Korban Sodomi Bisa Jadi Pelaku Bila Tak Mendapat Pemulihan Mental

Waktu Baca 4 Menit

Korban Sodomi Bisa Jadi Pelaku Bila Tak Mendapat Pemulihan Mental
Wakil Ketua Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih. Foto: Istimewa

Polisi mengamankan AM (21) pelaku sodomi terhadap anak laki-laki berusia delapan tahun di Toilet Masjid Agung Islamic Center Kota Lhokseumawe, Minggu (30/5/2021) lalu.

Wakil Ketua Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih mengatakan, pihaknya meminta agar pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

"Kasus ini harus menjadi pengawasan dan perhatian dari semua pihak. Jangan sampai pelaku diputus dengan hukuman ringan, apalagi sampai dibebaskan," kata Ayu saat dikonfirmasi readers.ID, Selasa (1/6/2021).

KPPAA juga meminta agar terhadap korban sodomi harus dilakukan pendampingan, rehabilitasi dan pemulihan psikologis secara rutin oleh P2TP2A Aceh Utara.

"Jika korban tidak mendapatkan pemulihan dan rehabilitasi mental secara rutin, maka bukan tidak mungkin ke depan korban juga akan menjadi pelaku sodomi. Apalagi korban sudah berkali-kali mendapatkan perlakuan sodomi dari pelaku," ungkap Ayu.

Wakil Ketua KPPAA itu berujar, kasus seperti ini sangat rentan terjadi dan berpotensi terulang kembali di Aceh. Buktinya, setiap tahun kasus-kasus sodomi selalu ada. Bahkan ada pelaku sodomi yang korbannya mencapai 50 orang.

"Jadi kasus sodomi di Aceh merupakan kasus serius dan penanganan hukumnya juga harus serius, untuk melindungi anak-anak menjadi korban berikutnya," jelas Ayu.

Selanjutnya, KPPAA mengimbau semua pihak agar dapat mengawasi dan melindungi anak-anak yang berada di lingkungan sekitar, mengingat saat ini di manapun anak berada, posisi mereka tidak akan pernah aman dari kejahatan dan kekerasan yang selalu dapat mengintainya.

"Orang tua dan masyarakat harus selalu waspada serta mengawasi perkembangan tumbuh kembang si anak. Komunikasi antara keduanya harus dibangun, orang tua harus tahu dengan siapa anak bermain, ke mana saja anak pergi dan perlakuan apa saja yang didapat anak kita dari teman dan lingkungannya," jelas Ayu.

Jika orang tua sudah membuka ruang komunikasi intensif dengan anak, lanjutnya, tentu kasus seperti ini tidak akan terjadi berulang-ulang karena anak mencari perlindungan kepada orang tua dengan mengadu tentang kondisi, keadaan dan perlakuan yang diterimanya dari teman dan lingkungan sekitar.

"Dan orang tua dapat segera bertindak untuk melaporkan pelaku dan mencari serta memberikan perlindungan terhadap anaknya," kata Ayu.

Wakil Ketua KPPAA itu juga mengungkapkan, saat ini Aceh merupakan daerah darurat kekerasan seksual, karena kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat.

Bahkan pihaknya meyakini jika kasus-kasus yang tidak dilaporkan ke permukaan jumlahnya bisa jadi lebih banyak dibandingkan dengan kasus yang dilaporkan.

Pihaknya juga memintanya agar Pemerintah Aceh bergerak cepat untuk melindungi anak-anak Aceh dari korban kekerasan seksual, salah satunya dengan segera melakukan revisi Qanun Jinayat Aceh.

"Kita meminta Pemerintah Aceh merevisi Qanun Jinayat Aceh dengan mencabut dua pasal yaitu Pasal 47 dan 50, sehingga pelaku kekerasan dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dihukum dengan menggunakan UU Perlindungan Anak," ungkap Ayu.

"Pencabutan Pasal tersebut harus segera dilakukan untuk meminimalisir jumlah korban anak yang terus meningkat," pungkasnya.[acl]

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...