Perubahan Iklim Itu Ulah Manusia
Berbagai penelitian menunjukkan 97 persen pakar klimatologi dunia menuliskan laporan ilmiahnya menyebutkan perubahan iklim dan pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia, tak terkecuali di Aceh.
Laporan dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), suhu tahunan rata-rata di Aceh telah meningkat sejak 1950 dari 22 derajat celcius dan terus mengalami peningkatan hingga 2020 sudah mendekati 25 derajat celcius.
Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) terus terjadi setiap tahunnya hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Ini kemudian menjadi penyumbang emisi karbondioksida (CO2) yang berpengaruh terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.
Karhutla yang terjadi setiap tahun sudah menjadi bahaya laten di Indonesia, tak terkecuali di Aceh. Ada ribuan hektar hutan dan lahan terbakar yang menghasilkan emisi, terutama karbondioksida yang terkandung pada kabut asap terakumulasi di udara, sehingga membentuk gas rumah kaca menjadi pemicu perubahan iklim dunia.
Sektor kehutanan, serta kebakaran hutan dan lahan menjadi menyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia pada 2018. Nilainya mencapai 723,51 Gg CO2e atau 44 persen dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia (katadata.com, 23 Agustus 2021).
Berdasarkan data terbuka yang dihimpun dan analisis readers.ID dari sipongi.menlhk.go.id, selama 2016-2020 saja, hutan yang hilang akibat Karhutla di Indonesia mencapai 3.079.313 hektar. Sebagai perbandingan saja, luasan ini setengah luas provinsi Aceh atau setara dengan 52,75 persen.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir, Karhutla di Indonesia yang paling luas terjadi pada 2019 sebanyak 1.649.258 hektar, luasan ini hampir 28,25 persen luas wilayah Aceh. Dengan rata-rata terjadi kebakaran seluas 18.113,61 hektar.
Akibat dari Karhutla selama 2016-2020 berdampak meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kebakaran. Diperkirakan Indonesia sudah melepaskan karbondioksida kurun waktu 5 tahun itu sebanyak 980.373.844 metrik ton dengan nilai rata-rata sebanyak 5.766.905 metrik ton.
Kendati Pemerintah Indonesia ada beberapa melakukan reboisasi, melalui pertumbuhan alami atau penanaman, tetapi pohon perlu waktu bertahun-tahun sebelum dapat menyerap CO2 sepenuhnya.
Sebagai contoh pohon Grupel (Lisea.SP) yang tumbuh di dataran tinggi Gayo, tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tumbuhan ini ada di ketinggian 700 sampai 1.700 MdPL. Tingginya mencapai 35 meter dengan diameter hingga 35 centimeter.
Grupel terkenal karena tekstur bunga yang terlihat di sel kayunya. Bagian pohon yang digunakan sebagai kerajinan adalah akar dan kayunya. Uniknya, semakin lama umur kayu ini, semakin bagus untuk diolah.
Namun pohon yang satu keluarga dengan Lauraceae ini sudah sulit ditemukan di dataran tinggi Gayo. Padahal pohon jenis ini membutuhkan ratusan tahun agar tumbuh besar.
Selaras dengan pernyataan sejumlah pakar iklim telah menyimpulkan bahwa gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia adalah penyebab terjadi pemanasan global. Secara alamiah, gas rumah kaca dihasilkan dari kegiatan manusia sehari-hari, namun sejak tahun 1950-an emisi gas CO2 meningkat secara drastis yang disebabkan oleh semakin majunya industri yang berbanding lurus dengan konsumsi energi.
Karhutla menjadi faktor dominan yang mengeluarkan karbon dioksida mencapai 44 persen di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Ditambah lagi pembangunan besar-besaran yang sedang digalakkan Presiden Joko Widodo juga berpotensi hilangnya banyak tutupan hutan di Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya telah mewanti-wanti, pembangunan yang sedang berjalan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon dan deforestasi.
