Panglima Laot Ingatkan Nelayan Tidak Gunakan Alat Tangkap Merusak Lingkungan

Waktu Baca 6 Menit

Panglima Laot Ingatkan Nelayan Tidak Gunakan Alat Tangkap Merusak Lingkungan
Nelayan sedang memperbaiki jala yang putus saat pantang melaut. Foto: Hotli Simanjuntak/readers.ID

Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  memberikan perhatian khusus untuk Aceh, karena sering ditemukan nelayan menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang oleh undang-undang.

Dirjen PSDKP KKP menyebutkan, Pulau Simeulue merupakan daerah yang sering ditemukan nelayan menggunakan alat penangkapan ikan yang dapat merusak ekosistem laut. Seperti alat tangkap jenis trawl atau lainnya yang dapat merusak lingkungan.

Menyikapi hal itu, Wakil Sekjen Panglima Laot Aceh, Miftah Cut Adek menjelaskan, Panglima Laot menyambut positif pernyataan dari Dirjen PSDKP KKP. Pihaknya memiliki komitmen yang sama untuk meningkatkan pengawsan terhadal pencurian ikan dan pelanggaran hukum laut lainnya.

“Salah satunya kondisi yang melanggar Hukom Adat Laot yang berlaku di seluruh pesisir dan laut Aceh. Panglima Laot siap bekerjasama dan memperkuat PSDKP KKP,” kata Miftah Cut Adek, Jumat (9/7/2021) kepada readers.ID.

Miftah Cut Adek menegaskan, dalam hukum adat laot  secara tegas menyebutkan bahwa alat tangkap yang merusak kelestarian lingkungan tidak boleh beroperasi di laut Aceh. Ini berlaku sejak  tahun 1980 lalu, Panglima Laot  selalu memperingatkan kepada nelayan tidak menggunakan alat penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut.

Lanjutnya, bila ada nelayan yang masih tetap menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang undang-undang. Panglima Laot Aceh tidak segan-segan memberikan sanksi tegas. Yaitu dari alat tangkapnya disita dan dimusnahkan, hingga hasil tangkapannya juga disita untuk lembaga Panglima Laot.

“Apabila masih terjadi maka akan melapor kepada pihak pemerintah yang berwenang terhadap masalah tersebut,” jelasnya.

Sebelumnya Ditjen PSDKP KKP menyebutkan, Aceh daerah yang harus diberikan perhatian khusus dalam hal penggunaan alat tangkap ikan ilegal.

Ditjen PSDKP KKP meminta Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan di Aceh diperkuat.

Salah satu daerah yang perlu mendapatkan perhatian adalah Simeuleu karena dalam beberapa tahun terakhir kasus penangkapan ikan dengan alat tangkap yang dilarang sering terjadi.

“Bahkan tiga kasus tahun ini terjadi di kawasan konservasi perairan,” kata Direktur Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP KKP, Teuku Elvitrasyah, dalam keterangan tertulis yang diterima, pada Kamis (8/7/2021).

Ia menyampaikan, beberapa kasus perlu mendapatkan porsi perhatian dari aparat penegak hukum.

Oleh karena itu, terkait dengan penanganan tindak pidana kelautan dan perikanan di Aceh, secara khusus ia juga menyampaikan akan mendorong agar diperkuatnya forum tersebut.

Forum Penanganan Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan merupakan wadah koordinasi bagi aparat penegak hukum di bidang kelautan dan perikanan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Perikanan.

Forum yang telah terbentuk di 33 provinsi di Indonesia ini diharapkan terbangun sinergi yang baik dalam penanganan tindak pidana kelautan dan perikanan.

Teuku Elvitrasyah menyampaikan, saat ini pendekatan penegakan hukum di bidang kelautan dan perikanan lebih mengedepankan pendekatan sanksi administrasi. Hal tersebut sejalan dengan semangat Undang-Undang Cipta Kerja.

“Sanksi pidana akan dikenakan dengan kriteria yang sudah ditentukan diantaranya pencurian ikan oleh nelayan asing, pelaku destructive fishing, penyelundupan ikan yang dilindungi serta pemalsuan dokumen perizinan,” jelasnya.

Sehubungan dengan itu, upaya membangun sinergi dalam penanganan tindak pidana kelautan dan perikanan terus dilakukan oleh KKP.

Di antaranya, menggelar Rapat Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Kelautan dan Perikanan (TPKP) terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Provinsi Aceh.

“Koordinasi dalam penanganan tindak pidana kelautan dan perikanan ini sangat diperlukan agar penanganan TPKP ini dapat terlaksana dengan efektif dan efisien”, terang Sekretaris Pelaksana Tugas Direktur Jenderal PSDKP, Antam Novambar.

Antam juga menyinggung perlunya aparat penegak hukum merespon dinamika peraturan perundang-undangan, termasuk diantaranya dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Perubahan regulasi dan dinamika hukum harus selalu diikuti dan dilaksanakan dengan benar dan tepat,” terang Antam.[]

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...