Sempat Terdampak Pagebluk, Kini Deny Bangkit

Waktu Baca 14 Menit

Sempat Terdampak Pagebluk, Kini Deny Bangkit
Deny Afriansyah sedang mengeluarkan bakpia yang sudah matang dari oven. readers.ID | Hotli Simanjuntak

Suhu ruangan 4x2 meter itu diperkirakan mencapai 34 derajat celsius lebih. Hawa panas itu datang dari oven tempat memasak bakpia milik Deny Afriansyah di Gampong Baro, Peukan Bada, Aceh Besar.

Satu per satu bakpia yang sudah dibulatkan seukuran telur ayam ras itu, ditipiskan menggunakan logam anti karat berbentuk oval. Lalu diletakkan dalam wadah untuk selanjutnya dipanggang dalam oven selama beberapa menit.

"Gak ada ukuran waktu bang, ini perkiraan saja, kira-kira kalau dah masak saya ambil," kata Deny pekan lalu kepada readers.ID.

Deny Afriansyah, pemilik bakpia ABT di Gampong Baro, Peukan Bada, Aceh Besar

Tak ada petunjuk temperatur suhu maupun penanda waktu di oven milik Deny. Semuanya terlihat masih sangat manual. Penakaran tingkat kematangan panganan -- biasa di Aceh disebut kue arafik-- itu hanya berbekal pengalaman yang telah dilakoni pria berusia 39 tahun tersebut lebih satu dasawarsa.

Layaknya sekuriti, Deny pun tak boleh lengah. Apalagi beranjak menjauh dari ruangan memasak bakpia tersebut. Ia harus terus mengawasi proses pemanggangan yang dimulai sejak selepas Zuhur hingga menjelang larut. Tujuannya, agar kue tetap renyah dan tidak gosong.

Bagi Deny, kendati produksi bakpianya masih skala rumahan dan pengerjaannya masih manual, namun kepuasan pelanggan merupakan hal yang paling diutamakannya.

Sebab, kualitas menjadi prioritas utama perusahaan kue bakpia produksi rumahan milik Deny yang kini baru mampu memproduksi 1.500 potong kue tersebut.

"Kualitas dan rasa menjadi hal utama bagi kami," ungkapnya.

Deny mengerjakan usahanya ini hanya berdua dengan istrinya dan selalu berbagi tugas. Mereka berdua bahu membahu mempersiapkan dari adonan awal hingga jadi bakpia yang siap disantap.

Dalam ruangan suhu yang panas itu, istrinya tampak cukup cekatan mencetak bakpia. Hanya hitungan jari, bakpia selesai dicetak per potong. Lalu suaminya langsung mengambil bakpia belum dimasak itu untuk dimasukkan dalam oven.

Setelah diperkirakan sudah masak. Deny membalikkan bakpia yang sudah matang sebelah menggunakan sendok makan, lalu dimasukkan kembali dalam oven agar kedua belah sama matangnya.

Bila sudah matang, semua bakpia dimasukkan dalam wadah plastik berwarna putih. Masing-masing wadah diisi sebanyak 30 bakpia. Tentunya wadah tersebut tidak lekas ditutup, karena harus menunggu dingin terlebih dahulu.

“Kalau ditutup terus bisa menguap," ungkapnya.

Kua bakpia milik Deny Afriansyah. readers.ID | Hotli Simanjuntak

Produki bakpia milik Deny terbilang masih konvensional. Baik dari produksi masih manual, hingga pemasaran belum tersentuh digitalisasi. Tetapi hanya mengandalkan pertemanan serta berkunjung ke warung kopi, kios untuk menawarkan produknya.

Padahal saat ini pemerintah sedang mendorong seluruh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merambah ke digitalisasi selama pagebluk Covid-19. Hal ini didukung lagi hampir seluruh pelosok gampong di Aceh sudah memiliki jaringan telepon seluler.

Tidak hanya itu, penerobosan gampong yang memiliki sinyal telepon seluler provinsi Aceh lebih unggul dibandingkan Sumatra Utara (Sumut).

