'Listrik Kami Tak Pernah Padam'

Waktu Baca 17 Menit

'Listrik Kami Tak Pernah Padam'
Petugas sedang mencoba panel surya sebagai sumber daya listrik. Foto: Hotli Simanjuntak/readers.ID

Tiga unit lampu jalan berdiri tegak dilengkapi panel tenaga surya tampak jelas dari tempat parkir. Tepat di sebelah kanannya ada pamflet, menyatu tembok pagar bertuliskan Twins Cafe.

Karena tiba sekitar pukul 17.00 WIB, belum ada lampu outdoor yang menyala, cahaya matahari masih terang petang itu.

Terletak tak jauh dari Bundaran Simpang Mesra, tepatnya di Jalan Alue Naga, Desa Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh atau di depan Hutan Kota BNI arah ke kampus Universitas Ubudiyah Indonesia, Twins Cafe menyuguhkan pengalaman tak biasa.

Bukan makanan dan minumannya, tapi konsep energi terbarukan (EBT) yang digunakan di kafe tersebut. Konsumen akan mendapatkan pengalaman menikmati santapan dan tegukan pelepas dahaga di tempat yang full menggunakan arus listrik berasal dari sinar matahari atau tenaga surya.

Berkonsep garden dan green energy, cafe yang diresmikan pada Maret 2021 ini memiliki lebih dari 30-an lampu utama dan puluhan lampu mini untuk outdoor, empat unit pendingin (kulkas dan freezer), dua unit mesin kopi, satu unit televisi dan lima unit kipas angin yang semuanya beroperasi tanpa sentuhan listrik PLN sama sekali.

“Kita pakai yang delapan ampere full tenaga surya. Tidak pernah mati lampu dan tidak pernah rusak-rusak juga,” cerita Manager Twins Cafe, Arif Rianda saat ditemui readers.ID, Selasa (29/11/2021).

Diklaim sebagai satu-satunya kafe yang menggunakan konsep ini di Aceh. Dia mengaku dengan tenaga surya pihaknya tidak hanya ikut menjaga lingkungan melalui pembakit listrik yang tidak menggunakan minyak bumi. Lebih dari itu, tenaga surya bisa menghemat tagihan listrik dari Rp 5-6 juta menjadi nol rupiah setiap bulannya.

Punya pengalaman membuka kafe serupa di sekitaran Lamnyong Banda Aceh, namun karena tidak menggunakan listrik yang berasal dari tenaga surya, pihaknya harus membayar tagihan sejumlah itu setiap bulannya ke PLN.

Ari juga menepis kekhawatiran masyarakat terhadap risiko biaya perawatan rutin tenaga surya dan risiko listrik tak menyala saat musim penghujan. Bahkan dirinya mengklaim, alat pembakit listrik tenaga surya yang dipakai kafe tersebut tahan sampai 15 tahun ke depan.

“Kita belum pernah padam listrik. Selama tak kejadian hujan tiga hari berturut-turut tanpa matahari sedikit pun, Insya Allah aman,” ucap Ari.

Panel tenaga surya sebagai sumber energi bagi Ari mendapatkan keuntungan banyak. Selain dapat meminimalisir pengeluaran untuk bayar tagihan listrik. Ia juga mengaku perawatannya cukup mudah dan tidak mengeluarkan biaya.

“Dan mengenai perawatan rutin yang kata orang biayanya besar, itu sama sekali tidak ada,” ungkap pria asal Lhokseumawe ini menambahkan.

Manager kafe itu mengungkapkan, memang di awal memakan modal agak sedikit lebih jumbo saat melakukan instalasi pembakit listrik yang berasal dari tenaga surya ini, minimal dimulai dari Rp 40 jutaan untuk kapasitas empat ampere.

Twins Cafe sendiri, lanjutnya harus mengeluarkan modal sekitar Rp 90 jutaan untuk tegangan listrik dengan kapasitas delapan ampere beserta lampu jalan dan taman yang terpisah dari panel induk.

Dalam pembakit listrik tenaga surya terdapat tiga komponen penting yakni panel sebagai penangkap sinar matahari, power sistem yang mengelola cahaya matahari menjadi arus listrik dan  baterai sebagai penyimpan arus listrik.

Lampu jalan dan lampu taman memiliki komponen sendiri yang terpisah dari tenaga surya untuk cafe. Nantinya lampu-lampu ini menyala dan mati pada pagi dan malam hari secara otomatis menyesuaikan antara cahaya matahari dan sensor di setiap lampu.

