Ramadan dan Buntungnya Omzet Penjualan Peci di Pasar Aceh
Syarifah (37) duduk tertegun di kursi kayu. Tangan kirinya tampak menyilang, mendekap tas selempang. Di sebelahnya, terlihat beberapa meja kayu dipenuhi tumpukan peci atau kopiah serta beragam aksesori kebutuhan ibadah umat muslim.
Berpayung terpal biru, menahan dahaga dikarenakan sedang berpuasa, sesekali perempuan itu berdiri dan menata susunan peci-peci beraneka motif tersebut sembari menawarkan beberapa barang dagangannya.
“Piyoh pak, piyoh! (singgah pak, singgah),” ucapnya menyapa warga yang melintas Jalan Teungku Chik Pante Kulu, di belakang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Upayanya pun belum mampu menarik perhatian pembeli. Walau hanya singgah maupun sekedar melihat dagangan milik warga Peuniti, Kecamatan Baiturrahman itu.
Ramadan 1442 Hijriah menjadi tahun kedua dalam balutan suasana pandemi Covid-19. Keadaan ini diakui perempuan yang telah lima tahun menjajakan perlengkapan ibadah kaum Adam itu juga mempengaruhi usahanya.
Sebelum pandemi, ia mengaku penjualannya selama Ramadan bisa mencapai hingga Rp4 juta per hari. Sebab pembeli peci serta aksesori miliknya saat itu tidak hanya warga Aceh saja, melainkan juga diminati wisatawan dalam maupun luar negeri yang sedang berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman.
“Penjualan topi di tahun-tahun sebelumnya Alhamdulillah lancar karena masih banyak tamu-tamu dari luar daerah maupun luar negeri, seperti Malaysia,” ujarnya.
Covid-19 mewabah di Indonesia Februari 2020. Di Aceh sendiri, virus tersebut mulai ditemukan menjangkit warga sebulan kemudian.
Tak ingin penyebarannya semakin meluas, Pemerintah Indonesia pun mengurangi seluruh aktivitas warga serta menutup semua kunjungan wisatawan, termasuk ke Aceh. Langkah itu kemudian berdampak terhadap denyut perekonomian di masyarakat.
Berbagai usaha bisnis mengalami penurunan penjualan. Itu juga yang dirasakan oleh Syarifah terhadap bisnisnya. Sebab tak ada lagi wisatawan dari luar daerah yang berkunjung ke Serambi Makkah.
“Tetapi belakangan semenjak pandemi penjualan menurun dan pembelinya rata-rata orang biasa (masyarakat Aceh),” ungkap Syarifah.
Langit Banda Aceh bakda Salat Jumat (16/4/2021) tak berhias awan sedikit pun, selain hanya hamparan biru. Itu membuat kubah hitam dari masjid bersejarah yang ada di ibu kota Provinsi Aceh tersebut seolah begitu mudah membiaskan cahaya matahari.
Sementara, wanita berusia 37 tahun yang kala itu mengenakan gaun biru dongker tersebut, masih menanti warga singgah di emperan toko emas dalam kawasan Pasar Aceh, tempat ia menjajakan barang dagangannya.
Mengisi kekosongan itu, tangannya masih senantiasa merapikan beraneka peci yang setiap penjualannya dibandrol harga mulai dari Rp35 ribu hingga Rp120 ribu per satuannya itu.
Seorang pria dewasa bersama dua anak laki-laki menghampiri tempat usaha Syarifah. Mereka lalu melihat dan memilih beberapa peci sebelum kemudian coba dikenakan di kepala.
Transaksi jual beli peci terjadi usai pria yang belakangan diketahui bernama Robi, warga Simeulue itu merasa telah menemukan peci untuk dua anak laki-lakinya. Peci perpaduan hitam dan putih bermotif bunga seharga Rp35 ribu per satuan itu pun menjadi pilihan.
“Karena ada rencana beli peci untuk anak-anak ya udah pulang dari salat coba lihat-lihat. Beli pecinya tadi yang seharga Rp35 ribu,” kata Robi yang sedang berkunjung ke Banda Aceh selama Ramadan.
Syarifah menjual sejumlah peci dengan berbagai bentuk dan motif, mulai bermotif pinto aceh, rencong, tanpa motif (polos), bercorak, hingga bergaya kupiah meukutop. Peci-peci itu berasal dari sejumlah perajin baik dalam wilayah Aceh maupun di Pulau Jawa.[]