Seni Membaca Pemantik Minat Baca
Seni membaca merupakan langkah awal sebagai pemantik minat baca untuk membudayakan membaca dan menjadi pembaca yang baik dalam rangka meningkatkan sumber daya dan menjaga martabat manusia.
Oleh: Husaini Algayoni
Setiap 8 September diperingati sebagai Hari Literasi Internasional (International Literacy Day) oleh UNESCO yang telah ada sejak 1967, tujuannya untuk meningkatkan komunitas dunia akan pentingnya literasi bagi individu, komunitas, dan masyarakat. Literasi merupakan hal urgen bagi manusia dalam meningkatkan sumber daya dan menjaga martabat manusia.
Definisi literasi secara umum adalah kemampuan menulis dan membaca, kemampuan individu dalam mengolah informasi. Hari ini minat baca semakin memperihatinkan di Indonesia. Menurut data UNESCO, minat baca di Indonesia hanya 0,001% yang artinya dari 1,000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Kenapa minat baca rendah di Indonesia? Padahal sejak sekolah dasar tealah ditananamkan kata-kata semangat ke siswa yang berbunyi “Buku adalah jendela dunia” sayangnya slogan tersebut hanya tertulis di tembok sekolah tanpa ada upaya untuk membudayakan membaca dan memantik minat baca di kehidupan sehari-hari.
Menurut hemat penulis, guru mata pelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran penting dalam memantik minat baca siswa di sekolah, mengajarkan teknik-teknik membaca secara efektif, dan memberikan stimulus kepada siswa menjadi pembaca yang baik dan aktif. Selain itu juga perlu kiranya ditanamkan membaca itu merupakan seni yang indah untuk memantik minat baca.
Nah, secara umum tujuan membaca adalah untuk kesenangan, informasi dan untuk pemahaman. Tiga tujuan tersebut, teknik membacanya pun berbeda, dengan kata lain membaca mempunyai seni, yaitu seni membaca.
Buku menarik dari Mortimer Adler dan Charles van Doren dengan judul “How to Read a Book” (1972) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Lala Herawati Dharma dengan judul “Seni Membaca dan Memahami Beragam Jenis Bacaan” (2015) menyebutkan bahwa seni membaca adalah keahlian untuk menangkap semua bentuk komunikasi sebaik mungkin.
Paskal pernah mengatakan bahwa “Jika kita membaca terlalu cepat atau terlalu lambat, kita sama sekali tidak memahami apa pun.” Dari itu, tujuan buku ini ditulis untuk mengajak semua orang untuk membaca dengan lebih baik, selalu lebih baik, walaupun kadang-kadang lebih lambat, dan kadang-kadang lebih cepat.
Mungkin ada yang ingin membaca banyak tapi hanya punya sedikit waktu atau ingin membaca buku tebal dalam waktu singkat tanpa kehilangan sedikit pun pesan dari buku tersebut, buku ini memandu pembaca untuk membaca secara cepat dan memahami teks secara efektif, langkah-langkah yang ditawarkan buku ini menjadikan aktivitas membaca sebagai seni.
Buku yang memuat pokok-pokok penting seperti: menggali literatur dengan metode baca khusus beragam jenis bacaan; fiksi dan nonfiksi. Strategi memilih bacaan secara tepat guna menghindari bacaan yang mubazir. Bersikap kritis terhadap ilmu pengetahuan dan cara pandang sang penulis, cara ini bisa dengan meresensi buku, dan efektif memahami bacaan secara akurat.
Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kita selalu membaca. Namun, pertanyaannya adalah apakah kita sudah menjadi seorang pembaca yang baik? Atau sebaliknya kita menjadi seorang pembaca yang buruk dan tidak kompeten?
Di buku Mortimer Adler dan Charles van Doren ini disebutkan, ada empat tingkatan membaca. Tingkat pertama dinamai dengan membaca tingkat dasar atau tingkat permulaan, yang sudah menguasai tingkatan ini akan beralih dari buta huruf menjadi melek huruf.
Tingkat kedua dinamai membaca cepat dan sistematis, tingkat membaca ini ditandai dengan penekanan khusus pada waktu, tingkat ini adalah memperoleh sebanyak mungkin informasi di dalam waktu tertentu. Nama lain dari membaca ini yaitu membaca sekilas atau pra-membaca. Membaca cepat adalah seni dari membaca sekilas secara sistematis.
Tingkat ketiga, membaca secara analitis. Tingkat ini membaca menyeluruh, lengkap, membaca dengan baik yang terbaik yang bisa dilakukan. Jika membaca secara cepat dan sistematis adalah membaca dengan cara yang terbaik dan terlengkap dengan waktu yang terbatas, maka membaca secara analitis adalah membaca sebaik dan selengkap mungkin dalam waktu yang tidak terbatas.
Mortimer Adler dan Charles menegaskan bahwa membaca secara analitis jarang diperlukan jika tujuan dalam membaca hanya sekedar mencari informasi atau kesenangan. Tujuan dari membaca secara analitis adalah untuk memahami.
Tingkat membaca keempat, membaca secara sintopikal. Tingkat ini merupakan membaca paling kompleks dan paling sistematik atau disebut juga dengan membaca secara komparatif. Membaca secara sintopikal jelas merupakan aktivitas membaca yang paling aktif dan paling memuaskan.
Sebuah akademi yang baik, paling tidak harus mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang kompeten membaca secara sintopikal. Seorang dengan gelar sarjana muda harus mencerminkan kompetensi umum dalam membaca sehingga dapat membaca semua bentuk naskah yang ditulis untuk pembaca umum.
Dari uraian di atas, penting kiranya diketahui dan diperhatikan bagi mahasiswa di perguran tinggi, kalau membaca sekedar membaca, siswa di sekolah dasar juga membaca. Dari itu, dengan mengetahui seni membaca dan memahami beragam jenis bacaan kita bisa meningkatkan kualitas teknik bacaan. Begitu juga dengan siswa yang ada di sekolah, menjadikan membaca sebagai seni merupakan langkah menumbuhkan minat baca dan membudayakan membaca.
Bagi penulis sendiri membaca merupakan seni yang harus dinikmati dengan senang dan santai sehingga aktivitas dari membaca diperoleh pemahaman, imajinasi, kebahagiaan, dan kesenangan. Membaca pun lebih nyaman ketika berada di kedalaman malam dengan suasana hening.
Seni membaca merupakan langkah awal sebagai pemantik minat baca untuk membudayakan membaca dan menjadi pembaca yang baik dalam rangka meningkatkan sumber daya dan menjaga martabat manusia.
Literasi adalah jembatan dari penderitaan menuju harapan, demikian ungkapan tokoh dunia Kofi Annan (Sekretaris Jenderal PBB 1997-2006 dan penerima Hadiah Perdamaian Nobel 2001).
*Penulis: Kolumnis Gayo