OPINI: Bencana, Perspektif Sosiologis atau Dosa Teologis?

Elicia Eprianda (Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Dok pribadi
Penulis:

Sepanjang 2021 bencana alam semakin kerap terjadi, beruntun dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, per Oktober 2021 tercatat 2.208 lebih bencana alam melanda berbagai daerah terus berlanjut hingga akhir tahun.

Beberapa jenis bencana tersebut seperti banjir, gempa bumi, puting beliung, tanah longsor, kekeringan, gelombang pasang/abrasi, hingga letusan gunung merapi dan masih banyak bencana lainnya.

Salah satu contoh bencana alam dalam waktu dekat ini, meletusnya Gunung Semeru yang berada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tepatnya pada Sabtu 4 Desember 2021 dan terus aktif hingga saat ini.

Bahkan BNPB mengungkapkan, terdapat 14 korban meninggal akibat erupsi gunung tersebut. Data itu dihimpun pada Minggu 5 Desember 2021, pukul 17.30 WIB.

Tidak hanya menelan ribuan korban jiwa maupun kerugian material dan ekonomi. Akan tetapi musibah tersebut juga menimbulkan berbagai permasalah sosial bagi warga masyarakat terdampak.

Permasalahan sosial yang secara empiris dapat diidentifikasi sebagai melemahnya ketahanan keluarga akibat kondisi fisik dan lingkungan alam yang telah porak poranda, termasuk kehilangan harta benda, tempat tinggal, dan kesedian bahan makanan.

Relasi sosial antar warga juga dapat terganggu karena masing‐masing pihak merasakan beratnya penderitaan yang harus ditanggung. Sebagai dampak ikutannya adalah anak‐anak muda rentan untuk melakukan penyimpangan sosial, seperti penjarahan barang-barang bantuan dan pencurian di wilayah sekitar.

Masalah sosiologis lainnya yang bisa berakibat jangka panjang bagi masyarakat yang terdampak bencana antara lain: (1) keluarga yang tidak utuh lagi karena kehilangan salah satu atau beberapa anggotanya sehingga peran keluarga juga akan semakin melemah; (2) dengan banyaknya korban maka besar kemungkian akan muncul banyak anak terlantar karena ayah atau ibunya turut menjadi korban;

(3) tingkat kemiskinan dan pengangguran menjadi semakin tinggi karena kehilangan pekerjaan dan usaha; (4) pendidikan anak terabaikan, atau kalaupun telah didirikan bangunan sekolah, anak-anak masih trauma dan enggan untuk bersekolah atau mengikuti pelajaran di sekolah;

(5) anak-anak mungkin akan mengalami gizi buruk karena keterbatasan bahan pangan, bahkan akibatnya bagi anak-anak untuk masa yang akan datang cenderung mengalami stunting.

Sejalan dengan pendapat Sjober, (1962: 338) studi tentang bencana difokuskan pada perilaku individu dan kelompok dalam kondisi tekanan (stress). Oliver-Smith (1999: 163) menjelaskan bahwa bencana merupakan suatu periode ketika orang mengalami gejolak emosi yang campur aduk, antara kecemasan, ketakutan, teror, kehilangan, sedih, bersyukur, marah, frustasi, bebas, pasrah dalam semua bayang-bayang dan intensinya. Birkland (1996) juga menegaskan adanya kengerian manusia dari suatu bencana.

Dosa Teologis?

Sebagai umat Islam, pandangan terkait suatu musibah pada hakikatnya merupakan takdir Allah yang sesuai dengan sunnah-sunnah yang diletakkan-Nya pada hukum alam. Esensi manusia di alam ini merupakan bagian darinya, sehingga manusia tidak dapat melepaskan dari segala peristiwa yang terjadi di alam.

Berbagai peristiwa alam merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan berbagai problem hidup bagi manusia seperti wabah, penyakit, kelaparan, kematian, dan lain sebagainya. Namun, karena manusia oleh Allah telah diberikan suatu kemampuan untuk berikhtiar menentukan pilihan yang terbaik untuk keselamatan diri dan lingkungannya.

Dalam Islam, pandangan yang dijelaskan tersebut bisa dimaklumi karena mengingat dalam hal teologis. Demi mendapatkan gambaran jelas tentang sifat dominatif alam, tidak ada salahnya menyimak gagasan sosiolog Aguste Comte.

Comte memperkenalkan model perkembangan masyarakat lewat penjelasan tiga tahapan perkembangan akal budi atau bisa disebut pula sebagai hukum tentang perkembangan intelegensi manusia.

Pada tahapan teologis kehidupan manusia masih dikehendaki dan didominasi oleh suatu yang bersifat supranatural. Manusia belum sepenuhnya memiliki otonomi atas alam dan lingkungan.

Manusia masih dihantui “ketakutan-ketakutan” dengan kekuatan supranatural yang menguasai alam sebab akal budi manusia mencari kodrat dasar, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat singkatnya.

Pengetahuan absolute yang diterima mengandaikan semua gejala sosial yang dihasilkan oleh tindakan langsung hal-hal yang bersifat supranatural atau sebuah kekuatan gaib.

Tahap tingkatan teologi dibagi dalam tiga bagian atau tingkatan yang membentuk hubungan subordinat, yaitu apa yang disebut Comte sebagai fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Fetisisme menggambarkan tingkatan pemikiran yang menganggap bahwa semua pergerakan gejala alam berada di bawah pengaruh suatu kekuatan supranatural.