Berdasarkan data terbuka dari Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat, pada 2020 provinsi Aceh mengalami peningkatan gampong yang tidak memiliki sinyal telepon seluler dibandingkan 2019 lalu. Angka ini menunjukkan Aceh lebih unggul dibandingkan provinsi tetangga.

Sementara gampong yang tidak memiliki sinyal telepon seluler pada 2019 lalu sebanyak 86 gampong. Angka ini setara 1,3 persen dari total 6.513 gampong di Aceh.

Meskipun pada 2020 justru mengalami peningkatan gampong tidak memiliki sinyal, yaitu bertambah 13 gampong. Hingga totalnya meningkat menjadi 99 gampong dibandingkan 2019. Angka ini setara 1,52 persen dari total gampong di Aceh yang tidak memiliki sinyal telepon seluler.

Sedangkan gampong yang mengalami sinyal lemah di Serambi Makkah mengalami kemajuan yang signifikan. Pada 2019 lalu jumlah gampong sinyal lemah terdapat 1.124 gampong atau setara 17,3 persen.

Pada 2020 turun 252 gampong yang sinyal lemah dan hanya tersisa 872 gampong atau setara dengan 13,39 persen dibandingkan pada 2019 lalu.

Untuk penerimaan sinyal kuat di Aceh cukup mengembirakan. Pada 2019 lalu pada angka 58,48 persen meningkat menjadi 60,79 persen. Artinya ada penambahan gampong sinyal kuat sebanyak 150 gampong pada 2020 lalu. Pada 2019 gampong menerima sinyal kuat hanya 3.809 gampong meningkat menjadi 3.959 gampong pada 2020 lalu.

Baca Juga:

 

Deny bukan tidak ingin memanfaatkan teknologi, seperti menggunakan media sosial Instagram, Facebook dan lainnya, untuk memasarkan usahanya. Tetapi ia mengaku jika pengetahuannya tentang memasarkan hasil produk menggunakan digitalisasi masih sangat minim selama ini.

Kendati dirinya sudah memiliki akun Instagram pribadi. Tetapi kendala pengetahuan dan kemampuan mengelola media sosial. Hingga dia mengurungkan niatnya memasarkan secara daring. Sehingga, saat ini ia masih memasarkan secara konvensional.

Jangankan untuk bimbingan memasarkan produknya secara digitalisasi yang sedang didorong pemerintah selama pagebluk. Deny mengaku lebih 11 tahun memproduksi usaha rumahan ini belum pernah tersentuh bantuan apapun dari pemerintah.

"Ini murni usaha sendiri, gak ada bantuan, mungkin gak ada orang dalam ya," ungkap Deny sembari tersenyum.

Selama pagebluk Covid-19 dan pemerintah memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk mencegah penyebaran Virus Corona. Deny mengaku sempat terdampak.

Dibatasinya jam buka warung kopi dan banyak warung yang memilih tutup ketika di awal pandemi, mempengaruhi usaha bakpia Deny. Bahkan, roda usaha rumahan yang digerakkannya selama ini sempat mandek di pertengahan April 2021 lalu.

"Dari bulan puasa kemarin, kami baru produksi lagi baru 10 hari, berarti kami libur sekitar setengah tahun," ungkapnya.

Awal Oktober 2021 Deny bersama istrinya baru kembali berproduksi. Dampaknya Deny harus merintis kembali warung kopi, kios yang mau menerima produk bakpia miliknya.

Ia pun mengaku bersyukur, masa-masa sulit itu mampu dilewatinya dan sekarang sudah ada kembali tempat yang mau menerima produknya.

Tempat memasarkan produknya, Deny mengaku 70 persen dititipkan di warung kopi yang ada di sekitaran Peukan Bada, Aceh Besar dan sebagian kecil pinggiran kota Banda Aceh.

