Terorisme Perempuan: Akar Ketimpangan dan Dendam

Peneliti Hukum dan HAM Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Milda Istiqomah mengatakan peran perempuan dalam gerakan terorisme di Indonesia mulai bergeser.
Ia menuturkan, sebelum 2016, para perempuan di lingkungan gerakan teroris hanya bertugas pembawa pesan, perekrutan, mobilisasi, dan alat propaganda. "Namun, setelah 2016, mereka mulai lebih aktif," kata Milda dalam diskusi pada Jumat, 2 April 2021.
Ia mengatakan pada periode 2016 sampai sekarang, teroris perempuan juga ikut bom bunuh diri, menyediakan senjata, dan merakit bom.
Milda menilai ada tiga alasan kenapa sekarang mereka lebih aktif. Pertama personal factors. Perempuan terlibat karena dijajah pemikirannya dengan pemahaman Islam radikal.
Alasan kedua adalah social-political concerns. "Karena adanya ketimpangan sosial, ketidakadilan, diskriminasi. Mereka mengalami itu," ucap Milda.
Terakhir adalah karena faktor personal tragedi, di mana perempuan menjadi korban pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya. "Di mana hal itu melahirkan dendam dan melakukan aksi teror adalah cara mereka balas dendam," ucap Milda.
Milda mengatakan jumlah tahanan dan narapidana perempuan yang terlibat dalam terorisme dalam kurun waktu 2000-2020 mencapai 39 orang.
"Jadi dengan angka ini bisa menjelaskan alasan kenapa kemudian keterlibatan perempuan menjadi wake up call atau warning buat kita," ucap dia.
Sebelumnya, sejumlah anak muda di bawah usia 30 tahun menjadi pelaku aksi terorisme dalam 12 tahun terakhir. Terakhir, milenial berumur 26 tahun menyerang Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau Mabes Polri dengan senjata tembak airgun berkaliber 4,5 milimeter.
Pada 2017, data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan pelaku terorisme mayoritas berasal dari kelompok anak muda. Data lembaga tersebut menyebutkan 11,8 persen pelaku terorisme berusia di bawah 21 tahun dan 47,3 persen berada di rentang 21-30 tahun.





Komentar