OBITUARI | Selamat Jalan Guru

Mantan Gubernur Aceh sekaligus Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Syamsudin Mahmud meninggal dunia pada Sabtu (22/5/2021).
Gubernur Aceh ke-14 periode 1993-2000 itu menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin Banda Aceh dan akan dimakamkan di Beureunuen, Pidie.
Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Samsul Rizal turut menyampaikan duka cita atas meninggalnya salah satu tokoh besar itu. Ia mengungkapkan, almarhum merupakan salah seorang pendiri Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) dan penggerak berdirinya kampus USK.
"Beliau adalah doktor pertama USK dan pernah menjadi Wakil Rektor (WR-1) atau dulu Pembantu Rektor (PR-1)," ungkap Prof Samsul kepada readers.ID, Sabtu (22/5/2021).
Samsul juga mengenang, pengabdian Prof Syamsudin bukan hanya di USK, tetapi menjadi salah satu Ketua Bappeda terlama di Pemerintah Aceh dan juga menjadi Gubernur Aceh selama tujuh tahun.
Selain itu, lanjut Samsul, almarhum dikenal sosok yang konsisten dengan pekerjaannya dan jujur.
"Sifatnya itu yang kemudian membuat beliau dipercaya di berbagai jabatan, termasuk pernah bekerja di Bappenas," pungkasnya.
Dari sejumlah catatan, pengaruh Syamsuddin Mahmud sangat besar bagi jejak perkembangan pendidikan di Aceh. Ia berjasa mencetus berdirinya sekolah bibit unggul seperti SMA Modal Bangsa, Dayah Modern Ruhul Islam Anak Bangsa dan SMA 9 Tunas Bangsa.
Afriansyah dkk dalam Pendidikan Aceh Masa Gubernur Prof. DR. H. Syamsuddin Mahmud (1993-2000) (Jurnal FKIP USK, 2018) mengungkapkan, kiprah dari Syamsuddin Mahmud tetap berlanjut kendati di usianya yang telah beranjak 80 tahun. Ia dikenal gigih mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan di Aceh.
Sebelum kepemimpinannya sebagai gubernur, pendidikan di Aceh berada dalam pasang surut. Jumlah bangunan sekolah yang masih sedikit diperparah oleh kelengkapan fasilitasnya yang minim pula.
Di sisi lain, pendidikan umum dan pendidikan agama di Aceh saat itu juga belum seimbang. Pemerintah masih cenderung memprioritaskan pendidikan umum sehingga dayah-dayah kala itu belum dapat berkembang dengan baik.
Syamsuddin Mahmud lalu membenahinya. Mulai dari membangun SMA unggul pertama di Aceh, yakni SMA Modal Bangsa pada tahun 1994, prestasi para pelajar Aceh perlahan mulai ditorehkan di tingkat nasional bahkan internasional.
Demikian halnya saat ia mendirikan Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa pada tahun 1997. Santri-santri di dayah saat itu berhasil melakukan berbagai gebrakan hingga mampu menjadi kalangan pelajar yang cukup diperhitungkan di tingkat nasional.
“Yang terakhir, Prof. Syamsuddin mendirikan SMA 9 Tunas Bangsa. Sekolah ini unggul dalam bidang olahraganya. Bisa dilihat dari banyaknya atlet-atlet Aceh yang berprestasi bahkan kebanyakan Atlet PON yang mewakili Aceh berasal dari sekolah ini,” tulis jurnal tersebut.
Dalam perjalanannya, upaya memajukan pendidikan Aceh menghadapi jalan terjal, terutama ketika Aceh berada di masa konflik. Di rentang tersebut, banyak gedung sekolah yang dibakar. Siswa-siswi dari luar daerah yang ingin sekolah ke Banda Aceh juga terhambat.
Secara politik, sosok Syamsuddin Mahmud termasuk dalam deretan teknokrat yang berhasil memimpin Aceh. Sesudah Muzakkir Walad, berikutnya Aceh sempat dipimpin oleh akademisi dalam beberapa periode, yakni Prof. Ibrahim Madjid (1978-1981), Prof. Ibrahim Hasan (1986-1993) lalu dilanjutkan Prof. Syamsuddin Mahmud.
Selama memerintah, jejak Syamsuddin juga tercatat dalam dinamika politik otonomi daerah Aceh. Ketika itu, tuntutan agar Aceh menjadi Daerah Otonomi Khusus bergulir deras, bahkan sebelum diterapkannya UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang diputuskan Presiden BJ Habibie setahun usai reformasi.
Saat itu, Pemerintah Pusat mau tidak mau mesti ikut menggulirkan gagasan Otsus Aceh guna membendung tuntutan referendum. Wacana itu pun semakin tegas dengan adanya TAP MPR tahun 2000 yang merekomendasikan pemerintah dan DPR segera menerbitkan UU Otonomi Khusus Aceh.
Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (Departemen Dalam Negeri, 2006) diketahui, untuk menyahuti salah satu ketetapan dalam TAP tersebut --bahwa perumusan RUU Otonomi Khusus wajib memperhatikan aspirasi masyarakat Aceh-- Syamsuddin Mahmud pun tak tinggal diam.
“Syamsuddin Mahmud segera menanggapi peluang emas ini dengan meminta DPRD Provinsi membentuk Panitia Khusus RUU NAD dengan tugas menyusun Draf RUD tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),” demikian tertulis dalam dokumen ini.
Singkat cerita, setelah melewati proses yang cukup panjang dan alot, akhirnya menjelang HUT kemerdekaan RI ke 56, tepatnya tanggal 9 Agustus 2001, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam lembaran negara RI Tahun 2001 No. 114.
Kini, kendati Syamsuddin Mahmud telah menorehkan cerita dalam sejarah dinamika di sektor politik dan pendidikan, Aceh pun masih berkutat dalam persoalan serupa sepeninggalnya. Implementasi kekhususan Aceh, berikut dengan pemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya, masih harus menempuh jalan panjang.
Demikian juga di sektor pendidikan, apa yang telah dicapai ‘sang guru’ hendaknya menjadi hikmah, bahwa persoalan sistem pendidikan di Aceh masih sangat kompleks, dan untuk membenahinya perlu diupayakan sungguh-sungguh oleh pemangku kebijakan saat ini.
Tentunya, jejak upaya Syamsuddin Mahmud untuk menjadikan Aceh lebih baik, akan terus kita kenang sekaligus menjadi refleksi untuk melihat Aceh hari ini.[]
Editor: Fuadi Mardhatillah
Komentar