Menariknya, setiap pagi hari, lampu jalan dan taman ini masih menyisakan simpanan arus listrik walau sudah dipakai semalaman.

“Masih ada sekitar 40 persen arus tersisa, dan dari paginya seharian ngecas lagi dia. Jadinya gak habis-habis arus listrik dari dalam (lampu jalan) ini,” jelas Ari.

Terpisah dengan lampu jalan seperti yang berada di halaman dan taman, tenaga surya untuk pembangkit listrik utama dalam kafe tersebut memiliki 18 panel yang masing-masing menghasilkan 325 volt. Panel dan perlengkapan lain ini membutuhkan sekitar 15 tahun sekali untuk dilakukan perawatan.

Petugas membersihkan panel surya. Foto: Hotli Simanjuntak/readers.ID

Ari berujar, siapapun dia, baik itu pemilik kantor, kafe bahkan rumah tangga, tak ada ruginya menggunakan pembakit listrik dari tenaga surya.

Selain menjaga alam mengurangi pemakaian minyak bumi, lanjutnya, penggunaan tenaga surya juga meminimalisir pemanasan global melalui karbon sisa pembakaran, serta menghemat kantong karena tak perlu pusing memikirkan tagihan listrik setiap bulannya.

Ia bercerita, motivasi beralih ke konsep ramah lingkungan dan energi terbarukan melalui penggunaan tenaga surya di kafe tersebut, mengingat bahan material pembakit listrik seperti minyak bumi pada suatu masa bakal habis. 

Dengan tenaga surya, kata Ari, selama matahari yang diberikan masih bersinar, selama itu pula energi yang dihasilkan untuk menyalakan lampu dan alat-alat elektronik lainnya tetap tersedia.

Ia bercerita, negara-negara maju di Amerika dan Eropa mulai bergerak menuju energi terbarukan dan gerakan ramah lingkungan untuk mengantisipasi kehabisan sumber pembangkit energi. Seperti minyak bumi dan meminimalisir peningkatan suhu global yang menyebabkan panas bumi terus bertambah.

“Sekarang sudah tahun 2021, kalau kita gunakan listrik-listrik (PLN) terus otomatis bahan pembangkitnya (minyak bumi) akan habis. Sedangkan tenaga surya, selain ramah lingkungan, juga gratis tagihan bulanan. Kalau ada yang mudah kenapa harus cari yang ribet,” ungkap Ari.

Petugas memasang bola lampu dengan sumber daya cahaya matahari. Foto: Hotli Simanjuntak/readers.ID

Selama ini pihaknya ikut mengkampanyekan konsep energi baru dan terbarukan. Karena menjadi pilot project (percontohan) Deztron Indonesia, salah satu perusahaan produk elektrik tenaga surya asal Aceh yang didirikan oleh Dedi Zefrizal sejak 2018 lalu, pihaknya kerap terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang mengusung ramah lingkungan.

Salah satu yang jadi kegiatan sosial pihaknya yakni pemasangan lampu taman secara cuma-cuma seperti yang terlihat di seputaran Tugu Simpang Lima Banda Aceh, lampu-lampu dengan variasi menawan di sekitaran tugu itu menggunakan pembakit listrik tenaga surya dari Deztron Indonesia.

Meski demikian, Ari bercerita, selama ini masyarakat khususnya di Aceh masih belum aware dengan konsep EBT yang  ramah lingkungan seperti menggunakan tenaga surya untuk kebutuhan listrik rumahan.

Bahkan selama membantu Deztron, perusahaan yang menjadikan Twins Cafe sebagai kafe percontohan EBT, Ari mengaku baru dua rumah saja yang menggunakan jasa pihaknya untuk intalasi tenaga surya di Banda Aceh.

“Mereka masing-masing pasang empat ampere, itu pun belum menggunakan full tenaga surya. Mereka masih khawatir dan gunakan sebagian arus dari PLN untuk pemenuhan listrik di rumahnya,” ungkap Ari.

Meski demikian, kata Ari, kedua pengguna tersebut mengaku belum pernah melayangkan keluhan selama menggunakan tenaga surya di rumahnya. Bahkan kabar baiknya, biaya tagihan listrik di kedua rumah tersebut terpangkas hingga 70 persen selama menggunakan tenaga surya.

Kekhawatiran terhadap penggunaan tenaga surya dianggap wajar. Ari berujar, konsep EBT dan ramah lingkungan yang memang belum familiar bagi masyarakat Aceh. Sehingga membuat para calon pengguna takut bila musim hujan dan tak terlihat matahari, mereka harus berada dalam gelap dan tidak bisa menyalakan alat-alat elektronik sepanjang kondisi tersebut.

