Ironi Bulan Berkah, Harga Pangan Justru Melonjak
Ketua Umum Perempuan Tani HKTI, Dian Novita Susanto mengkritisi ketersediaan pangan setiap Ramadan dan mendekati lebaran. Termasuk juga harga pangan yang selalu naik berkali-kali lipat di momen tersebut.
“Sudah seperti hajatan tahunan. Media cetak dan online lalu ramai-ramai memberitakannya bahkan jadi headline. Minyak goreng, gula pasir, telur, daging sapi, daging ayam, terigu, bawang merah, bawang putih adalah sejumlah bahan pangan yang selalu naik," kata Dian, Selasa (20/4/2021).
Organisasi Perempuan Tani yang merupakan bagian dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ini merujuk data resmi Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS). Pada hari kedua puasa, kata dia, rata-rata harga komoditas pangan masih tinggi dibanding pekan sebelumnya, meski ada juga yang mengalami penurunan.
Secara nasional, harga gula per kilogram pada Rabu lalu naik 0,76 persen sebesar Rp 13.200 per kilogram dibandingkan pekan sebelumnya Rp13.100 per kilogram. Harga tepung terigu di Jawa Tengah juga mengalami kenaikan 1,11 persen di level Rp 9.100 per kilogram dibanding pekan sebelumnya Rp9.000 per kilogram.
"Secara nasional harga ayam ras juga naik 6,03 persen sebesar Rp36.900 per kilogram dibandingkan pekan lalu Rp34.800 per kilogram. Di DKI Jakarta harga ayam ras mengalami kenaikan 4,8 persen dari Rp31.200 per kilogram menjadi Rp32.700 per kilogram," ujar Dian.
Selanjutnya, di Sumatera Utara harga bawang juga naik. Bawang merah naik 2,51 persen di harga Rp32.700 per kilogram, pekan sebelumnya Rp31.900 per kilogram. Sementara untuk bawang putih hari ini harganya Rp28.800 per kilogram atau turun 6,2 persen dibanding minggu sebelumnya Rp27.100 per kilogram.
Akal-akalan Tambal Sulam Hingga Ulah Cukong
Menurut Dian, di saat rakyat akan merayakan ibadah dan kemenangan, harusnya pangan tersedia dengan harga yang terjangkau. Namun faktanya justru terbalik. Harga melonjak dan membebani masyarakat ekonomi rendah, diperparah lagi dengan kondisi pandemi Covid-19.
"Fakta berkata lain, tiap bulan suci dan lebaran jeritan ketidakberdayaan, bagai pusat melodrama yang selalu tersuguhkan. Setiap kali itu pula jalan keluar yang diambil pemerintah hanya melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga pangan," jelasnya.
Untuk itu, Dian mengimbau kepada lembaga terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah untuk berkoordinasi mengawasi lalu lintas pangan di pasaran.
"Tambal sulam adalah kata yang tepat untuk menjelaskan cara negara mengatasi hal ini. Sebab tiap tahun selalu terulang, tak menyelesaikan masalah. Sepertinya kita diajak untuk menjadikannya agenda tahunan sebagai bagian dari ibadah ‘berhala’ pada pasar, di saat seharusnya rakyat fokus beribadah," tuturnya.
Ia menambahkan, terkait penyebab harga-harga selalu meroket pada bulan Ramadan, pemerintah selalu menjawab tentatif yaitu tidak seimbangnya antara produksi dan permintaan. Padahal di saat produksi melimpah, di beberapa tempat justru harga tetap mahal.
Dian menduga faktor kenaikan harga tersebut disebabkan masih berkeliarannya para cukong atau oknum pemerintah yang selalu menjadikan bulan suci tersebut sebagai ladang keuntungan, dengan cara menimbun sebanyak mungkin lalu menjualnya dengan harga tak manusiawi.
Bahkan, diperparah lagi dengan lemahnya kontrol pemerintah dan lembaga pengawasan terkait tidak efektif bekerja, sehingga makin memperburuk kondisi di lapangan.
"Perlu diingat lagi, pangan adalah kebutuhan dasar, mau tak mau meski harga tinggi, rakyat tetap membelinya, meski dalam lubuk hatinya kadang berbisik, mengapa demikian? lagi dan lagi rakyat kecil hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri dan terkadang mengadu pada sang khalik. Kapan semua ini akan berakhir, bulan suci dan lebaran yang mana saya akan merdeka," tandasnya.[]