Banda Aceh Dinobatkan Jadi Ibukota Kebudayaan Indonesia, Layakkah?

Waktu Baca 9 Menit

Banda Aceh Dinobatkan Jadi Ibukota Kebudayaan Indonesia, Layakkah?
Salah satu nisan yang teronggok di kawasan pembangunan IPAL, di Gampong Pande. [readers.ID/Hotli Simanjuntak]

Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) menobatkan Banda Aceh sebagai Ibukota Kebudayaan Indonesia. Semantara ibukota Provinsi Aceh ini masih menyisakan polemik pembangunan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) di Gampong Pande.

Penobatan ini mengemuka dalam rapat Pra Kongres JKPI 2021, Senin (29/3/2021) di Aula Mawardi Nurdin, Lingkungan Balai Kota.

Selain itu, JKPI juga menobatkan Bogor, Surakarta, Sawahlunto, dan Ambon sebagai Ibukota Kebudayaan Indonesia.

Pemilihan Banda Aceh menjadi Ibukota Kebudayaan Indonesia tertuang dalam “Mufakat Banda Aceh Ibukota Kebudayaan Indonesia 2021".

Wali Kota Aminullah Usman mengatakan, dengan dipilihnya Banda Aceh sebagai Ibukota Kebudayaan Indonesia akan menjadi momen untuk memajukan sektor wisata dan sarana promosi baik nasional maupun internasional.

“Ini adalah momen yang sangat berharga demi memajukan sejumlah destinasi wisata sebagai ajang promosi wisata Banda Aceh agar semakin dikenal di manca negara, dan dengan sendirinya semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke “Kota Gemilang,” ungkapnya dikutip dari bandaacehkota.go.id.

Aminullah juga menyampaikan ditetapkan Banda Aceh sebagai Ibukota Kebudayan Indonesia juga akan mempengaruhi pendapatan dari pelaku usaha tidak hanya di sektor wisata tapi juga sektor lainnya.

“Jika wisatawan semakin ramai berkunjung, maka dengan sendirinya akan mendorong peningkatan pendapatan dan perputaran ekonomi serta membuka lapangan kerja,” ungkapnya.

Di balik penobatan Banda Aceh menjadi Ibukota Kebudayaan Indonesia. Ibukota Provinsi Aceh ini masih menyimpan sejumlah persoalan untuk melestarikan berbagaimacam kebudayaan dan peninggalan masa lalu.

Pembangunan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) di Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh terus menuai polemik hingga saat ini. Meskipun sempat berhenti pada 2017 silam. Tetapi Pemerintah Kota Banda Aceh bakal melanjutkan proyek tersebut tahun ini. Atas sikapnya, patut dipertanyakan, masih layakkah Banda Aceh menyandang slogan ‘Kota Pusaka’?

Gampong Pande dan sekitarnya yang menjadi tempat pembangunan IPAL memang masih menyimpan kekayaan sejarah yang sampai sekarang masih perlu diteliti lebih dalam. Di wilayah ini banyak ditemukan makam-makam tua milik para ulama maupun keturunan-keturunan raja, seperti Makam Tuanku Dikandang dan Putro Ijo.

Hanya kedua makam itu yang masih dirawat dan dipagar oleh pemerintah karena dianggap sebagai situs bersejarah yang harus dipertahankan. Selain kedua makam tersebut, makam-makam lain masih terbengkalai dengan nisan-nisan yang tenggelam di dalam lumpur rawa-rawa.

Beberapa temuan sejarah Gampong Pande juga telah diungkap secara kontinu oleh peneliti Central For Information of Sumatra-Pasai Heritage (CISAH), Taqiyuddin Muhammad. Hasil penelusuran itu terbit di laman resmi Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) dan dapat diakses secara luas.

Masyakat Gampong Pande pun hingga saat ini menolak pembangunan IPAL di tanah banyak terdapat makam ulama. Sayang that gampong kamoe (kasihan sekali kampung kami),” sela Safaruddin, salah seorang tokoh Gampong Pande yang tengah duduk bersama aparatur desa pada Jumat malam (19/3/2021) kepada readers.ID.

