Satwa Liar di Rumah Pejabat, Siapa Bermain?

Burung-burung yang tergolong satwa dilindungi yang diamankan oleh petugas BKSDA di rumah dinas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. [Dok. Ist]
Penulis:

Gubernur Aceh, Nova Iriansyah diminta menjelaskan kepemilikan hewan dilindungi yang tempo lalu diserahkan ke BKSDA. Dalam banyak kasus di Indonesia, keterlibatan pejabat kerap menyingkap adanya dugaan gratifikasi bahkan transaksi dengan penadah satwa ilegal.

Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada Kamis (11/3/2021), menerima sembilan ekor satwa dilindungi jenis burung. Unggas-unggas itu sebelumnya berada di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh yang kini ditempati Gubernur Nova Iriansyah, di kawasan Blang Padang, Kota Banda Aceh.

Adapun satwa yang diterima itu terdiri dari seekor burung julang emas (Rhyticeros undulatus), satu ekor elang hitam (Uctinaetus malaynesis), empat ekor elang bondol (Haliatur indus) dan tiga ekor elang brontok (Nisaetus chirrhatus).

Meski telah menerima sembilan ekor satwa langka, namun pihak BKSDA Aceh tidak mengetahui secara pasti dari mana asal usul dan sejak kapan burung-burung tersebut dipelihara di rumah wakil gubernur Aceh.

Ketidaktahuan ini memantik respons, khususnya dari pengamat satwa dan lingkungan Aceh, Dewa Gumay.

Aktivis yang kini menjabat sebagai kepala Departemen Kebijakan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mengatakan, instansi terkait harus mencari tahu mengenai asal usul keberadaan satwa-satwa tersebut.

Salah satu langkah dengan memanggil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, selaku orang yang menempati rumah wakil gubernur Aceh atau pejabat bersangkutan lainnya dalam lingkup Pemerintah Aceh.

“Sebetulnya penting gubernur dipanggil atau pihak mana pun yang nanti di dalam kantor gubernur dipanggil,” kata Dewa Gumay, saat dihubungi via telepon, pada Jumat (12/3/2021).

Bukan tanpa sebab usulan itu disampaikan. Hal ini mengingat burung yang dipelihara di rumah dinas Nova Iriansyah itu merupakan satwa langka. Oleh karena itu, harus ada penelusuran yang jelas terkait asal usul keberadaannya.

Ia khawatir, burung-burung itu adalah barang pemberian dari oknum-konum sindikat perdagangan satwa liar ataupun oknum lainnya.

“Kita perlu menelusuri bahwa jangan-jangan barang itu patut diduga adalah barang gratifikasi, karena kebanyakan pejabat yang memelihara hewan langka biasanya itu hadiah dari berbagai macam pihak. Itu penting juga untuk dilurusi,” ujarnya.

Tak sampai di situ, Dewa juga mencurigai jangan sampai satwa itu pemberian dari sindikat penadah satwa liar ilegal. Sementara di sisi lain, negara saat ini tengah menyuarakan perang terhadap perdagangan satwa liar.

“Oleh karena itu pemanggilan gubernur adalah untuk mengklarifikasi, dapat barangnya dari mana dan sudah berapa lama,” imbuhnya.

Pengamat satwa dan lingkungan Aceh, Dewa Gumay. [Dok. Ist]

Aktivis yang pernah menjabat sebagai program manajer di Fauna & Flora International (FFI) itu menggarisbawahi, bahwa kasus ini secara hukum sudah tergolong dalam ranah tindak pidana.

Ia merujuk Pasal 21 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 yang berbunyi, “Setiap orang dilarang untuk menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.”

Sementara untuk pidananya sesuai Pasal 40 ayat 1, “Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 1 dan ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.”

“Gubernur masuk ke dalam unsur menyimpan, memiliki, dan memelihara satwa liar itu dalam keadaan hidup. Itu unsurnya,” jelas Dewa Gumay.

Mengamati kasus ini, Dewa juga mengaku heran dan merasa tidak masuk akal ketika ada dalih bahwa pejabat setingkat gubernur tidak tahu mengenai status satwa liar yang dipeliharanya di rumah dinas.

Bahkan ditambahkannya, Aceh sudah punya aturan khusus melalui Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar. Bahkan aturan ini ditandatangani langsung oleh Nova Iriansyah, yang saat itu masih Pelaksana Tugas Gubernur Aceh.

Dengan berlapisnya aturan mengenai perlindungan satwa liar, ia merasa aneh jika itu masih dilanggar.

“UU Konservasi Hayati sudah berlaku 30 tahun. Kalau alasannya tidak mengetahui informasi bahwa hewan itu tidak boleh dipelihara dan lain-lain, saya pikir itu agak sedikit kontradiksi,” katanya.

