Aceh Masih Ketergantungan Pasokan Pangan dari Sumut

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Safaruddin mengatakan, Aceh masih ketergantungan pasokan pangan dari Sumatera Utara (Sumut).
Padahal potensi pangan di provinsi palin ujung barat Indonesia ini cukup melimpah. Namun hingga sekarang belum termanfaatkan dengan baik. Dampaknya Aceh hingga sekarang masih sangat ketergantungan pasokan dari Sumut.
Menurut Safaruddin, Aceh memiliki potensi sebagai lumbung pangan dengan berbagai macam sumber daya alam untuk menuju kedaulatan pangan.
Namun, di sisi lain, ternyata Aceh juga belum memiliki Qanun Aceh tentang Kedaulatan dan Kamandirian Pangan Aceh untuk memberikan kepastian hukum.
"Saat ini baru ada Pergup (Peraturan Gubernur) Nomor 52 Tahun 2020 tentang Gerakan Aceh Mandiri Pangan. Seharusnya Aceh sudah memiliki qanun dan ini juga menjadi tugas DPRA untuk melahirkan qanun ini," kata Safaruddin saat menjadi pemateri pada webinar nasional yang digagas Badan Pengurus Wilayah (BPW) Perhimpunan Sarjana Pertanian Indoensia (PISPI) Aceh, Sabtu (27/11/2021).
Selain itu, politikus Partai Gerindra ini juga menilai Aceh belum memiliki skema yang jelas dalam mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan sehingga munculnya berbagai permasalahan di lapangan.
"Potensi sumber daya alam, potensi geografis, potensi geo-strategik, dan geo-politik Aceh belum dapat dimanfaatkan secara baik dan menguntungkan dalam kemandirian ketahanan dan kedaulatan pangan Aceh," sebutnya.
Kemudian, kata Safaruddin, Aceh juga memiliki sumber bahan baku yang melimpah, namun produksi bahan mentah menjadi hasil produksi atau barang jadi tidak ada di Aceh karena belum ada pendekatan dari hulu ke hilir dari bahan bahan baku menjadi hasil produksi.
"Selama ini Aceh juga masih ketergantungan beberapa sumber pangan dengan provinsi tetangga, Sumatera Utara, seperti beras kualitas premium, tepung, minyak, telur, susu," ungkap dia.
Dampak lain yang terlihat, angka stunting di Aceh masih tinggi yang disebabkan penyajian makanan dalam rumah tangga belum terpenuhi gizi atau mempengaruhi masa usia atau angka harapan hidup.
“Ini juga menjadi pembicaraan dua tahun terakhir. Bahwa di samping kemiskinan, stunting juga menjadi PR berat bagi Pemerintah Aceh dan membutuhkan perhatian serius,” ujarnya.
Menurut Safaruddin, kondisi ini menjadi sebuah keanehan bagi Aceh yang memiliki potensi alam yang luar biasa dan anggaran yang besar, tapi masih memiliki angka stunting yang tinggi.
Di samping itu, persoalan lain yang sedang dihadapi adalah ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19 yang harus diantisipasi segera sebagaimana peringatan World Health Organization (WHO) dan The Food and Agriculture Organization (FAO) serta Presiden Republik Indonesia.
"Karenanya diperlukan upaya terukur untuk terpenuhinya ketahanan pangan dalam rangka mengantisipasi krisis pangan ini," ungkap Safaruddin.
Terhadap sejumlah persoalan tersebut, lanjut dia, DPRA juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah dalam memastikan terwujudnya kedaulatan pangan di Aceh.
"DPRA memastikan agar adanya perlindungan terhadap masyarakat atas kebutuhan pangan sebagai hak asasi manusia dan keadilan bagi seluruh rakyat Aceh serta memastikan dunia usaha dapat menghasilkan industri pangan," tuturnya.
Untuk itu, ia menambahkan, bahwa DPRA juga akan mendukung lahirnya regulasi (qanun) terhadap percepatan penurunan prevalensi stunting dan upaya meningkatkan angka harapan hidup Aceh.[acl]
Komentar