Puasa Ramadhan di Xinjiang, Larangan atau Pilihan?

Seorang pengunjung International Grand Bazaar, Urumqi, Ibu Kota Daerah Otonomi Xinjiang, China, Kamis (22/4/2021), berswafoto dengan latar belakang masjid. Grand Bazaar merupakan pusat keramaian terbesar di Urumqi dan menjadi salah satu tujuan wisata utama Xinjiang. ANTARA/M. Irfan Ilmie
Penulis:

Sinar mentari di Kashgar luar biasa cerah, sehangat suhu udara pagi khas musim semi di wilayah selatan Daerah Otonomi Xinjiang.

Suasana di terminal kedatangan bandar udara, jalan raya, dan pusat keramaian lainnya pada tanggal 19 April 2021 terlihat lebih dinamis ketimbang pada tanggal 4 Januari 2019 di kota yang disebut-sebut pernah menjadi sarang kelompok radikal itu.

Perbedaan mencolok lainnya adalah pemandangan dari bandar udara. Dua tahun lalu bisa langsung terlihat alam perbukitan batu yang seakan membentengi wilayah terluar China itu dengan Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan. Sekarang sudah banyak bangunan bertingkat, termasuk juga kegiatan komando militer.

Polisi berseragam juga tidak lagi tampak siaga di mana-mana seperti dua tahun lalu saat awal-awal munculnya perhatian dunia atas isu penahanan beberapa warga etnis minoritas Muslim Uighur di beberapa kamp "konsentrasi" untuk menjalani pendidikan kembali di bidang hukum dan bahasa nasional sekaligus keterampilan guna menambah kecakapan hidup atau life skill.

Kesan saling curiga dalam relasi antarmasyarakat setempat saat daerah yang banyak dihuni etnis Uighur itu dilanda serangkaian terorisme pada rentang 1992-2014 itu juga sudah mulai sirna.

Boleh dibilang Kashgar telah berubah total. Kemiskinan dan keterbelakangan seperti dikesankan seorang warga Pakistan yang pernah berkunjung ke Kashgar pada 1992 sudah berubah total.

"Dulu saya datang ke sini naik bus dari Islamabad. Dua hari lamanya karena medannya cukup berat. Sesampainya di sini, saya melihat hampir semua orang bawa senjata tajam, ada yang di saku atau diselipkan di celana. Masyarakatnya benar-benar miskin," ujar pria asal Ibu Kota Pakistan saat ditemui dalam kunjungan ketiganya ke Kashgar itu.

Secara geografis Kashgar memang sangat dekat dengan Pakistan. Naik pesawat cuma 40 menit. Padahal ke Urumqi, Ibu Kota Xinjiang, bisa 2,5 jam. Dari Beijing ke Kashgar malah 6 jam, hampir sama lama penerbangannya dengan Beijing-Jakarta.

Zona waktunya sama dengan Beijing karena memang China yang luas wilayahnya hampir 10 juta kilometer persegi itu punya satu zona waktu. Irisan waktunya sama dengan Waktu Indonesia Bagian Tengah (Wita).

Maka tidak heran, kalau pukul 21.00 di Kashgar langit masih sangat cerah. Bahkan pukul 20.16, Masjid Idkah masih menggelar shalat jamaah Ashar.

Puasa akan terasa lama sekali kalau sahurnya di Beijing pada 19 April 2021 yang waktu Imsaknya pukul 03.56, sedangkan buka puasanya di Kashgar dengan waktu Magrib pukul 21.48 seperti yang dialami jurnalis Antara dan rekan wartawati asal Tunisia.

"Ini sejarah dalam hidup saya. Selama Ramadhan, baru kali ini saya berpuasa hampir 20 jam," kata Iman Toumi yang bekerja pada China-Arab TV itu terlihat kegerahan di tengah teriknya matahari yang membakar wilyah Kota Tua.

Walau begitu, gadis berusia 28 tahun tersebut tidak akan menyerah. Tetap berpuasa di tengah menjalankan tugas liputan yang sangat padat selama lebih dari sepekan di Xinjiang.

Kashgar dan kota-kota lain di Xinjiang atau bahkan di China sekalipun suasananya tidak ada yang berbeda, antara bulan puasa dan bukan.

Meskipun menjadi rumah besar bagi etnis Uighur, tidak semua warga Kashgar memeluk agama Islam. Apalagi di kota itu ada etnis Han yang secara mayoritas di China tidak beragama dan belakangan juga diikuti oleh etnis Uighur.

