PM Belanda Minta Maaf ke Indonesia Pasca Perang 1945-49
Permintaan maaf itu disampaikan Rutte pada konferensi pers di Brussel, ibu kota Belgia, pada Kamis (17/2)
Amsterdam - Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia atas penggunaan kekerasan oleh militer Belanda selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Pertempuran masa itu dikenal dengan perang agresi militer Belanda.
Permintaan maaf itu disampaikan Rutte pada konferensi pers di Brussel, ibu kota Belgia, pada Kamis (17/2)
Dilansir dari Antara pada Jum'at (18/2/2022), Rute mengatakan, pemerintahnya mengakui seluruh temuan yang dihasilkan sebuah tinjauan sejarah (penelitian) yang sangat penting beberapa waktu lalu.
Menurut studi tersebut, Belanda melakukan kekerasan secara sistematik, melampaui batas, dan tidak etis dalam upayanya mengambil kembali kendali atas Indonesia, bekas jajahannya, pasca-Perang Dunia II.
Dikutip dari CNN Indonesia, pasca kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali melancarkan sejumlah serangan (Agresi Militer Belanda) sebanyak dua kali. Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product dan Agresi Militer Belanda II atau Operatie Kraai alias Operasi Gagak.
Agresi militer pertama gagal melancarkan serangan pada 21 Juli - 5 Agustus 1947. Namun Belanda kembali menyerang Indonesia setahun kemudian pada 19-20 Desember 1948. Operasi Gagak ini berawal dari serangan di Yogyakarta, karena masa itu tempat ini sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota Indonesia. Selanjutnya serangan pun meluas ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera.
Informasi yang diperoleh, tujuan Agresi Militer Belanda II adalah untuk melumpuhkan pusat pemerintahan Indonesia sehingga Belanda bisa menguasai Indonesia kembali. Belanda masih tidak mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga pada 19 Desember 1948 Agresi Militer kembali terjadi.
Diketahui, keinginan Belanda merebut Indonesia guna mengambil kekayaan alam yang ada di tanah air untuk menumbuhkan perekonomian negaranya yang hancur setelah kalah dalam Perang Dunia II.
Agresi Militer Belanda II adalah serangan yang dilancarkan Belanda pada 19 Desember 1948. Berikut tujuan dan kronologi Agresi Militer Belanda II.(Foto: Nationaal Museum van Wereldculturen/C.J. Taillie via Wikimedia Commons (CC BY-SA 3.0).
Untuk bisa masuk ke Yogyakarta, pasukan militer Belanda menyerang Pangkalan Udara Maguwo secara tiba-tiba melalui serangan udara.
Setelah Pangkalan Udara Maguwo lumpuh, Belanda dengan cepat menguasai Yogyakarta. disaat bersamaan pula kepala Negara Indonesia Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap.
Selain kepala dan wakil kepala negara, Belanda juga menangkap sejumlah tokoh seperti Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Roem, dan AG Pringgodigdo. Mereka diterbangkan ke tempat pengasingan di Pulau Sumatera dan Pulau Bangka.
Sebelum ditangkap, Presiden Soekarno sempat membuat surat kuasa kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara untuk membuat pemerintahan darurat sementara.
Soekarno memberikan mandat kepada Syafruddin untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Peralihan pemerintahan ini bertujuan agar Republik Indonesia tidak berhenti dan terus menyusun strategi melawan Belanda.
Presiden Soekarno juga sudah membuat rencana cadangan seandainya Pemerintahan Darurat ini gagal menjalankan tugas pemerintahan.
Soekarno membuat surat kepada Duta Besar RI di New Delhi, India, Sudarsono, Menteri Keuangan AA Maramis dan staf Kedutaan RI LN Palar untuk membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India. Exile Government adalah pemerintah resmi suatu negara yang karena alasan tertentu tidak dapat menggunakan kekuatan legalnya.
Namun, rencana ini tak jadi dilakukan karena PDRI berhasil membentuk pemerintahan sementara pada 22 Desember 1948. Sejak saat itu, tokoh-tokoh PDRI menjadi incaran Belanda.
Namun, PDRI tak gentar dan menyusun sejumlah perlawanan dengan membentuk lima wilayah pemerintahan militer di Sumatera yakni di Aceh, Tapanuli, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Perlawanan terhadap Belanda juga dibantu berbagai laskar di Jawa.
Diketahui, setelah Belanda mengumumkan bahwa Indonesia telah tiada dan dikuasai oleh mereka. Belanda juga menebar berita bohong tentang bubarnya Indonesia kepada seluruh dunia, lalu memutus semua akses Indonesia kepada dunia internasional dengan cara menghancurkan Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta.
Isu bohong ini kemudian ditepis oleh salah satu radio di kawasan dataran tinggi Gayo, yakni Radio Rimba Raya yang saat itu masih mengudara. Radio Rimba Raya inilah yang akhirnya menyuarakan bahwa Indonesia masih ada dan merdeka.
Panglima Divisi X Gajah, Kolonel Hoesin Yoesoef mengamankan antena dan pemancar Radio Rimba Raya dan berpindah-pindah di tengah hutan untuk menghindari serangan militer Belanda. Masa itu radio ini memancarkan siarannya dengan menggunakan tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Urdu.
Disinilah peran Radio Rimba Raya di Aceh Tengah itu (sekarang Bener Meriah) datang menghunter isu tersebut. Jaringan Radio ini kemudian tembus menuju mancanegara hingga kemudian mendapat kecaman dari dunia internasional. PBB mendesak Belanda membebaskan pemimpin Indonesia dan kembali memenuhi Perjanjian Renville.
Belanda pun membebaskan Soekarno dan Hatta pada 6 Juli 1949. Pemerintahan pun kembali pulih pada 13 Juli 1949. Belanda dan Indonesia juga merundingkan perjanjian Roem Royen.[]