Ancaman Long Covid-19 pada Anak

Ketua IDAI Aman Bhakti Pulungan mengamini salah satu faktor meningkatnya kasus Covid-19 pada anak lantaran sebagian orang tua tak patuh protokol kesehatan.
Namun dia juga mengingatkan pemerintah, angka testing dan tracing Covid-19 pada anak di Indonesia pun masih rendah.
"Idealnya perlakuan antara balita dan anak-anak harusnya sama dengan orang dewasa. Risiko anak dan dewasa terpapar itu sama, yang meninggal juga banyak kan untuk anak," kata Aman dikutip dari BBCInconesia.
Merujuk data Satgas Penanganan Covid-19, persentase angka kematian anak-anak tercatat 1,2 persen dari total 54.662 kasus meninggal hingga Minggu (20/6/2021).
Itu artinya ada 656 anak-anak dan balita yang meninggal terpapar Covid-19 sejak kasus pertama diumumkan Maret 2020.
Tak hanya itu, Aman menilai melonjaknya kasus Covid-19 pada anak-anak ini harus menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan rumah sakit untuk menyiapkan ruang perawatan khusus.
"Kalau kasusnya 12,5 persen maka minimal 10 persen dari itu. Jangan sampai sudah parah baru dirawat. Dokter anak kan ada di mana-mana," tutur dia.
Merespons soal ruang khusus perawatan untuk anak, menurut Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan, masing-masing rumah sakit telah mengalokasikan kamar untuk pasien anak. Hanya saja, kapasitas persentasi ditentukan masih-masing rumah sakit dan pemerintah daerah.
Hal lain ihwal kasus Covid-19 pada anak ini, yang tak kalah penting menurut Aman adalah pemerintah harus segera memperbaiki data secara menyeluruh.
"Dashboard data anak itu harus ada sesegera mungkin dan buatlah data sesuai kelompok umur anak itu di setiap provinsi. Kapan sih seluruh Pemda, seluruh dinkes, dan seluruh Satgas provinsi ini sadar bahwa anak ini bisa Covid-19," kata dia.
Pendataan dan pemetaan kasus itu jadi penting untuk mengetahui dampak lanjutan atau jangka panjang terhadap Covid-19. Sebab, Aman mengungkapkan, sudah ada laporan temuan kasus long Covid-19 pada anak di Indonesia.
"Outcome-nya pada anak ini tidak hanya kematian, tapi gejala persisten. Selain MISC (Multisystem Inflammatory Syndrome in Children). Itu MISC tidak di semua negara, kita salah satu yang banyak," terang dia.
Aman lantas mengutip laporan kasus dari Italia yang menunjukkan 52,7 persen anak mengalami long Covid-19 setelah empat bulan. Beberapa gejala yang tercatat di antaranya insomnia, fatigue, nyeri otot, nyeri sendi hingga, masalah pernapasan.
Laporan lain yang ia kutip adalah dari Swedia, pada pasien usia 9-15 tahun. Kelompok ini mengalami long Covid setelah enam hingga delapam bulan terinfeksi.
Gejala yang dialami anak-anak itu juga hampir sama di antaranya kelelahan, sering sesak, kesulitan konsentrasi dan kesulitan kembali ke sekolah.
"Kalau ditanya bagaimana di Indonesia? Terus terang saya enggak berani ngomong dulu karena datanya enggak cukup. Tapi kami sudah dapat beberapa kasus yang seperti itu, itu yang diperiksa, karena di Jakarta diperiksa," ungkap Aman.
Itu sebab dia menekankan pentingnya pengumpulan data kasus Covid-19 dan peningkatan tracing serta testing pada anak.
"Jadi sebetulnya, jangan dianggap anak itu harus dibiarkan. Walaupun dia OTG, tetap kita harus tahu bahwa dia pernah [Covid-19], baik anak-anak atau dewasa. Data ini paling penting bagi kita," jelasnya.
Antisipasi yang tak matang dan kebijakan yang tak berbasis sains hanya akan memperburuk kondisi anak-anak dan balita di tengah pandemi Covid-19.
Yang terjadi menurut Aman bukan saja banyaknya kasus kematian dan angka kesakitan melainkan juga dampak ikutan Covid-19 bagi anak-anak.
"Ketika anak-anak ini positif kan mental health-nya akan terganggu. Jangankan dia positif, keluarganya positif saja dia terganggu secara mental dan long Covid-19 pada anak itu kan sudah terjadi," tutur dia mengingatkan.
"Dan yang berikutnya adalah meninggal. Dan angka kasus dan kematian [ada anak] akan meningkat," pungkas Aman.[acl]
Berita Terkait:
Komentar