Warung-warung dan lapak-lapak penjual makanan di Kashgar buka seperti biasa pada siang hari. Masyarakat lokal yang beretnis Uighur pun tidak sungkan-sungkan makan dan minum di luaran.

Para pedagang makanan di Kota Tua sebagai salah satu tujuan utama wisata Kashgar itu juga buka dan mengolah makanan seperti biasa sepanjang hari.

Di sebelah utara gerbang masjid yang dibangun pada tahun 1648 Masehi atau era Dinasti Ming itu masyarakat setempat terlihat makan, minum, dan merokok saat hari masih sangat cerah di bulan Ramadhan.

Masih di sekitar Masjid Idkah, terdapat bangunan bernama Gucheng Meishi Guangchang, semacam pusat jajanan serba ada khas Kashgar. Jenis makanan yang dijual sama dengan di pasar tradisional Kota Lama.

Bedanya, pujasera itu di dalam gedung. Namun situasinya tetap sama, orang bebas makan dan minum kapan saja tanpa harus menunggu Magrib tiba.

Suasana di dalam Masjid Idkah juga biasa-biasa saja. Tidak ada persiapan yang sangat berarti menjelang azan Magrib. Bahkan, usai shalat jamaah Ashar, orang bubar sendiri-sendiri, kecuali Mehmet Jumah, salah satu imam, yang bertahan karena sedang melayani wawancara para pemburu berita dari berbagai negara.

"Tidak ada paksaan, mau puasa atau tidak. Pemerintah di sini menjamin kebebasan orang beragama atau tidak," kata putra Jumah Thayer, imam Masjid Idkah, yang meninggal akibat tikaman orang tak dikenal seusai memimpin shalat Subuh pada 30 Juli 2014 itu.

Ia mengakui bahwa jamaah di masjid yang sangat bersejarah itu secara kuantitas berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Jika beberapa tahun yang lalu, jumlah jamaah di masjid bisa dipadati sekitar 5.000 orang setiap shalat Jumat. Sama halnya dengan jumlah jamaah pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha di masjid yang menjadi ikon Kota Wisata Kashgar itu.

"Namun sekarang tinggal 800 hingga 900 orang," ujar pria yang juga pernah diwawancarai di masjid itu pada tanggal 4 Januari 2019.

Maka tidak heran, kalau jamaah shalat Ashar pada Senin (19/4/2021) sore itu sedikit sekali untuk ukuran bangunan masjid yang berdiri di atas lahan seluas 1,68 hektare tersebut.

Masjid berdinding warna kuning kecokelatan tersebut tetap menggelar shalat jamaah lima waktu dengan protokol ketat.

Pintu gerbang masjid itu baru dibuka pada jam-jam shalat lima waktu sejak pandemi COVID-19. Sama seperti masjid-masjid lain di China, termasuk di Beijing, yang hanya dibuka untuk umum pada jam-jam shalat lima waktu sesuai yang tertera di jawal shalat yang dipasang di beranda gapura atas dalih pengendalian wabah pneumonia tersebut.

Jangan harap dibukakan pintu masjid, meskipun hanya terlambat beberapa menit dari jadwal shalat lima waktu, seperti yang dialami ANTARA di Masjid Huashi Beijing dan Masjid Idkah Kashgar.

Padahal kedatangan ke Masjid Idkah untuk kepentingan liputan bersama awak media asing lain dengan didampingi staf Kementerian Luar Negeri China, Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, dan pimpinan Partai Komunis lokal tentunya.

Saat itu jurnalis Antara memisahkan diri sebentar dari rombongan karena harus memotret suasana dan aktivitas masyarakat di luar masjid pada sore hari ketika jarum jam sudah menunjuk angka 8 malam itu.

Setelah menerima penjelasan singkat, barulah sekelompok orang dari etnis Uighur yang tadinya duduk-duduk di depan toko sebelah utara gerbang Masjid Idkah mengizinkan ANTARA untuk memasuki kembali areal masjid.

Beberapa pengunjung yang sepertinya wisatawan dicegah oleh orang-orang tersebut saat berusaha mengikuti jejak ANTARA. Mereka hanya diperkenankan memotret di halaman luar pintu gerbang masjid yang sangat ikonik bagi Kota Kashgar.

Pada sore hari, halaman masjid dipadati warga dan wisatawan. Berbagai jenis permainan dan hiburan, termasuk unta tunggangan yang bisa disewa pengunjung untuk berkeliling di sekitar halaman luar masjid.

