PJ Gubernur Aceh Diminta Prioritaskan Penyelesaian Rumah Sakit Regional
Tidak satupun dari kelima rumah sakit regional yang tersebar di seluruh pelosok Aceh itu dapat berfungsi. Bahkan ada yang belum selesai dibangun sama sekali.

BANDA ACEH, READERS – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Nasdem Aceh, T. Iskandar Daod, meminta Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, memprioritaskan penyelesaian rumah sakit regional di Aceh. Pasalnya, pembangunan rumah sakit tersebut sudah memakan waktu hampir enam tahun lamanya.
“Tidak satupun dari kelima rumah sakit regional yang tersebar di seluruh pelosok Aceh itu dapat berfungsi. Bahkan ada yang belum selesai dibangun sama sekali,” kata Iskandar Daod, dalam keterangannya, Senin (18/7/2022).
Mantan Ketua Komisi VI DPR Aceh tahun 2014-2017 itu mengatakan, pembangunan lima unit rumah sakit regional yang berada di Langsa, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh Selatan tersebut dimulai pada tahun 2017. Namun hingga menjelang akhir tahun 2022 belum satupun bangunan tersebut dapat difungsikan.
“Sedangkan dana APBA yang terserap ke situ sudah hampir Rp 1 triliun lebih. Apa sebabnya?,” ujar dia.
Iskandar menuturkan, rencana pembangunan rumah sakit itu sejak awal memang sudah menuai kontroversi. Terutama dalam hal pembiayaannya. Sebab, pada waktu itu telah terjadi polarisasi sikap pro dan kontra yang cukup tajam di kalangan Anggota DPR Aceh terhadap sumber anggaran yang akan dipakai untuk membiayai pembangunannya.

Pada Awalnya, kata Iskandar, Pemerintah Aceh berencana untuk menerima tawaran dana pinjaman lunak (Soft Loan) dari Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (Kfw, yaitu Institut Kredit untuk Rekonstruksi) Jerman, senilai Rp 1,9 triliun.
Namun, dalam sidang paripurna rencana untuk menerima tawaran dana pinjaman luar negeri dari bank milik Pemerintah Jerman tersebut tidak disetujui oleh mayoritas fraksi di DPR Aceh
“Sehingga DPR Aceh tidak dapat mengeluarkan rekomendasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh dana pinjaman tersebut," katanya.
Iskandar mengatakan, karena penolakan tersebut Pemerintah Aceh terpaksa membangun rumah sakit regional itu dengan mengandalkan biaya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Namun, menurut Iskandar, anggaran yang dialokasikan setiap tahunnya untuk proses pembangunan terlalu kecil, sehingga penyelesaiannya akan memakan waktu yang cukup lama.
Sebagai contoh, kata dia, pembangunan rumah sakit regional di Aceh Barat, Meulaboh. Pada tahun 2017 dialokasikan anggaran sebesar Rp 30 miliar, pada 2018 sebesar Rp 40 miliar, pada tahun 2019 sebesar Rp 50 miliar, pada 2020 anggarannya diturunkan sebesar Rp 34,3 miliar, dan pada 2021 lalu dialokasikan sebesar Rp 57,6 miliar.
Sehingga jika dijumlahkan seluruhnya baru mencapai Rp 211,9 miliar. Padahal anggaran yang diperlukan untuk pembangunan rumah sakit tersebut hampir mencapai Rp 350 miliar lebih.
“Kalau besaran alokasi anggarannya dipenggal kecil-kecil seperti itu, kapan siapnya?,” ujar Islandar.
Iskandar menilai, janji Gubernur Aceh periode 2017-2022 untuk melanjutkan pembangunan rumah sakit regional itu telah diabaikan dan tidak dianggap sebagai prioritas.
"Padahal, RS Regional merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi rakyat di pedalaman Aceh pada saat ini," tuturnya.
Menurut Iskandar, rumah sakit regional merupakan solusi yang sangat signifikan untuk mengatasi besarnya jumlah pasien rujukan yang selama ini semuanya menumpuk ke RSUD Zaino Abidin di Banda Aceh.
Untuk itu, Iskandar berharap Pj Gubernur Aceh saat ini dapat memprioritaskan penyelesaian pembangunan lima rumah sakit regional di sejumlah wilayah di Aceh tersebut. Sehingga keberadaannya dapat dikenang oleh rakyat Aceh.
"Ke depan ini saya harap semoga Pj Gubernur Aceh mau memprioritaskan penyelesaian pembangunan ke-5 RS Regional itu, sehingga dapat menjadi legacy yang sangat monumental dan bersejarah bagi beliau selama menjadi Pj Gubernur Aceh," pungkasnya.
Komentar