakat. Salah satunya pungutan pajak terhadap sektor pendidikan.

"Pendidikan juga akan kena pajak dan kita menyayangkan itu. Sektor pendidikan saja masih kekurangan infrastruktur. Harusnya, diberikan pendanaan lebih dan tidak dipajaki. Pendidikan itu jangan sampai dijadikan alat komersialisasi, karena tanggung jawab negara selain mensejahterakan ekonomi rakyat, juga mencerdaskan kehidupan bangsa," pungkasnya.

Sementara itu anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Gerindra Himmatul Aliyah mengatakan wacana pajak pertambahan nilai (PPN) untuk jasa pendidikan berpotensi menambah angka putus sekolah di Tanah Air.

“Pengenaan pajak pada sektor pendidikan di tengah pandemi akan menambah tinggi angka putus sekolah. Pandemi yang masih berlangsung telah menurunkan ketahanan ekonomi masyarakat sehingga banyak siswa dari berbagai daerah di Indonesia mengalami putus sekolah,” ujar Himmatul di Jakarta, Jumat (11/6/2021) dikutip dari Antara.

Dia menambahkan pengenaan pajak pendidikan bisa menambah tinggi angka putus sekolah sehingga menurunkan angka partisipasi sekolah di Indonesia. Kondisi demikian tentu paradoks dengan visi pemerintah sendiri, yakni mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia maju.

Selain itu, pengenaan pajak pada sektor pendidikan akan membuat biaya pendidikan meningkat sehingga akan membebani masyarakat.

“Hal ini tentu akan menciptakan ketidakadilan karena pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat," tegasnya.

Hal ini jelas, sebutnya, bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif.

Rencana pemerintah mengenakan pajak di sektor pendidikan membuat masyarakat yang dijamin haknya justru dibebankan kewajiban, dan pemerintah yang berkewajiban membiayai tapi justru memungut biaya pendidikan dari rakyat.

“Ini tentu tidak etis sekaligus tidak konstitusional. Jadi jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi,” tegas dia.

Pertimbangan Matang

Presidium Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Andy Soebjakto mengatakan upaya menambah objek pajak harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang.

Andy mengakui pemerintah membutuhkan tambahan sumber pajak bagi kepentingan penyehatan APBN dan keberlangsungan pembangunan adalah perihal yang dapat dipahami oleh publik dan patut didukung.

“Upaya-upaya menambah obyek pajak harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang, terutama menyangkut kondisi perekonomian dan keadaan kehidupan rakyat sehari-hari. Filosofi dasarnya adalah "pajak untuk rakyat" bukan "rakyat untuk pajak”,” kata Andy.

Rencana pengenaan PPN untuk sembako adalah adalah kebijakan yang tidak bijak dan tidak tepat. Bukan saja akan menambah beban hidup rakyat, tetapi juga akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Sembako adalah salah satu yang terpokok dari nafas hidup rakyat. Jika dikenakan PPN, nafas rakyat bisa tersengal-sengal.

“Rencana pengenaan PPN untuk sekolah juga tidak bijak dan tidak tepat. Dengan pengenaan PPN, beban sekolah akan digeser menjadi beban orang tua siswa. Artinya jelas akan menambah beban pendidikan bagi rakyat. Pada sisi yang lain, kebijakan tersebut akan mendorong makin derasnya komersialisasi pendidikan yang pada akhirnya akan meningkatkan ketimpangan akses siswa terhadap sekolah-sekolah yang bermutu,” cetus Andy.

PPI mendesak agar rencana pengenaan PPN terhadap sembako dan sekolah tersebut dibatalkan. “Keselamatan kehidupan rakyat haruslah diutamakan. Setidak-tidaknya tidak diberi tambahan beban di masa-masa sulit seperti sekarang ini,” imbuh Andy.

Diketahui, rencana sembako dan pendidikan dikenai pajak tertuang dalam draf RUU Perubahan Kelima atau revisi atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).[acl]