Saat dikonfirmasi mengenai penutupan masjidnya, Jumah membantahnya dengan mengatakan bahwa penutupan kegiatan ibadah hanya terjadi saat Revolusi Budaya pada 1970-an dan awal-awal COVID-19 melanda.

"Siapa pun boleh shalat di sini, kecuali pegawai negeri sipil dan pengurus partai (Partai Komunis China) yang memang menurut peraturan tidak diizinkan," kata Jumah yang juga pimpinan Asosiasi Islam Kashgar itu.

Meskipun mendung merata di langit Kota Urumqi, tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan pada sore itu.

Xinjiang International Grand Bazaar (XIGB), pusat keramaian di Kota Urumqi, pada 21 Apri 2021 ramai seperti dua tahun sebelumnya ketika ANTARA pertama kali mengunjungi Ibu Kota Daerah Otonomi Xinjiang.

XIGB yang nama Mandarinnya adalah Guoji Da Bazha dan bahasa Uighurnya Shinjang Xelq'ara Chong Baziri atau pasar besar internasional sama dengan pusat keramaian Wangfujing di Beijing atau mungkin Pasar Baru di Jakarta.

Bedanya, siapa pun yang hendak memasuki kawasan XIGB harus melalui pemeriksaan alat pendeteksi metal yang dijaga personel keamanan berseragam di ketiga pintu masuk.

Di XIGB terdapat masjid. Ini juga yang membedakannya dengan Wangfujing atau pusat belanja para wisatawani lainnya di kota mana pun di China, meskipun di dalam Masjid XIGB tersebut tidak terlihat adanya aktivitas keagamaan yang berarti seperti halnya pusat kegiatan umat Islam selama bulan suci Ramadhan.

Justru yang ramai adalah panggung hiburan yang berjarak sekitar beberapa meter dari bangunan masjid baru bergaya arsitektur Utsmaniyah, terutama pada bagian kubah dan dua menara.

Pasar yang dibangun di atas lahan seluas 4.000 meter persegi pada tahun 2000 dan mulai dibuka untuk umum pada 26 Juni 2003 itu memang memadukan unsur arsitektur Islam dengan bangunan tradisional etnis minoritas di Xinjiang, seperti Uighur, Kazakh, Hui, dan Mongol.

Jarum jam sudah menunjuk 8 malam (19.00 WIB), namun masih terang karena di Urumqi waktu Magrib baru tiba pukul 21.05 (20.05 WIB).

Walau begitu orang-orang bebas makan dan minum. Bahkan, kedai aneka ragam roti canai di seberang masjid tersebut juga ramai oleh pembeli dan ada yang makan-minum di atas mezanin sambil menyaksikan kesibukan orang-orang di dalam dapur berdinding kaca bening.

Seorang pelayan menawari roti canai yang memang menjadi makanan pokok orang Xinjiang. Namun dia memohon maaf, begitu yang ditawari sedang berpuasa.

Kesibukan yang sama juga terlihat di toko aneka macam kurma dan buah kering lainnya di XIGB. Penjualnya pun dengan ramah mempersilakan mencicipi jualannya sebelum ditimbang.

"Saya sedang berpuasa juga," kata seorang pelayan laki-laki yang mengenakan kopiah khas Uighur yang bentuknya mirip kubah masjid.

Demikian halnya dengan penjual teh dan aneka minuman rempah lainnya di daerah yang banyak dihuni oleh etnis minoritas Muslim Uighur itu tanpa sungkan-sungkan menawarkan sampel kepada setiap pengunjung.

Orang-orang Uighur juga bebas merokok sambil menyaksikan sekelompok gadis dari komunitasnya meliuk-liukkan tubuh langsingnya ditingkahi alunan musik tradisional yang sepintas mirip irama padang pasir.

Makanya, para penari perempuan di Xinjiang selalu mengenakan pakaian tertutup mulai dari kepala hingga ujung kaki. Demikian pula dengan penari prianya yang selalu berkopiah.

Suasana di pusat jajanan serba ada di seberang XIGB itu juga ramai. Makin sore, justru makin ramai seiring dengan jam pulang kerja.

Apalagi di sekitar pintu pujasera itu terdapat lorong bawah tanah menuju stasiun kereta bawah tanah Erdaoqiao dan halte bus. Situasi lalu lintas di Jalan Jiefangnan Lu sore itu bertambah macet meskipun tetap terkendali.

Sudah lewat jam makan malam mestinya. Namun pukul 20.00 masih terang, maka tidak heran kalau pujasera tersebut tetap ramai oleh orang-orang yang tidak berpuasa karena Magrib masih satu jam lagi.