Padahal undang-undang ini jelas melarang pemeliharaan satwa dilindungi. Namun, ketus Dewa, Gubernur Aceh malah mengizinkannya selama bukan sebagai hobi. Ia menagih penjelasan, apa landasan yang membolehkan itu.

Ini merespons pernyataan Kepala Dinas Peternakan Provinsi Aceh Rahmandi, yang juga ikut mengeksekusi satwa dari rumah dinas Nova Iriansyah, tempo lalu. Rahmandi mengatakan, Gubernur Aceh mengizinkan untuk memelihara bukan sebagai hobi, melainkan dalam rangka penyelamatan. Satwa itu baru diserahkan untuk ditindaklanjuti setelah dirasakan kesehatannya cukup baik.

“Jadi saya ingin tegaskan, pengelolaan satwa ini tidak bisa semaunya sesuai keinginan personal, tentu tidak bisa, ada undang-undangnya,” kata mantan Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh itu.

Mengacu undang-undang pula, lanjut Dewa, tidak dibenarkan memelihara dengan dalih untuk penyelamatan seperti yang disampaikan Kadis Peternakan Provinsi Aceh tadi.

Ia juga menambahkan aturan lain, yakni lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Di sini dinyatakan, seluruh jenis satwa dilindungi hanya boleh dipelihara pihak penangkaran dan lembaga konservasi. Singkat kata, satwa-satwa tersebut haram dimiliki perseorangan tanpa izin.

“Tidak bisa juga, karena di dalam undang-undang itu tidak dikenal. Kalau mau berbicara penyelamatan, satu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 itu diperbolehkan adalah LK (lembaga konservasi), misalnya taman safari, kebun binatang. Itu harus punya izin,” tegasnya.

“Kalau pun beliau punya hobi itu ya tidak apa-apa tetapi harus mengurus izin, kemudian dipantau dan dilaporkan. Tetapi kalau dia mengatakan memelihara tanpa hobi tidak ada diskresi untuk itu. Tidak ada jaminan bahwa tanpa izin, itu tetap ilegal,” imbuhnya.

Dalam wawancara readers.ID sebelumnya, BKSDA Aceh mengaku tidak mengetahui asal usul dan sejak kapan satwa itu berada di rumah dinas wakil gubernur Aceh. Sementara, sembilan ekor burung langka itu telah mereka terima.

Kasus ini berbeda ketika pada Januari 2020 lalu, BKSDA Aceh melalui Konservasi Wilayah I Lhokseumawe menerima satwa langka jenis Owa dari warga Kota Lhokseumawe. Ihwal penyerahan itu, BKSDA Aceh justru mengetahui satwa berjenis kelamin laki-laki dan diperkirakan berusia 2,5 tahun tersebut dipelihara oleh warga sejak bayi.

Di situ BKSDA Aceh menyusuri secara lengkap asal usul dan sejak kapan satwa dilindungi itu dipelihara. Berbeda dengan kasus satwa di rumah dinas wakil gubernur, petugas mereka berdalih tidak menanyakan secara detail kepada si pemilik.

“Saya pikir itu yang agak sedikit mengkhawatirkan, cara BKSDA sebagai otoritas UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) pemerintah yang menurut saya hari ini jadi seperti Unit Pusat Terasa Dinas,” kata Dewa Gumay.

Ia menduga, informasi itu bukannya tidak ada, tapi cenderung ditutupi. Untuk bisa memastikan ini semua, Dewa berulang kali mendesak agar Gubernur Aceh dipanggil lalu diselidiki.

Kata dia, penyelidikan ini bisa dikembangkan oleh pihak yang berwenang, seperti kepolisian atau balai konservasi dan sumber daya alam sendiri. Penyelidikan juga akan mengungkap siapa pemberi, dari mana asal usul, sejak kapan dan apa saja alasan pemberian satwa tersebut.

“Perlu diselidiki sebetulnya ia sebagai pejabat negara, burungnya dapat dari mana? Makanya menurut saya, ada dugaan atau patut diduga jangan-jangan itu barang gratifikasi. Atau jangan-jangan beliau beli dari penadah yang justru penadahnya itu adalah penadah satwa liar ilegal,” duganya.

Ia berharap otoritas terkait serius mengusut masalah ini. Mereka sekaligus perlu memastikan kepemilikan satwa yang boleh jadi dilakukan banyak pejabat lainnya di Aceh.

“Jangan-jangan bukan hanya gubernur, mungkin ada pejabat lain. Misalnya dia menerima gratifikasi dari kepala dinas A, berarti kepala dinas A harus ikut dipanggil. Jadi banyak hal yang bisa dikembangkan dari informasi ini,” katanya.

Editor: Fuadi Mardhatillah