Safaruddin ialah satu dari sekian banyak warga Kutaraja yang hingga kini masih berjibaku menolak pembangunan IPAL. Menurutnya, pembangunan IPAL di atas makam para raja itu cacat logika. Membangun tentu sah-sah saja asal bukan di atas situs peninggalan sejarah.

“Ya jika memang kita tak paham sejarah, maka belajarlah pada ahlinya,” tambah Tuha Peut Gampong Pande itu.

Saat ditemui readers.ID, Safaruddin didampingi sekretaris desa serta ketua Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande (FORMASIGAPA) Tgk Abdul Nawawi beserta beberapa tokoh masyarakat di kantor keuchiek setempat.

Safaruddin bercerita, pasca Tsunami 2004, ada pembebasan lahan di Gampong Pande untuk dijadikan Tempat Pembuangan Akhir. Saat itu aparatur desa dan masyarakat Gampong Pande tidak setuju. Terakhir, pihak pemerintah kota Banda Aceh saat itu meminta dukungan dan persetujuan melalui otoritas di Gampong Jawa.

“Dari dulu kami tidak pernah setuju dibangun TPA dan IPAL di lokasi makam raja-raja itu,” katanya.

Tentang proyek yang disebut terakhir, Safaruddin menjelaskan lebih panjang. Pada 2014, sebelum mencuatnya isu pembangunan IPAL di Gampong Pande, lokasi yang akan digunakan terlebih dulu ditimbun dengan tanah.

Sebelum proyek itu dikerjakan, para tokoh Gampong Pande sudah mengingatkan Wali Kota Banda Aceh masa itu, Mawardi Nurdin, bahwa di lokasi tersebut banyak makam-makam ulama dan raja-raja.

“Semua makam waktu itu ditimbun, di lokasi pembangunan IPAL sekarang,” ujar Safaruddin.

Pilihan Redaksi:

Ombudsman Aceh menemukan sebanyak enam makam kuno saat melakukan investigasi langsung ke lokasi pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di dalam bekas kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Gampong Pande, Sabtu (27/3/2021).

Dalam investigasi tersebut, Taqwaddin juga melibatkan Nab Bhany selaku pemerhati sejarah dari komunitas masyarakat peduli sejarah (MAPESA) Aceh.

“Berdasarkan amatan kami, benar bahwa di lokasi pembangunan IPAL tersebut terdapat makam kuno sejumlah 6 pusara kuburan,” kata Taqwaddin.

Taqwaddin mengatakan, berdasarkan info dari petugas pengamanan lokasi tersebut, 6 kuburan kuno itu ditemukan saat dilakukan pengerukan padaq beberapa tahun lalu.

“Saat ini di lapangan sudah ada empat kolam penampungan limbah yang hampir rampung dikerjakan. Kemudian makam kuno tersebut didapatkan pada penggalian kolam ke lima,” ujarnya.

Selain itu, tambah Taqwaddin, juga ada beberapa bangunan lain yang sudah siap dan dipagar pada lokasi IPAL yang sudah selesai dikerjakan.

Untuk itu, kata dia, pihaknya akan memeriksa grand desain (DED) IPAL dari pihak PUPR guna meminta keterangan dari Pemko Banda Aceh, serta keterangan dari para ahli. Selain itu, Taqwaddin juga akan melakukan rapat koordinasi, kemudian akan membuat kesimpulan dan saran koreksi.

“Kita akan mencari sulosi bersama nantinya. Karena dari satu sisi IPAL ini merupakan kebutuhan masyarakat, namun di sisi lain lokasinya berada di tempat pemakaman kuno yang penuh sejarah,” sebut Taqwaddin.

Di samping itu, tokoh budaya dan sejarah Aceh yang mendampingi Tim Ombudsman, Nab Bhany, menyebutkan bahwa makam tersebut diperkirakan sudah berada sekitar abad ke XIV.

“Dari bentuk nisannya, saya perkirakan ini merupakan peninggalan abad ke XIV. Namun belum dapat kita pastikan apakah makam ini milik para bangsawan atau yang lainnya,” ungkap Nab Bhany.[acl]

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...