Padahal, kata Ari, pembakit listrik tenaga surya mampu menyimpan arus dan mengimbangi listrik yang berasal dari PLN. Lebih dari itu, tidak ada tagihan bulanan dan biaya perawatan, sehingga para pengguna bisa lebih hemat dan dimudahkan dengan teknologi tersebut.

Meski demikian, pihaknya menyadari bahwa konsep ini butuh waktu untuk diperkenalkan ke masyarakat. Terlebih isu lingkungan belum semua orang familiar, hal ini yang menurut Ari memperlambat kampanye penggunaan EBT seperti penggunaan tenaga surya berjalan lama di Aceh.

“Kita juga paham, ini semua butuh waktu. Apalagi kultur kita orang Aceh ini kan, agak sulit menerima sesuatu yang baru,” ucap Ari.

Syukurnya, desa-desa dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh sudah banyak yang menggunakan pembangkit listrik dari tenaga surya untuk lampu jalan. Ari menjelaskan, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Barat, pihaknya sudah melakukan instalasi 1000-an unit lebih untuk lampu jalan.

Selain efisien karena bisa mengisi arus listrik sendiri, menyala dan mati secara otomatis setiap pagi dan malam hari. Lampu jalan berbasis tenaga surya juga dianggap sebagai kenang-kenangan para pemimpin yang ada di desa atau kabupaten/kota.

“Kalau kita lihat, ini semacam kenang-kenangan peninggalan mereka lah bila tak menjabat lagi. Soalnya kan lampu jalan tenaga surya ini gak ribet, gak perlu bayar listrik dan gak perlu nyalakan/matikan, semuanya sudah otomatis,” kata Ari.

Pihaknya berharap ke depan semakin banyak masyarakat yang sadar betapa pentingnya beralih ke energi terbarukan dan hidup dengan konsep ramah lingkungan. Ari berujar, EBT tidak bisa dipaksakan pada semua orang, namun butuh waktu agar semua sama-sama bergerak menuju ke arah sana.

Ia juga menaruh harapan pada pemerintah khususnya di Aceh agar mendorong setiap kebijakan yang berbasis EBT dan ramah lingkungan. Kampanye terhadap konsep green energy, lanjut Ari, harus tercermin dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, yang manfaatnya nanti dirasakan masyarakat Aceh dalam 5, 10 atau puluhan tahun ke depan.

“Setiap peraturan yang dikeluarkan ke depan diharapkan berbasis pengurangan penggunaan listrik yang berasal dari minyak bumi. Kenapa kita tidak gunakan yang lebih hemat saja, kita berharap pemerintah ikut lebih gencar mengkampanyekan ini,” tandasnya.

Lampu bertenaga sinar matahari. Foto: Hotli Simanjuntak/readers.ID

Isu perubahan iklim dan pemanasan global akibat semakin tingginya emisi menjadi perhatian dunia dan banyak negara. Berdasarkan kesepakatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), setiap negara harus mengupayakan suhu muka bumi tidak mengalami kenaikan lebih dari 2 derajat celsius dari sejak revolusi industri. 

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada 2020 memprediksi suhu bumi akan naik sekitar 1-1,5 derajat celcius setiap tahun hingga lima tahun mendatang. Salah satu sektor penyumbang emisi terbesar di dunia adalah pengalihan lahan, pertanian, dan perhutanan, dengan kontribusi sebanyak 24 persen. Belum lagi emisi yang dikeluarkan industri, otomotif dan lainnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup fluktuatif selama 2010-2018, tetapi menunjukkan tren peningkatan setiap tahun. 

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) merupakan penyumbang  terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia pada 2018. Nilainya mencapai 723,51 Gg CO2e atau 44 persen dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia (katadata.com, 23 Agustus 2021). 

Berdasarkan data terbuka sipongi.menlhk.go.id yang dianalisis oleh readers.ID menemukan Karhutla dan emisi karbon dioksida yang dikeluarkan berkorelasi erat atau kuat. Hal ini diketahui dari hasil penghitungan dengan menggunakan rumus koefisien korelasi jika nilainya mendekati  ‘1’, berarti Variabel X, dan Variabel Y memiliki korelasi erat atau kuat.[acl]

Selengkapnya mengenai pembahasan korelasi antara Karhutla dan Emisi di Aceh. readers.ID akan menurunkan tulisan terpisah berjudul Perubahan Iklim Itu Ulah Manusia.

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...