Ramai Kritik Pemerintahan Jokowi: RI Di Ambang Negara Gagal

JAKARTA, READERS -- Gelombang kritik terhadap pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) makin meluas. Terbaru, dewan guru besar, rektor dan para mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyerukan Pesan Kebangsaan dan Imbauan Moral 'Mengawal Demokrasi Indonesia yang Berkeadaban'.
Dalam pernyataan yang dibacakan guru besar UMY, Akif Khilmiyah, disebutkan eskalasi pelanggaran konstitusi dan hilangnya etika bernegara terus terjadi setahun belakangan ini.
"Mulai dari KPK yang dikebiri, pejabat yang doyan korupsi, DPR yang tak berfungsi membela anak negeri dan sebagian hakim MK yang tidak punya etika dan harga diri," bunyi pernyataan yang dibacakan di depan Gedung AR. Fachrudin, UMY, Bantul, Sabtu (3/2/2024).
"Kerapuhan fondasi bernegara ini hampir sempurna karena para penyelenggara negara, pemerintah, DPR dan peradilan gagal menunjukkan keteladanan mereka dalam menjaga kepatuhan kepada prinsip-prinsip konstitusi dan etika bernegara yang harusnya ditaati dengan sepenuh hati," kata Akif.
Dia menegaskan, sebagai negara demokrasi dan berdasarkan konstitusi, para penyelenggara negara di Indonesia semestinya menjadi teladan utama dalam menegakkan prinsip-prinsip konstitusi dan memberi contoh dalam menegakkan etika bernegara bagi warga negara.
"Tanpa keteladanan para penyelenggara negara, maka Indonesia akan berada di ambang pintu menjadi negara gagal," ungkapnya.
Karena itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya, harus bergerak untuk mengingatkan segenap penyelenggara negara agar mereka mematuhi konstitusi dan merawat demokrasi Indonesia.
Rakyat juga harus mendesak Presiden RI menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagai penyelenggara negara untuk mewujudkan pelaksanaan Pemilu 2024 yang jujur dan adil.
"Penggunaan fasilitas negara dengan segenap kewenangan yang dimiliki merupakan pelanggaran konstitusi yang serius," lanjut Akif membacakan tuntutan guru besar dan civitas academica UMY.
Kemudian, mereka juga menuntut para aparat hukum, yakni polisi dan kejaksaan dan birokrasi agar bersikap netral dalam kontestasi Pemilu 2024. Demikian pula KPU, Bawaslu, DKPP serta organ yang berada di bawahnya dituntut agar bersikap independen.
Selanjutnya, mendesak partai politik untuk menyetop praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kontestasi Pemilu 2024.
Mereka dituntut lebih mengedepankan politik gagasan dan edukasi politik yang mencerdaskan rakyat.
Kelima, menuntut lembaga peradilan yakni MA dan peradilan di bawahnya, MK bersikap independen dan imparsial dalam menangani berbagai sengketa dan pelanggaran selama proses Pemilu 2024.
Terakhir, menghimbau seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan Pemilu 2024 agar bermartabat, jujur dan adil sehingga menghasilkan pemimpin yang visioner dan berani menegakkan prinsip-prinsip konstitusi.
Sebelumnya, kampus-kampus membuat petisi untuk Jokowi. Dimulai dari UGM yang merilis petisi Bulaksumur karena kecewa terhadap salah satu lulusannya itu. Lalu, Universitas Islam Indonesia (UII) menyerukan 'Indonesia Darurat Kenegarawan'.
Pada Jumat (2/2) kemarin, setidaknya ada tiga tambahan kampus yang menyampaikan sikapnya mengkritik Presiden Jokowi.
Universitas Indonesia (UI) mengaku terpanggil untuk menabuh genderang memulihkan demokrasi.
Sementara itu, sejumlah guru besar dan civitas academica Universitas Hasanuddin (Unhas) mengingatkan Presiden Jokowi dan semua pejabat negara, aparatur hukum, dan aktor politik yang berada di kabinet untuk tetap berada di koridor demokrasi, mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial serta rasa nyaman dalam berdemokrasi.
Koalisi Dosen Universitas Mulawarman (Unmul) ikut menyerukan sikap menyelamatkan demokrasi dan meminta Presiden Jokowi untuk tidak memihak di Pemilu 2024.
Aksi Kamisan

Aksi Kamisan di Jakarta Pusat, Kamis (1/2/2024), suarakan pemilu jujur dan adil. Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
Tak hanya itu, pada Kamis (1/2/2024), sebanyak 145 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membuat petisi yang isinya protes sekaligus mempermasalahkan pencalonan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dan wakil presiden 2024.
Selain 145 LSM, turut bergabung juga 130 individu atau tokoh dalam pembacaan petisi yang digelar di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.
Pembacaan petisi ini memang dilakukan dalam Aksi Kamisan yang sudah digelar sejak bertahun-tahun lalu.
Fakta-fakta historis dan kekinian dengan sangat jelas menunjukkan bahwa penguasaan negara dan sumber daya di dalamnya oleh segelintir orang, keluarga, dan penguasa telah meminggirkan dan merampas hak-hak rakyat di negara ini," tulis Koalisi dalam siaran persnya dikutip Jumat (2/2).
Pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo pun dianggap tak memenuhi standar kepentingan rakyat. Tak ada satupun kepentingan rakyat yang diwakilkan dari langkah politik tersebut.
Prabowo juga disebut tak layak mencalonkan diri sebagai presiden. Hal ini karena rekam jejaknya di masa lalu yang terlibat dalam pelanggaran HAM 1997-1998.
LSM yang turut berpartisipasi dalam petisi ini yakni Imparsial, WALHI, ELSAM, Indonesia Corruption Watch (ICW), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Centra Initiative, SETARA Institute, PERLUDEM, HRWG, ICJR, hingga Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
Sementara sejumlah individu yang terlibat di antaranya Suciwati Munir, Sumarsih, Paian Siahaan, Romo Frans Magnis Suseno, Halida Nuriah Hatta, Petrus Hariyanto, Butet Kartaredjasa, Riri Riza, Happy Salma, Faisal Basri, dan lainnya.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menganggap wajar pertarungan opini yang muncul jelang pemilu. Dia juga menyinggung strategi politik partisan.
"Kita cermati di tahun politik, jelang pemilu pasti munculkan sebuah pertarungan opini, penggiringan opini. Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang juga wajar aja. Apalagi kaitannya dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral," kata Ari di Kompleks Kemensetneg, Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Meski begitu, Ari menegaskan kritik dari akademisi kampus itu sebagai kebebasan berbicara dan merupakan hak demokrasi warga negara.[]
Komentar