KPPAA: Qanun Jinayat Belum Sentuh Aspek Perlindungan Terhadap Anak

Waktu Baca 6 Menit

KPPAA: Qanun Jinayat Belum Sentuh Aspek Perlindungan Terhadap Anak
Ilustrasi penyintas kekerasan seksual. [Dok. The Asia Parent]

Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) menilai Qanun Jinayat yang berlaku di Aceh saat ini masih jauh dari aspek perlindungan terhadap anak. Terutama anak yang menjadi korban. Bahkan seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual sangat rentan diputar kasusnya dijadikan seorang pelaku.

Komisioner KPPAA, Ayu Ningsih mengatakan, jika dijuntokan dengan pasal-pasal lainnya, yang ada dalam Qanun Jinayat hanya seperti khalwat, pengakuan zina dan zina anak.

"Sedangkan dalam undang-undang perlindungan anak, apapun kondisi anak, tetap dianggap sebagai korban, meskipun persetubuhan tersebut dilakukan tanpa ancaman kekerasan, karena ada perluasan unsur pidana seperti tipu muslihat, bujuk rayu, iming-iming dan serangkaian kebohongan lainnya maka orang dewasa tetap akan dihukum dan anak tetap merupakan korban tindak pidana," kata Ayu, Selasa (26/10/2021).

Ayu melihat, di dalam Qanun Jinayat masih belum optimal membahas hal yang mencegah praktik kekerasan. Kemudian juga belum memberikan perlindungan kepada anak yang menjadi korban, belum memberikan pemulihan bagi korban kekerasan seksual, dan belum memberikan efek jera kepada pelaku.

Ia menuturkan, selama ini pembuktian kasus dan perkara kekerasan seksual masih disamakan dengan pembuktian kejahatan pada umumnya. Padahal, dalam banyak peristiwa, kekerasan seksual terhadap anak kerap terjadi di ruang privat sehingga tidak tersedianya saksi dan tidak adanya bukti fisik yang secara langsung melihat mengenai terjadinya peristiwa tersebut.

"Yang tersedia hanyalah keterangan anak sebagai saksi korban, apalagi untuk memintai keterangan anak sebagai saksi korban sangatlah tidak mudah diperoleh, diperlukan cara dan metode khusus untuk dapat memperoleh keterangan dari anak yang menjadi saksi korban," sebut Ayu.

Ia menilai, terhadap jarimah pemerkosaan dalam Qanun Jinayat sangat sulit dibuktikan, karena mengatur tentang alat bukti tambahan yaitu sumpah. Orang yang mengaku diperkosa boleh bersumpah dan pada saat yang bersamaan pelaku pemerkosaan juga diberikan kesempatan untuk bersumpah.

Jika kedua belah pihak sama-sama bersumpah dan mengingkari maka kedua-duanya bebas dari hukuman dan korban harus mencari alat bukti lain jika ingin proses hukumnya dilanjutkan, lalu bagaimana dengan kekuatan hukum sumpah anak di bawah umur.

Ia menjelaskan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pasal 171 huruf a, seorang anak yang umurnya belum 15 tahun diambil keterangannya tanpa sumpah.

Hal ini mengakibatkan sumpah anak tidak dapat lagi dianggap sebagai alat bukti yang sah dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian, karena tidak mempunyai syarat formil. Realitanya kebanyakan korban pemerkosaan adalah anak-anak yang masih berusia di bawah 15 tahun.

"Selain itu sistem pembuktian dalam KUHAP masih membebani korban, karena masih ada pemahaman bahwa dalam kasus kekerasan seksual harus ada saksi yang melihat langsung kejadian. Hal ini kemudian menjadi beban dalam pembuktian oleh korban, termasuk juga menyediakan visum, bahkan sperma pelaku sebagai barang bukti. Akhirnya dengan dalih dan alasan tidak cukup bukti, mengakibatkan pelaku tidak dapat ditahan, dihentikan penyidikannya, bahkan mendapatkan vonis bebas dari pengadilan," jelasnya.

Di samping itu, kata Ayu, mengkriti isi Qanun Hukum Jinayat Aceh bukan berarti mengkritisi Syariat Islam, karena Qanun ini merupakan produk politik dan merupakan hasil pemikiran dan penafsiran manusia tentang tindak pidana (jarimah) dan sanksinya (uqubat).

Ia mengatakan, sejak berlakunya Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat Aceh, ada 10 perkara jinayat yang kewenangan mengadilinya berada di Pengadilah Mahkamah Syar’iah.

Kemudian, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun 2019 tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, juga menegaskan dan memperkuat kewenangan Mahkamah Syar’iah dalam mengadili perkara-perkara jinayat.

"Secara tegas disebutkan dalam surat edaran tersebut, yaitu tindak pidana yang didakwakan berdasarkan Qanun nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayat, merupakan kewenangan Mahkamah Syariah," pungkasnya.[mu]

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...