Puasa dalam Perspektif Imam Al-Ghazali
Oleh Husaini Algayoni*
Karya Syekh Baquri tentang kesusastraan kuno, yang berjudul Ma’as Shaimin (dalam Indahnya Ramadan Rasulullah karya Samih Kariyyam: 2005) menjelaskan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliah telah mengenal kata ash-shiyam (puasa) yang berarti berpindah-pindahnya orang bersyair dan berpantun yang disampaikan oleh kaum muda dari para sesepuhnya.
Masyarakat Arab pra-Islam identik dengan sebutan jahiliah, arti jahiliah yaitu permusuhan atau suka bermusuhan dalam berbagai bentuk (substansi jahuliah bisa dilihat dalam Alquran [3] : 154, [5] : 50, [33] : 33, dan [48] : 26. Walaupun identik dengan sebutan jahuliah, tetapi masyarakat Arab masa itu terkenal dengan peradaban sastranya yang tinggi, setiap tahun diadakan pertunjukan karya sastra dalam rangka menunjukan keindahan-keindahan karya sastra.
Arti lain dari ash-shiyam yaitu menahan gerak, baik yang dilakukan oleh hewan, benda mati, maupun manusia. Kata ash-shiyam disebutkan juga dalam Alquran surat Maryam ayat 26, dari segi bahasa melalui mulut Maryam yang berbunyi “…aku telah bernazar berpuasa untuk Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.
Sementara itu dalam pemahaman Islam, puasa adalah menahan diri dari hal yang membatalkan, makan, minum, dan lainnya dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Puasa merupakan ibadah yang istimewa bagi umat Islam dan dilaksanakan pada bulan suci Ramadan, satu bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam.
Berbicara masalah puasa, ruang lingkupnya sangat luas. Baik dari segi hukum/fikih, sosial, dan pandangan dari masing-masing ulama/pemikir Islam. Satu di antara pemikir Islam yang masyhur di kalangan umat Islam adalah Imam al-Ghazali, pemikirannya banyak dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan. Dari itu, di bulan penuh berkah ini, penulis memaparkan sekilas tentang puasa dalam perspektif Imam al-Ghazali.
Imam al-Ghazali (Algazel) salah satu pemikir Islam terbesar dalam sejarah peradaban Islam yang pemikirannya dijadikan sebagai referensi utama dalam khasanah teologi dan tasawuf, khususnya berpaham Asyariah. al-Ghazali digelari dengan Zainuddin (hiasan agama) dan Hujjatul Islam (pembela Islam) karena kepiawaiannya membela Islam dari berbagai paham yang menyesatkan.
Nama al-Ghazali dinisbahkan dari nama tempat lahirnya di Ghazalah, Thus, Khurasan wilayah Persi (Iran sekarang), dan juga karena pekerjaan ayahnya yang seorang penenun wool (ghazzal) sehingga dijuluki al-Ghazali. Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Ghazali, lahir pada 450 H/1058 M dan meninggal dunia pada 505/1111.
Perjalanan intelektual al-Ghazali dimulai dari kampung asalnya, Thus. Bidang hukum (fikih) belajar pada Ahmad bin Muhammad ar-Razakani, lalu belajar di Jurjan pada Imam Nashr al-Ismaili. Pada usia 20 tahun merantau ke Naisabur untuk mendalami fikih dan teologi pada Imam al-Haramain al-Juwaini. Di Naisabur, al-Ghazali belajar banyak tentang mazhab fikih, retorika, logika, dan filsafat, serta di bidang tasawuf dibimbing langsung oleh Abu Ali al-Farmadzi.
al-Ghazali dilanda keragu-raguan (skeptis) mengalami krisis epistemologis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya sehingga menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Selama dua tahun di Damaskus, al-Ghazali melakukan uzlah, riyadah, dan mujahadah. Kemudian pindah ke Bait al-Maqdis untuk melakukan hal yang sama saat di Damaskus. Setelah itu, al-Ghazali pergi melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah Saw.
Pulang dari Tanah Suci, al-Ghazali mengunjungi tanah kelahirannya dan di sini pun al-Ghazali tetap uzlah. Keadaan skeptis yang dialaminya berlangsung selama 10 tahun dan pada periode ini al-Ghazali menulis karya monumental Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Religius) karya tentang pemikiran Islam yang komprehensif dan juga memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esoterik Islam.
Dalam Kitab Ihya Ulumuddin ini terdapat bab yang membahas tentang puasa yaitu asrar al-shiyam (rahasia puasa). Apa sebenarnya rahasia puasa? Posisi puasa merupakan dialektika antara keimanan dan kesabaran, puasa merupakan seperempat bagian dari iman dan sabar merupakan inti dari puasa itu sendiri.
Sabar dalam hal larangan yang dapat membatalkannya serta sabar dalam segala tindakan yang dapat mengurangi makna puasa. Puasa merupakan ujian yang berat bagi yang menjalaninya, akan tetapi puasa adalah ibadah yang sangat istimewa bagi umat Islam.
Kata Imam al-Ghazali puasa menjadi istimewa karena puasa adalah ibadah rahasia yang hanya diketahui antara orang yang berpuasa dengan Allah dan juga pengekang setan yang menggoda manusia melalui syahwat. Puasa juga memberi manfaat bagi manusia melalui dari penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan hikmah yang merupakan kepekaan dan dan kepedulian sosial.
Selain itu juga dalam pandangan al-Ghazali terdapat tiga tingkatan dalam puasa, ketiga tingkatan tersebut yaitu: puasa orang umum/awam, yaitu puasanya orang yang hanya menahan perut dan dan rasa lapar. Puasa orang khusus, puasa ini bukan hanya menahan lapar tapi juga berusaha mencegah pandangan, lidah, tangan, dan kaki dari segala perbuatan dosa. Tujuan puasa orang khusus untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya yaitu ketenangan dan keterangan bathin.
Sementara itu puasa orang yang terkhusus, puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah secara keseluruhan. Tingkatan ini merupakan puasanya para wali, nabi, dan kekasih Allah.
Puasa di bulan Ramadan selalu ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia, puasa memberi hikmah seperti menjadi manusia yang berakhlak mulia, menumbuhkan sifat pemurah dan penyayang, membentuk karakter yang taat pada perintah, melatih menahan syahwat serta menjadi manusia yang sederhana, dan merupakan jalan menuju kesehatan jasmani.
Hikmah-hikmah puasa dilihat dari kesehatan maupun sosial sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Plato bahwa obat jasmani dan rohani paling baik itu adalah puasa. Ibadah tertua ini bukan hanya dilaksanakan oleh umat Islam, jumat-umat terdahulu juga melakukan ritual yang namanya puasa untuk tujuan membersihkan rohani dan jasmani.
Dari uraian singkat di atas dapatlah dipahami bahwa puasa sangat besar manfaatnya, baik dari segi spiritual maupun aspek kehidupan sosial. Puasanya orang awam yang hanya menahan lapar dan haus dapat memberi kesehatan bagi rohani, apalagi puasanya orang khusus, terlebih-lebih terkhusus bukan hanya kesehatan tapi juga menambah ketakwaan hamba kepada Allah Swt.
*Penulis, Kolumnis Gayo.
Editor: Junaidi