“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi.” tulis Menteri LHK, Siti Nurbaya dalam status twitter pribadinya, Rabu (3/11/2021).
Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat Undang-Undang 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
Padahal Uni Eropa menilai emisi karbon yang dihasilkan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Indonesia lebih parah dibanding kebakaran hutan Amazon. Laporan ini pun dinilai mencederai komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris.
Karhutla yang terjadi di Indonesia menjadi sorotan dalam laporan tersebut. Terhitung hingga 15 November 2019, Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa memprediksi bahwa Karhutla di Indonesia telah melepas sebanyak 709 juta ton karbondioksida ke udara. Jumlah ini setara dengan emisi buangan karbon dioksida tahunan negara Kanada.
Yang lebih mengejutkan lagi, angka tersebut 22 persen lebih tinggi dibanding emisi karbondioksida yang dihasilkan dari kebakaran hutan Amazon, yakni 579 juta ton karbondioksida.
Menurut Menteri LHK yang dituliskan dalam twitter pribadinya, kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatan menurut kaidah-kaidah berkelanjutan dan tentunya harus berkeadilan.
Siti Nurbaya bahkan menegaskan, pemerintah Indonesia menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.
"Karena di Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan Indonesia," tulisnya lagi.
Menurutnya, memaksakan Indonesia untuk zero deforestation pada 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya.
Ia mencontohkan, Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.
Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, lanjutnya, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya. "Apakah mereka harus terisolir? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya," tegasnya.
Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan komitmen para pemimpin dunia, termasuk Presiden Joko Widodo telah menyatakan tekad untuk mengakhiri dan mengatasi dampak penggundulan hutan pada 2030 yang disampaikan di KTT COP29 (Conference of the Parties) di Glasgow.
Kendati demikian, Siti Nurbaya menegaskan bahwa Indonesia menerapkan Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink pada 2030 untuk mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (di antaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030.
Meskipun demikian, dia menyebutkan, Indonesia menargetkan penurunan emisi 41 persen saja, artinya akan mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Ia juga mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an jutaan, tapi bunyinya 50 persen.
“Tidak bisa membandingkan Indonesia dengan negara lainnya, apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas,” tulisnya lagi.
Lanjutnya, Indonesia menargetkan penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional, Indonesia berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur dan mengerjakan secara konsisten.
"Pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," tegas Menteri Siti, sebagaimana rilis Kementerian LHK untuk media, Rabu (3/11/2021).
Sementara itu Karhutla dan deforestasi yang terjadi di Indonesia berlanjut pada laju yang mengkhawatirkan dan tidak boleh dipandang sebelah mata, karena berdampak serius terhadap upaya melawan perubahan iklim.
Berdasarkan analisis data dari sipongi.menlhk.go.id, luas Karhutla di Aceh pada 2016-2020 berhubungan erat dengan peningkatan akumulasi emisi karbon dioksida dalam lima tahun terakhir. Bila ditinjau kriteria korelasi, jika nilainya mendekati ‘1’, berarti variabel X, dan, variabel Y memiliki korelasi erat atau kuat.
Dengan demikian, luas Karhutla di Aceh ada hubungannya terhadap peningkatan akumulasi emisi karbon dioksida dalam lima tahun terakhir. Hal itu diketahui dari hasil penghitungan dengan menggunakan rumus koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kedua faktor tersebut adalah sebesar 0,86.
Semakin sering terjadi Karhutla di suatu wilayah semakin tinggi pula emisi karbon dioksida dikeluarkan. Kondisi ini berdampak serius terhadap perubahan iklim dan terjadi pemanasan global.
Hal ini bisa dilihat dari data luas Karhutla di Aceh sebanyak 9.158 hektar pada 2016, dengan tingkat emisi sebesar 2.859.378 ton CO2e. Luas kebakaran turun pada 2017 seluas 3.865 hektar, dengan emisi juga ikut turun sebesar 2.786.053 ton CO2e.
