Peran Aktif Pelajar Mengubah Procrastination

Dari yang dikemukakan Afutami, bisa diartikan 70% dari 4.000 anak muda yang disurvei memilih berpikir menunda aksi mereka, meski sudah tahu ada masalah di sekitar mereka. Mereka rata-rata menjawab merasa belum saatnya dan belum perlu sekarang.

Waktu Baca 11 Menit

Oleh : Gebryna Fairuzzanti Pandinni

Dalam sebuah podcast “Endgame” yang dipandu oleh Gita Wiryawan (selanjutnya saya sebut Pak Gita), pernah mengundang seorang tokoh muda inspiratif bernama Andhyta Firselly Utami, yang dikenal publik dengan sapaan Afutami.

Pak Gita adalah mantan Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sedangkan Afutami seorang ekonom lingkungan dan co-founder Think Policy Indonesia, yang gencar menyuarakan mengenai adanya tantangan sekaligus harapan yang belum disadari secara memadai oleh semua kalangan, berupa kemakmuran yang dirancang di atas bumi yang lestari dan layak huni[1].

Obrolan ini sangat menarik, apalagi mengangkat isu yang sedang menjadi perhatian dunia, yaitu isu lingkungan, dan mengedepankan peran pelajar di dalamnya. Dari narasi percakapan mereka terungkap bahwa masalah lingkungan masih dianggap sebagai masalah biasa oleh anak muda, jika tidak mau disebut remeh. Persoalan ini menjadi problem hampir semua negara di dunia. Di menit ke-28.19 dalam video wawancaranya dengan Pak Gita, Afutami mengungkap survei yang menyasar 4.000 anak muda. Survei itu memberikan sebuah hasil yang mengejutkan bahwa 70% anak muda tahu ada masalah perubahan iklim, tetapi abai memberikan respons.

Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada para responden, apakah respons terkait persoalan lingkungan perlu dipikirkan aksinya? Jawaban dari pertanyaan jauh dari harapan. Mereka tahu, peduli pada lingkungan. Namun, ketika ada pertanyaan kapan mau turun tangan ikut memperbaiki dan memberikan aksi? Jawabannya nanti dulu. Dari yang dikemukakan Afutami, bisa diartikan 70% dari 4.000 anak muda yang disurvei memilih berpikir menunda aksi mereka, meski sudah tahu ada masalah di sekitar mereka. Mereka rata-rata menjawab merasa belum saatnya dan belum perlu sekarang.

Menyimak ulasan tersebut saya memberi hipotesa (dugaan) sederhana bahwa persoalan di kalangan anak muda sebagian besarnya adalah procrastination atau menunda-nunda. Persoalan ini menjadi sebuah masalah serius di kalangan anak muda. Apabila perilaku abai ini terus dilakukan dan abai dengan waktu yang sangat penjang, bisa berubah menjadi penyakit mental[2].

Saya membaca artikel yang dilansir Psychology Today, penundaan sering kali melibatkan diri sendiri di mana pada tingkat tertentu tindakan dan konsekuensi yang akan diterima seseorang sebenarnya sudah ia sadari. Disebutkan, bagi beberapa orang, kebiasaan menunda akan mengubah waktu produktif menjadi waktu yang terbuang percuma dalam hitungan  detik, menit, bahkan jam, lalu bulan, dan tahun.

Terbayangkah jika seseorang akan melakukan perjalanan jauh dan menggunakan moda pesawat terbang, lalu terlambat sepuluh menit dari jadwal penerbangan yang sudah diketahui dengan penuh kesadaran? Sepuluh menit akan mengubah semua tatanan rencana, serta kehilangan banyak kesempatan, termasuk boros karena membuang uang percuma. Buntutnya pribadi seperti itu akan kehilangan kepercayaan dalam kesempatan pertama bertemu orang lain, bisa jadi juga kesempatan penting lainnya hanya karena penundaan yang dibuat dengan kesadaran.

Sekilas persoalan tersebut seperti terbaca sepele. Namun, procrastination atau menunda-nunda bukan saja bisa mengubah kesehatan jiwa menjadi penyakit mental, tetapi juga akan berujung pada adab yang tidak baik, termasuk adab ingin sesuatu dengan tergesa-gesa, selalu berharap semua yang diinginkan bisa didapatkan secara instan dan jalan yang tidak biasa. Ini menjadi persoalan penting yang perlu dibahas. Mengapa? Karena Indonesia kini sedang mengalami bonus demografi,[3] kondisi penduduk usia produktif lebih besar secara jumlah dibandingkan penduduk usia nonproduktif. Bisa diduga jika semua usia produktif yang sebagian besar adalah remaja dan sedang berstatus pelajar, tentu bisa menyumbang proses keterlambatan pada banyak hal akibat sifat menunda. 

