Dr. Ratna Mulyany : Pelaporan Keberlanjutan Dorong Daya Saing Nilam Aceh di Pasar Global

Petani kecil menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan kapasitas hingga fluktuasi harga. Tanpa pelaporan yang terstruktur, mereka sulit mengakses pasar bernilai tinggi

Dr. Ratna Mulyani (Foto: ARC/Syaifullah Muhammad)
Penulis:

BANDA ACEH, READER—Pelaporan keberlanjutan dinilai menjadi kunci bagi agribisnis nilam Aceh untuk menembus pasar global yang semakin menuntut transparansi dan akuntabilitas.

Hal ini disampaikan oleh Dr. Ratna Mulyany dari Atsiri Risearch Center (ARC)-PUIPT Universitas Syiah Kuala dalam konferensi internasional IConPEORI 2025 yang digelar di VIP AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Jumat (5/9/2025).

Dalam paparannya, Ratna menyoroti dominasi petani kecil dalam rantai pasok minyak nilam di Aceh. Meski menjadi produsen utama dunia, posisi tawar petani dinilai masih lemah akibat minimnya dokumentasi praktik berkelanjutan.

“Petani kecil menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan kapasitas hingga fluktuasi harga. Tanpa pelaporan yang terstruktur, mereka sulit mengakses pasar bernilai tinggi,” ujar Ratna.

Tantangan dan Peluang

Beberapa kendala yang dihadapi petani, antara lain, rendahnya pengetahuan teknis, keterbatasan alat dokumentasi, serta belum adanya sistem pelaporan yang sesuai dengan konteks lokal. Di sisi lain, pasar global kini semakin menuntut transparansi dalam aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Ratna yang juga Koordinator Program Studi D3 Akuntansi FEB USK menekankan perlunya pendekatan bertingkat dalam pelaporan, mulai dari level petani, penyuling, hingga koperasi. Setiap level memiliki indikator yang relevan, seperti praktik pertanian ramah lingkungan, efisiensi energi, dan kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Model Pelaporan Kontekstual

Model pelaporan yang ditawarkan tidak sekadar mengikuti standar internasional seperti GRI atau ISO, melainkan disesuaikan dengan realitas lapangan. Dengan pendekatan ini, pelaporan tidak hanya menjadi alat sertifikasi, tetapi juga sarana pemberdayaan dan peningkatan efisiensi produksi.

“Pelaporan keberlanjutan harus menjadi bagian dari budaya kerja petani, bukan beban administratif,” kata Ratna.

Harapan ke Depan

Ratna mengatakan, konferensi ini diharapkan menjadi titik balik bagi industri nilam Aceh untuk lebih inklusif dan berdaya saing. Dengan pelaporan yang transparan dan kontekstual, petani kecil dapat memperoleh manfaat nyata seperti harga yang lebih stabil dan akses pasar yang lebih luas.

Editor: Redaksi