Di pinggiran Kota Urumqi, para mahasiswa Xinjiang Islamic Institute (XII) dengan tekun menirukan ayat demi ayat yang dibacakan oleh sang dosen.

"Fabiayyi alaai robbikumaa tukadzdzibaan," ucap Mehmet Amin Abdullah yang serentak ditirukan oleh mahasiswanya di kelas Al Quran dan Hadis pada 22 April 2021 siang.

Ayat-ayat Surat Ar Rahman yang ditulis di atas papan berwarna hijau tua itu dilantunkan secara tartil oleh seisi ruangan kelas.

Ilham Yaqin (23), mahasiswa XII asal Kashgar, dengan lancar menyelesaikan Surat Al Qadr saat diminta ANTARA membacanya di luar kepala.

Bahkan dia pun mampu berbicara dalam Bahasa Arab saat diminta untuk memperkenalkan diri karena memang Bahasa Arab menjadi mata kuliah di kampus yang direnovasi pada 2014 dengan menelan biaya senilai 280 juta yuan atau sekitar Rp627,8 miliar itu.

Beberapa pejabat lokal dan pengurus Partai Komunis setempat tampak lega begitu Ilham bisa melaksanakan tugas "dadakan" dari ANTARA pada siang hari itu.

"Bagaimana? Bagus-bagus mereka?" ucap Wakil Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Xinjiang, Li Xuejun, meminta persetujuan ANTARA.

Ya, setidaknya mereka memang benar-benar mahasiswa XII yang sedang belajar ilmu agama Islam, bukan sekadar pajangan belaka di depan awak media asing.

Selain Al Quran lengkap dengan terjemahan berbahasa Uighur, di atas bangku para mahasiswa itu terdapat modul Hadis, di antaranya tentang hikmah, doa, dan pesan tentang cinta tanah air.

Dua tahun mendatang setelah lulus dari XII, Ilham juga menyatakan kesiapannya jika harus ditugaskan ke daerah asalnya untuk menjadi imam masjid menggantikan ayahnya.

Di dua kelas lainnya, para mahasiswa juga sedang serius mengikuti kelas Budaya China dan Bahasa Mandarin. Pintu kedua kelas ini tertutup rapat dari dalam sehingga tidak bisa dimasuki oleh orang lain, termasuk para awak media asing yang pada saat itu diundang secara khusus oleh pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang.

Suasana di dalam areal XII masih sama dengan kunjungan Antara dua tahun lalu. Dari luar terlihat sepi. Mungkin karena memang jam sekolah.

Masjid di dalam areal kampus XII juga sepi karena pada saat itu memang belum masuk waktu Zuhur. Berbeda dengan kunjungan pada tanggal 3 Januari 2019 ketika para mahasiswa dan pimpinan XII menunaikan shalat jamaah Ashar selepas jam kuliah.

Abit Qazbay yang mewakili pimpinan XII menemui awak media asing pada 22 April 2021 mengatakan bahwa di luar jam kuliah, para mahasiswanya biasanya membaca Al Quran di dalam masjid.

Tapi mungkin karena siang itu masih jam kuliah, maka wajar jika masjid sepi dari aktivitas mahasiswa.

Sebanyak 889 mahasiswa XII semuanya berjenis kelamin laki-laki, termasuk para dosennya, sehingga sudah dipastikan mereka puasa semua kecuali yang memiliki uzur syar'i, seperti sakit parah dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, kantin umum di XII pada siang hari tutup total. Pada hari-hari biasa, pihak kampus memberikan makan kepada mahasiswanya tiga kali sehari secara cuma-cuma.

Para mahasiswa yang 67 persen berasal dari wilayah selatan Xinjiang, seperti Hotan, Kashgar, dan Aksu, itu juga tidak dipungut biaya pendidikan.

"Untuk biaya pendidikan yang ditanggung pemerintah sebesar 8.000 yuan per mahasiswa setiap bulan dan biaya hidup 4.000 yuan," kata Abit.

Gaji dosen seperti Amin Abdullah bisa mencapai 72.000 yuan atau sekitar Rp161,4 juta per tahun.

XII tidak saja mencetak pemuka agama, imam, dan khotib, melainkan juga peneliti Islam yang bebas dari pengaruh radikalisme dan ekstremisme.

"Dari sekitar 1.000 anggota delegasi etnis minoritas Muslim yang duduk di kursi kongres dan parlemen dari segala tingkatan, baik pusat maupun daerah, sebagian lulusan dari sini," kata Ilijan Anayat selaku juru bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang kepada ANTARA di kampus XII Urumqi itu.[]