Pembenaran untuk Sebuah Pembunuhan: Tragedi Jambo Keupok Aceh Selatan

Waktu Baca 10 Menit

Pembenaran untuk Sebuah Pembunuhan: Tragedi Jambo Keupok Aceh Selatan
Nama korban Tragedi Jamboe Keupok, Bakongan, Aceh Selatan (Foto: Bing.com)

Oleh: Zulfa Emilda Rahmah*

Tragedi Jambo Keupok merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Desa Jambo Keupok, Kabupaten Aceh Selatan pada 17 Mei 2003 silam. Dalam tragedi ini mengakibatkan 16 warga sipil akhirnya menjadi korban. Menurut penuturan warga, 16 warga tersebut disiksa, ditembak, dibunuh dan dibakar. Selain itu, lima orang lainnya mengalami kekerasan dari anggota TNI, Komando (Paraco) dan Satuan Intelijen Gabungan (SGI).

Tragedi Jambo Keupok berawal dari informasi yang disampaikan seorang informan kepada anggota TNI bahwa Desa Jambo Keupok merupakan tempat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada. Mendengar informasi itu, aparat keamanan langsung mengambil Tindakan. Mereka menyerang dan menyisir desa-desa di kawasan Bakongan. Selama operasi, aparat keamanan sering melakukan Tindakan kekerasan terhadap warga sipil, seperti penangkapan, penyiksaan, dan penyitaan harta benda, tindakan keji tersebut mereka lakukan tanpa mengenal gender.

TNI melakukan tindakan diluar batas kemanusiaan seperti pengakuan korban yang ditembak dan dibakar hidup-hidup, serta melakukan penyiksaan dan juga membakar rumah warga.

Pertanggung jawaban pidana pelaku terhadap kejahatan kemanusiaan merupakan pertanggung jawaban perorangan baik langsung maupun tidak langsung, atau karena pembiaran maupun kelalaian, yang dapat dikenakan baik mereka yang berada di tempat kejadian maupun mereka yang karena kedudukannya memikul tanggung jawab komando militer atau atasan pejabat sipil.

Selain itu, tanggung jawab komando juga berlaku bagi seorang komando atau atasan pejabat sipil tidak secara efektif memantau atau mengendalikan pasukan. 

Komnas HAM menyatakan adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus “Jambo Keupok” dan merekomendasikan agar kasus tersebut dibawa ke pengadilan HAM. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai keberadaan pengadilan HAM sangat penting bagi korban. Karena kalau tidak ada pengadilan HAM, ada hak-hak korban yang tidak terpenuhi.

Campur tangan pengadilan terhadap hak asasi manusia sangat berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak korban, terutama ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab negara. Kompensasi adalah hak korban pelanggaran HAM berat berdasarkan pasal 7 undang-undang Perlindungan Saksi dan korban.

Dalam UU perlindungan saksi dan korban, ganti rugi berarti ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak dapat membayar ganti rugi secara penuh yang merupakan kewajibannya terhadap korban atau keluarganya atas peristiwa yang terjadi di Jambo Keupok.

Keluarga korban berulang kali meminta negara mengusut tuntas kasus tersebut demi mendapatkan keadilan. Namun hingga lebih dari satu dekade berlalu, kasus ini masih tertunda. Dalam rangka menjaga keadilan dan menjaga memori, berbagai elemen masyarakat mengadakan berbagai kegiatan untuk mengenang tragedi Jambo Keupok dan terus menuntut penyelesaian kasus tersebut. Meskipun status DM di Provinsi Aceh telah dicabut, para korban dan keluarganya tidak mendapatkan keadilan dan kompensasi dari negara.

Pemerintah masih gagal menghukum para pelaku dan memberikan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Penyelesaian tragedi Jambo Keupok bukan hanya menjadi tanggung jawab para korban, tetapi juga menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan agar kejadian tersebut tidak terulang lagi dan mengundang trauma yang ditimbulkan oleh negara sendiri. Namun proses perkembangan kasus terhenti pada tahap administrasi.

Bolak-balik berkas penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan Agung dan komnas HAM mencerminkan niat untuk membantu dan memberikan petunjuk yang jelas. Tindakan ini menunjukkan bahwa negara tidak mau menangani pelanggaran HAM di Jambo Keupok. Banyak aktivis HAM memandang pengakuan dan penyesalan yang disebutkan Joko Widodo atas pelanggaran HAM berat di masa lalu hanya sebagai tambahan janji politik, mengabaikan isu utama, yakni perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan.

Tragedi Jambo Keupok pada 17 Mei 2003, sekelompok anggota TNI yang sedang melaksanakan operasi keamanan di Aceh Selatan menghadapi situasi yang kompleks dan tegang. Peristiwa ini menyebabkan kehebohan dan kecaman yang besar dari masyarakat Indonesia dan dunia internasional.

Tragedi Jambo Keupok menunjukkan eskalasi kekerasan yang terjadi selama konflik Aceh, yang berlangsung selama beberapa dekade antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tragedi Jambo Keupok dapat menyebabkan trauma psikologis dan emosional yang mendalam pada korban dan masyarakat setempat.

Korban yang selamat dan keluarga mereka mungkin mengalami gejala-gejala trauma seperti kecemasan, ketakutan, depresi, dan gangguan tidur. Mereka juga mungkin mengalami flashback dan mimpi buruk yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Selain itu trauma juga dapat mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Rasa takut dan ketidak nyamanan yang timbul akibat peristiwa tersebut dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan fisik masyarakat, serta kepercayaan mereka terhadap institusi.

Peristiwa ini menyebabkan trauma yang mendalam bagi masyarakat Aceh Selatan khususnya, korban dan keluarga menderita akibat kehilangan orang terdekat mereka, serta kekerasan fisik dan seksual yang dialami. Trauma ini dapat berdampak jangka panjang pada Kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Dalam menghadapi trauma semacam ini, penting untuk memberikan dukungan psikologikal kepada korban dan keluarga mereka. Ini meliputi akses terhadap layanan Kesehatan mental, konseling, terapi trauma, dan dukungan komunitas. Pemerintah juga memiliki peran penting dalam memastikan keadilan dan akuntabilitas terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang terlibat dalam tragedi ini, serta membangun mekanisme yang mencegah terulangnya kejadian serupa di masa yang akan datang.

Meskipun Langkah-langkah telah diambil untuk menangani tragedi Jambo Keupok, dampak trauma yang ditimbulkan mungkin masih dirasakan oleh korban dan masyarakat hingga hari ini, penting bagi pemerintah dan pihak yang terkait untuk memberikan dukungan psikologis, pemulihan dan bantuan bagi mereka yang terkena dampak dari trauma tersebut.

Selain itu, penting juga untuk melanjutkan upaya rekonsiliasi dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Dengan membangun keadilan, menghormati hak asasi manusia, dan memastikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat, diharapkan trauma seperti tragedi Jambo Keupok ini tidak terulang Kembali.

Pelanggaran HAM Berat yang terjadi di selatan tersebut tentu menjadi pertimbangan penting untuk ditindaklanjuti sebagaimana data yang telah dikumpulkan dan diserahkan ke Menkopolhukam Mahfud MD pada Maret lalu. Sebanyak 5000 data diserahkan kepada pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti dan akan dimulai pada Juni 2023 ini yang turut dihadiri oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo. 

*Penulis Merupakan Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...