Dalam tahapan pemikiran ini, manusia masih menginterpretasikan segala sesuatu di sekitarnya sebagai hasil karya dari super natural being.

Tetapi hal penting yang perlu dipertanyakan adalah, apakah bencana yang terjadi di sepanjang tahun ini merupakan kehendak Tuhan ataukah murni kesalahan manusia?

Konsep kunci lain yang telah dibahas dalam semua agama dan kepercayaan adalah konsep dosa. Dulu di banyak masyarakat tradisional, bencana dipandang sebagai akibat dari dosa rakyat.

Pandangan ini dapat diklarifikasi lebih jauh dengan melihat secara rinci makna dan deskripsi dosa dalam Islam, dan dengan mencoba melihat bagaimana dosa dapat dihasilkan dari bencana. Dalam Islam, dosa adalah pelanggaran terhadap tuntunan Tuhan karena ketidaktahuan, kurang percaya akan fakta, dan melakukan tindakan melawan kesadaran diri.

Konsep dosa yang dimaksud yaitu pada banyaknya kasus yang terjadi seperti 1) Menyalahgunakan karunia-karunia Allah yang paling penting yaitu kemampuan manusia, kebijaksanaan, dan kehendak bebas atau menggunakan kemampuan manusia dengan cara yang salah terhadap suatu tindakan yang menyebabkan kerusakan atau bencana.

2) Menolak penggunaan pengetahuan dan hikmat yang Tuhan berikan kepada kita bersamaan dengan kehendak bebas kita dan, sebaliknya, melakukan perbuatan buruk atau yang menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi diri sendiri atau orang lain.

3) Menyalahgunakan Alam, misalnya dengan mempromosikan pembangunan dan pembangunan, yang menyebabkan kerusakan lingkungan. 4) Menyebabkan kerusakan, bahaya, atau kerentanan pada diri sendiri.

5) Melaksanakan tindakan yang menyebabkan ketidakpercayaan dan korupsi di kalangan masyarakat dan masyarakat, dan sebagainya.

Beberapa ayat yang menjadi dasar dari pandangan ini antara lain; ”Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian” (QS As Syura : 30). Atau dalam surat As Syura ayat 30 yaitu”… dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka itu karena disebabkan perbuatan tangan-tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syura: 30).

Dan ayat yang dengan gamblang menyatakan peran manusia dalam kerusakan alam yaitu surat Ar Rum ayat 41: ”Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Kemudian disahkannya pula UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjadi bukti yang menggembirakan dari berubahnya cara pandang para pengambil kebijakan di negeri ini. Bencana (alam) tidak lagi dianggap sebagai isu sampingan atau tambahan, kalah ”seksi” dibanding isu-isu pembangunan lainnya seperti stabilitas politik, ekonomi, pertahanan maupun isu lainnya.

Perlunya Recovery Masyakarat Korban Bencana Alam

Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifkah penerapan undang-undang tersebut di Indonesia yang mayoritas didominasi cara pandang fatalisik ini, atau sejauh mana perangkat-perangkat turunan dari UU tersebut bisa digunakan oleh pengambil kebijakan untuk menyediakan kebijakan yang memihak kepentingan masyarakat umum dalam penanggulangan bencana, tidak saja untuk tindakan reaktif pasca bencana, tetapi juga tindakan-tindakan preventif dalam arti bencana bisa dicegah sebelumnya

Merubah paradigma berpikir fatalistik soal bencana juga bukan sesuatu yang mudah karena ia terkait dengan keyakinan yang juga mengambil landasan dan sumbernya dari kitab suci.

Peran dari tokoh-tokoh agama, cerdik cendekia dan pengambil kebijakan menjadi penting untuk menjelaskan berbagai hal tentang bencana (alam), sebagai upaya untuk menghapus mental pasrah dan cara pandang fatalistik tersebut, sekaligus juga meningkatkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana untuk meminimalisir korban jiwa dan kerusakan yang terjadi.

Meski demikian, pemerintah tidak selalu bisa sepenuhnya bertanggung jawab atas semua dampak dari semua kejadian yang membawa pada suatu bencana. Menurut Stallings (1991), dampak bencana yang dialami berbeda-beda menurut kelas-kelas sosial. Seringkali masyarakat gagal melihat isu-isu yang ada sebelum peristiwa terjadi.

Masyarakat harus secara kritis mengenali sifat bencana, kemudian bertindak sesuai dengan sistem sosial ketika risiko ditempatkan dalam hubungannya satu dengan yang lain, lingkungan mereka, hubungan timbal balik yang dapat dipahami sebagai kerentanan individu, rumah tangga, komunitas atau masyarakat.

Karena itu pula, sudah seharusnya menarik perhatian dari berbagai kalangan yang terpanggil untuk memikirkan upaya-upaya dalam mengantisipasi bencana bagi masyarakat terdampak.

Kejadian bencana alam yang berdampak pada masyarakat tidak perlu disikapi dengan kepasrahan dan pesimistis. Siklus perubahan alam yang terkadang oleh manusia dianggap sebagai bencana, sesungguhnya adalah bagian dari sejarah kehidupan manusia dan masyarakat yang berada di muka bumi ini.

Sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak negatif akibat bencana alam memang perlu kerja sama dari berbagai pihak, tidak saja oleh pemerintah tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dan tentu dari banyaknya kejadian semestinya semakin meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT untuk menjauhi segala larangannya.

Penulis: Elicia Eprianda (Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)