Buku Kelising Karya Dr. Salman Yoga Dibedah di Jakarta

JAKARTA, READERS — Buku terbaru karya Dr. Salman Yoga berjudul, "Kelising" dibedah di Jakarta dalam sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh Dispusip Jakarta dan PDS HB Jassin pada Kamis (2/10/2025).
Bedah buku tersebut menghadirkan tiga tokoh lintas bidang sebagai pembicara utama, yaitu sastrawan dan penyair Fikar W. Eda, seniman teater Jose Rizal Manua, serta penulisnya sendiri, Dr. Salman Yoga, yang dipandu moderator Ayu Yulia Djohan.
Akrab disapa Salman Yoga S ini dalam paparannya menjelaskan bahwa Kelising lahir dari kegelisahannya melihat seni yang kian terjebak dalam industri dan euforia belaka.
“Buku tetap menjadi medium paling efektif untuk memperkenalkan gagasan seorang penulis. Kelising saya pilih dari bahasa Gayo, yang berarti memutar—sebuah simbol pencarian nilai berharga yang sesungguhnya dekat dengan kita,” kata Salman.
Lebih lanjut dijelaskan Salman, buku ini berisi empat naskah, salah satunya Tungku, yang merekam kisah getir keluarga korban konflik panjang di Aceh.
“Naskah ini pernah dipentaskan di panggung teater, namun Salman menuturkan bahwa apresiasi publik kala itu belum menyentuh makna kemanusiaan yang diusung karya tersebut,” ujarnya.
Diskusi berlangsung dinamis dengan antusiasme tinggi dari peserta, mulai dari akademisi hingga komunitas seni dan literasi.
Dialog interaktif itu juga menegaskan bahwa karya sastra memiliki peran penting tidak hanya sebagai estetika, tetapi juga sebagai wadah refleksi sejarah, budaya, dan nilai kemanusiaan.
Lewat Kelising, Salman Yoga bersama para narasumber dan peserta membuka ruang apresiasi baru terhadap seni dan sastra, sekaligus mengingatkan bahwa karya-karya tersebut adalah bagian dari perjalanan panjang ingatan kolektif bangsa.
Sementara itu, sastrawan dan penyair Fikar W. Eda menilai Kelising sebagai refleksi sosial dan politik yang menjadikan seni sebagai ruang kemanusiaan.
“Karya ini mengingatkan kita bahwa seni tidak semata hiburan, tapi juga cermin nurani,” ujarnya.
Senada dengan itu, Jose Rizal Manua menyebut Kelising sebagai bukti bahwa seni berperan menjaga ingatan kolektif.
“Naskah-naskah ini merekam luka sejarah dan mengajak publik merenung. Generasi muda perlu melihat bahwa seni sering lahir dari penderitaan dan perjuangan,” katanya.
Bedah buku ini dihadiri sejumlah tokoh budaya seperti tokoh muda Gayo, Irmansyah, sutradara film dokumenter Radio Rimba Raya, Ikmal Gopi, penulis dan pegiat literasi Zuhri Gayo, serta mantan Ketua Musara Gayo, Akhyar Gayo.
Kehadiran mereka memperkaya percakapan tentang hubungan karya sastra dengan sejarah dan identitas Gayo.[]
Komentar