Sebuah data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)[4] mencatat, pelajar di Indonesia sebanyak 24,33 juta orang pada tahun ajaran 2021/2022. Tidak bisa terbayangkan andaikan mereka merespons lambat pada sesuatu yang penting. Jika sepuluh menit saja setiap orangnya, maka bisa jadi pelajar Indonesia memberikan keterlambatan sebesar 244 juta menit pada sebuah keputusan penting akibat terlambat. Lalu pernahkan terbayangkan bila kontribusi itu membuat Indonesia tertinggal dari negara lain, padahal pelajarnya mampu melakukan? Sungguh ini sebuah ketertinggalan yang disadari.

Padahal, jika merujuk pada banyak peristiwa penting yang terjadi di Indonesia, sebagian besarnya ada peran anak muda yang sangat jelas. Ingatlah peristiwa Sumpah Pemuda, Rengas Dengklok, Reformasi 1998, atau penolakan anak muda terhadap keputusan pemerintah yang tidak aspiratif terkait Undang-Undang Ketenagakerjaan, terlihat pelajar dan pemudalah yang turun ke jalan, terlepas banyak pro dan kontra yang terjadi. Semangat itu perlu kita jaga secara positif. 

Meski banyak dampak dan hambatan, terutama semangat respons cepat yang lamban, tetapi semangat menyelesaikan tantangan dan persoalan di kalangan anak muda yang sebagian besarnya adalah pelajar, sejatinya bisa ditingkatkan di masa sekarang. Pelajar adalah bagian anak muda yang masih mau belajar[5]. Negeri ini butuh dikelola dan diperjuangkan oleh anak muda yang memiliki stok energi dan waktu yang banyak yang tidak takut gagal. Banyak riset menyebutkan, salah satu ciri anak muda hari ini adalah komitmen pada perubahan dan kolaborasi[6], serta mencoba banyak hal produktif. 

Sadarilah, yang sebenarnya terjadi dari sebuah keterlambatan adalah, ketika jendela metakognitif kita terbuka lebar, tetapi kepedulian tidak mengikutinya secara baik. Mengutak-atik perkataan Herakleitos, tidak ada orang yang berselancar dua kali di ombak yang sama. Kaidah yang sudah kita pelajari mungkin bermanfaat, tetapi hanya pada saat yang tepat dan ombak yang benar[7].

Referensi :
 
[1] Gita Wirjawan, “Bumi Sedang Demam, Sudahkah Semua Paham? - Afutami | Endgame S3E28” (Jakarta, 2022), https://www.youtube.com/watch?v=uebLVs211rM&t=550s. Gita Wirjawan adalah Gita merupakan Mantan Menteri Perdagangan Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama lengkapnya Gita Irawan Wirjawanini, putra dari pasangan almarhum Wirjawan Djojosoegito dan Paula Warokka Wirjawan. Almarhum ayahnya sendiri adalah seorang profesor kedokteran di Jogja.

[2] Tara Amalia, “Suka Menunda-Nunda? Awas, Bisa Jadi Tanda Penyakit Mental! Artikel Ini Sudah Tayang Di VIVA.Co.Id Pada Hari Kamis, 11 Agustus 2022 - 12:43 WIB Judul Artikel : Suka Menunda-Nunda? Awas, Bisa Jadi Tanda Penyakit Mental! Link Artikel : Https://Www.Viva.Co.Id,” 2022, https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kesehatan-intim/1508299-suka-menunda-nunda-awas-bisa-jadi-tanda-penyakit-mental. Menurut penelitian di Icahn School of Medicine di Mount Sinai, New York, menyebutkan bahwa kebiasaan terus-menerus menunda pekerjaan dapat berdampak secara signifikan terhadap hidup. Kebiasaan tersebut dapat menurunkan kinerja di tempat kerja maupun menurunkan prestasi seseorang jika masih dengan status pelajar.


[3] Siti Nur Aeni, “Bonus Demografi, Dampak Dan Hambatannya,” Katadata, 2022.

[4] Alif Karnadi, “Mayoritas Murid Berada Di Jawa Pada 2021/2022,” Data Indonesia, 2022, https://dataindonesia.id/ragam/detail/mayoritas-murid-berada-di-jawa-pada-20212022.

[5] Najwa Shihab, “10 Alasan Kenapa Indonesia Butuh Anak Muda | Catatan Najwa” (Indonesia, 2020), https://www.youtube.com/watch?v=WZm_TJ7WXAI.

[6] Cecilia Enberg, “Enabling Knowledge Integration in Coopetitive R&D Projects — The Management of Conflicting Logics,” International Journal of Project Management 30, no. 7 (October 2012): 771–80, https://doi.org/10.1016/j.ijproman.2012.01.003.

[7] Tom Vanderbilt, Beginners. Panduan Bagi Kita Yang Ingin Belajar Banyak Hal Baru Tanpa Batasan Usia, ed. Nurjanah Intan &Dwebirata Hardjono, 1st ed. (Bintang, 2021).

Penulis, Siswa SMA TNA Fatih Bilingual School, Banda Aceh

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...