Menilik Rintihan Abadi Korban Pembantaian Jambo Keupok, Aceh Selatan

Oleh: Nida Ufairah*
Jambo Keupok adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Kota Bahagia, Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh. Desa Jambo Keupok ini merupakan salah satu desa yang meninggalkan kisah kelam di masa lalu yakni saat konflik di Aceh.
Lebih pastinya, Desa Jambo Keupok ini menjadi salah satu daerah yang menjadi basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Desa ini dikenal dengan tragedi 17 Mei 2003 yang menggoreskan tinta merah dalam sejarah kelam rakyat Aceh.
Kasus ini merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pihak militer yang begitu banyak menelan korban jiwa terutama dari pihak masyarakat sipil yang yang tidak memiliki keterkaitan dengan pergulatan politik antara pemerintah dengan GAM tersebut.
Awal mula tragedi ini dipicu oleh informasi dari seorang cuak (informan) kepada pasukan militer/TNI, sehingga TNI menindaklanjuti hal tersebut dengan melakukan razia di Desa Jambo Keupok dan memasuki paksa rumah-rumah para warga Jambo Keupok. Para warga langsung diintrogasi mengenai keberadaan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Penentuan seseorang warga yang termasuk anggota GAM atau bukan, tergantung keputusan mereka yang subjektif. Para warga yang sama sekali tidak memiliki petunjuk mengenai keberadaan para anggota GAM tersebut langsung disiksa, dianiaya, dan bahkan dihadiahi dengan popor senjata karena target operasi militer tidak berhasil mereka dapatkan. Tragedi pembantaian berdarah pun tak bisa dielakkan dan terjadi penyiksaan dan kebrutalan pembantaian menghiasi langit pagi Desa Jambo Keupok.
Dari tragedi tersebut sebanyak empat pria ditembak hingga meninggal. Sementara para perempuan disekap dalam sekolah dasar, 12 pria dibariskan dipekarangan rumah warga, dintrogasi dan disiksa sebelum dikurung. Dari balik pintu tentara menembak kaki, kemudian membakar rumah beserta para pria di dalamnya.
Banyak korban dari pihak warga sipil yang dituduh anggota GAM berjatuhan. Warga sipil menjadi korban akibat salah sasaran, kesengajaan, atau bahkan sengaja dipersiapkan secara serampangan oleh pasukan militer tersebut, tanpa mempertimbangkan hak-hak kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Pemerintah mengatasnamakan stabilitas keamanan nasional dengan melakukan pola pendekatan keamanannya yang militeristik untuk meredam dan menyelesaikan konflik di Aceh terutama pada tragedi memilukan Jambo Keupok ini sehingga melahirkan petaka demi petaka yang menyayat hati.
Bahkan sangat disayangkan, begitu banyak pelanggaran HAM berat di masa lalu, terutama pada tragedi Jambo Keupok ini yang sampai sekarang masih belum terselesaikan denga tuntas dan menjadi utang negara kepada korban. Negara yang seharusnya berperan besar dalam tragedi Jambo Keupok ini seolah menutup mata tanpa ada langkah konkret yang dilakukan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara adil dan tuntas.
Baik dengan adanya pemberian keadilan restoratif maupun keadilan distributif dari negara, seperti pemberian kompensasi bagi yang terluka, adanya penyembuhan trauma, melihat dan memahami dari perspektif korban, menjamin dan tidak melakukan pembiaran dengan mengintervensi ruang bagi korban untuk berbicara, serta adanya pengakuan dari negara dengan penyesalan sedalam-dalamnya dan adanya pengungkapan fakta baik dari pelaku maupun dari negara itu sendiri.
Jika melihat pada realitanya para korban dan keluarga yang mengalami trauma berkepanjangan sama sekali tidak memperoleh keadilan yang seharusnya mereka dapatkan dari negara dan dari pelaku. Para korban maupun keluarga yang terkena imbas tragedi Jambo Keupok ini padahal telah menanti selama 20 tahun lamanya namun tidak juga mendapatkan kepastian hukum.
Disisi lain para pelaku, terutama yang masih hidup justru bebas berlomba-lomba menjadi penguasa negara dan sama sekali tidak merasa berdosa telah merenggut begitu banyak nyawa.
Pengungkapan kebenaran dan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM berat di masa lalu pun terutama pada kasus Jambo Keupok ini dihalangi oleh tembok penghalang yang begitu tinggi yang bahkan dilegalkan dengan kebijakan pemerintah yang dikontaminasi oleh para pelaku itu sendiri yang menguasai kursi-kursi pemerintahan. Sehingga tak elak benteng impunitas terhadap aktor pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat di masa lalu ini semakin kokoh menjulang.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Komentar