Ada banyak jalan terjal dilewati Deny bersama istrinya Irma Wahyuni (36) merintis usaha rumahan bakpia ini. Belajar secara otodidak sejak 2009, setelah tempat dia kerja sebelumnya tutup di Peunayong, Banda Aceh.

Berbekal pengalaman satu tahun labih bekerja membuat bakpia milik salah seorang pengusaha Tionghoa yang menutup usahanya, karena pindah ke Jakarta. Deny saat itu tidak memiliki pekerjaan lain, sempat bekerja serabutan. Hingga akhirnya tercetuslah untuk membuka usaha bakpia tersebut.

Jatuh bangun tak dapat dihindari. Deny bersama istrinya mencoba memproduksi untuk uji coba mulanya hanya dua kilogram tepung. Hasilnya saat itu, sekitar awal 2009 cukup mengecewakan karena ada yang rusak, keras hingga cepat basi.

Kendati demikian, Deny bersama istrinya tak patah arang. Dia terus berinovasi berbekal pengalaman yang dimiliki. Lebih kurang satu tahun, baru bakpia produksinya yang diberi nama ABT itu sukses dan mendapatkan hasil yang baik.

"Saya berusaha belajar apa yang saya lihat, kurang lebih itu satu tahun," ungkapnya.

Pengakuan Deny, proses dia belajar terbilang lama dan tidak semudah yang dilihat saat ini. Terlebih selama proses mencoba, Deny bersama istrinya tidak ada yang mendampingi dari ahlinya dan tidak ada supervisi dari pemerintah. Semua mereka kerjakan dan mencoba secara mandiri dan otodidak.

Hingga akhirnya Deny menemukan sendiri resep bakpia yang memiliki cita rasa khas. Berbahan tepung, ada adonan kacang hijau di dalamnya. Tentunya rasa yang renyah menjadi alasan semua hasil produksinya yang dipasarkan dua hari sekali selalu terjual.

Bakpia milik Deny tidak bisa tahan lama, karena tidak menggunakan bahan pengawet. Sehingga mereka memproduksi bakpia setiap dua hari sekali. Bila Deny memproduksi pada Senin, maka Selasa berhenti memproduksi untuk menunggu yang sudah ada laku terjual.

"Insya Allah tidak ada bahan pengawet, makanya gak tahan lama, paling lama tahan itu 5 hari," ungkapnya.

Sehingga Deny harus bekerja keras untuk mempertahankan kualitas produksinya. Strategi yang digunakan dengan memproduksi selang satu hari. Sehingga potensi tidak terjual dapat diminimalisir.

"Bila ada yang tidak laku, saya ambil lagi. Satu potong jualnya Rp 1.000, jadi Rp 800 ke saya per potong," ungkapnya.

Deny mengaku mengantar bakpia ke warung kopi, kios dan beberapa tampat lainnya dilakukannya sendiri menggunakan becak motor. Sejak fajar mulai menyingsing, kebanyakan orang masih terlelap di tempat tidur.

Berbeda dengan keluarga kecil ini yang masih menyewa rumah mulai bangun dan mempersiapkan barang-barang untuk memasarkan bakpia ke warung kopi, kios maupun tempat lainnya.

Kini dia memiliki cita-cita bisa memproduksi bakpianya bisa mencapai 10 ribu potong lebih. Tetapi kendala yang dihadapi tidak cukup fasilitas saat ini. Bila hendak memproduksi dalam skala banyak, Deny mengaku selain butuh oven yang banyak, juga mesin adonan, karena selama ini mengaduk tepung masih dilakukan secara manual.

"Minimal butuh oven tiga, mesin pengaduk tepung, kalau manual gak sanggup," tuturnya.

Deny pun berkeinginan, produksi bakpianya ini bisa memasarkan secara digital. Tetapi ia mengaku untuk sekarang belum ada kemampuan. Selain produksi masih terbatas, dia mengaku tidak terlalu paham memasarkan secara daring.[mu]

Lihat Videonya

http://www.youtube.com/watch?v=Buw9d6SiB_A

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...