Luas Karhutla di Aceh pada 2018 kembali turun menjadi 1.284 hektar dan ini berkorelasi dengan tingkat emisi karbon dioksida yang dikeluarkan ikut mengalami penurunan menjadi 572.104 ton CO2e.
Pada 2019 luas Karhutla di Aceh mengalami penurunan drastis, yaitu hanya 730 hektar, begitu juga berhubungan erat turunnya tingkat emisi karbon dioksida sebanyak 281.520 ton CO2e.
Kemudian luas Karhutla di Aceh kembali melonjak pada 2020 seluas 1.078 hektar, begitu juga berkorelasi meningkatnya emisi sebanyak 361.241 ton CO2e.
Sedangkan total Karhutla sepanjang 2016-2020 seluas 16.116,31 hektar dengan tingkat emisi karbon dioksida yang terjadi sepanjang 5 tahun ini sebanyak 6.869.296 ton CO2e di Aceh.
Dengan demikian, Karhutla yang terjadi sangat berhubungan erat meningkatnya emisi karbon dioksida yang berdampak serius terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.
Hutan dapat menyerap banyak CO2, menebang pohon, Karhutla dapat berdampak besar pada perubahan iklim. Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara di dunia yang paling banyak kehilangan hutan selama dua dekade terakhir.
Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara 2002 dan 2020.
Dikutip dari databoks.katadata.co.id, laju deforestasi hutan primer Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Global Forest Watch, lahan hutan primer Indonesia tercatat hanya berkurang 270 ribu hektare (ha) pada 2020, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 323,6 ribu ha.
Meski demikian, laju deforestasi Indonesia masih masuk daftar 10 terbesar di dunia pada tahun lalu. Indonesia menempati posisi keempat, diapit oleh Bolivia dan Peru.
Brasil masih menjadi negara dengan laju pengurangan hutan primer terbesar di dunia pada 2020, yakni 1,7 juta ha. Setelahnya ada Republik Demokratik Kongo yang kehilangan hutan primer seluas 491 ribu ha.
Bolivia tercatat kehilangan hutan primer seluas 277 ribu ha. Peru yang berada di bawah Indonesia kehilangan 166 ribu ha.
Kolombia berada di posisi keenam lantaran kehilangan hutan primer seluas 166 ribu ha. Kemudian, Kamerun tercatat kehilangan hutan primer sebanyak 100 ribu ha.
Laos dan Malaysia masing-masing kehilangan hutan primer seluas 89,7 ribu ha dan 73 ribu ha. Sementara, Meksiko tercatat kehilangan hutan primer seluas 68,4 ribu ha.
Adapun, pengurangan hutan primer di dunia seluas 4,21 juta ha sepanjang 2020. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya 3,75 juta ha.
Kehilangan lahan hutan primer terbesar terjadi pada 2016, yakni 6,13 juta ha. Kondisi itu terjadi karena kebakaran hutan yang cukup besar di beberapa negara seiring terjadinya kemarau panjang dan meningkatnya suhu udara.
Berdasarkan data-data tersebut semakin memperkuat argumentasi ilmuwan iklim dunia yang menyimpulkan bahwa, perubahan iklim dan pemanasan global itu akibat dari ulah manusia. Karhutla, gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan semakin memantik meningkatnya suhu dunia.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menuliskan berdasarkan bukti kuat, sekitar 97 persen ilmuwan iklim telah menyimpulkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan manusia sedang terjadi.
Pendapat lainnya juga disebutkan dalam situs resmi NASA datang dari American Meteorological Society, penelitian telah menemukan pengaruh manusia terhadap iklim selama beberapa dekade terakhir. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pengaruh manusia telah menjadi penyebab dominan dari mengamati pemanasan sejak pertengahan abad kedua puluh.
Bahkan U.S. Global Change Research Program menyebutkan iklim bumi sekarang berubah lebih cepat daripada titik manapun dalam sejarah peradaban modern, terutama sebagai akibat dari aktivitas manusia.[Bersambung]
Baca Juga: