Rupa Semiotika SBY: Mampukah Ingatan Lama Meredam Kudeta?

Badai menghantam Partai Demokrat. Demikian simpul yang berseliweran dengan hebatnya, mendominasi arus pemberitaan sepekan terakhir.
Di awal-awal, kabar sepihak soal pengambilalihan kepemimpinan partai berlogo mercy itu kerap dianggap berlebihan. Namun pasca Kongres Luar Biasa di KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3/2021), ancaman terhadap partai ini mulai tak terbantahkan.
Para elite Demokrat sendiri meradang pada nasib tragis ini. Bagaimana tidak, Partai Demokrat pernah dominan di jagat perpolitikan Indonesia, setidaknya satu dekade lalu. Kini, kendati tak secara tegas berada di poros oposisi rezim, Demokrat jadi salah satu kubu yang kerap mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintahan.
Di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono, yang tak lain putra dari sang pendiri Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, partai ini disebut tengah berupaya merekatkan kembali soliditas ke segenap simpatisan, anggota dan pengurusnya.
Dinamika berjalan, arah politik pun sulit ditakar. Demokrat kini harus menghadapi gejolak di internalnya sendiri. AHY dan loyalisnya mengecam keras penyelenggaraan KLB yang dianggapnya ‘bodong’.
"KLB ini jelas tidak sah, ada yang mengatakan bodong, ada yang mengatakan abal-abal, yang jelas terminologinya ilegal dan inkonstitusional karena KLB tersebut tidak memiliki dasar hukum partai yang sah," ujar AHY, kemarin.
Mantan Wakil Ketua Partai Demokrat Max Sopacua yang ikut mendorong KLB pun membantah balik. Ia beralasan, sesuai peraturan perundang-undangan, peserta KLB sudah sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga (AD/ART).
Max mengklaim, dalam KLB dihadiri pemilik suara yang sah seperti kader, ketua, sekretaris dan bendahara. Sehingga, ia menyebut hasil KLB yang menetapkan Moeldoko merupakan hasil keputusan yang sah.
Namun satu hal yang menarik dicermati, bahwa perpecahan partai –yang diduga ada turut campur pihak eksternal, bukan hal baru di negeri ini. Partai Golkar, PPP, PKB, Hanura, PAN hingga Partai Berkarya pernah mengalami hal yang kurang lebih serupa.
Bahkan, perpecahan paling berdarah pernah terjadi pada masa Orde Baru, yang menariknya, menerpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kala itu dipimpin Megawati Soekarnoputri.
Kasus tersebut memuncak pada tragedi 27 Juli 1996, atau biasa disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli), yakni pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jakarta Pusat oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI. Kala itu diduga kuat pemerintah orba tidak merestui kepemimpinan Megawati di PDI.
Ironis, 25 tahun kemudian, di bawah rezim PDI Perjuangan pula kudeta serupa menerpa Partai Demokrat, satu di antara banyak partai yang lahir pasca reformasi.
“Mudah dibaca ada keterlibatan eksternal, semua orang tahu Moeldoko dari mana. Pembiaran yang dilakukan pemerintah bisa mengindikasikan mereka pihak yang diuntungkan dari kisruh ini,” duga analis politik The Aceh Institute, Fajran Zain, Sabtu (6/3/2021).
Fajran melihat intervensi rezim penguasa dipertontonkan secara telanjang di hadapan publik, setelah berkali-kali Moeldoko membantah bahwa dirinya lah yang ada di balik upaya pengambilalihan kepemimpinan Demokrat.
“Namun dari KLB tersebut sudah jelas lah. Kita melihat ini permainan yang sangat kasar, saya kira. Proses kongres terjadi secara lucu-lucuan, dalam 30 menit, keluar keputusan penunjukan Moeldoko, yang dianya sendiri tidak hadir ke ruang sidang tapi hanya dikonfirmasi lewat handphone. Jadi kan lucu sekali,” kata Fajran.
Laku 'menyusup' dalam kisruh semacam ini, sambungnya, secara moral politik jelas bukan lagi urusan internal Partai Demokrat saja, melainkan alarm bagi seluruh partai politik di Indonesia.
“Bisa tergambar bagaimana nasib partai yang posisinya kerap berseberangan dengan rezim saat ini. Seharusnya semua parpol menegaskan sikapnya terkait yang menerpa Demokrat hari ini, karena pengambilalihan partai itu dipertontonkan dengan kasar dan blak-blakan,” ujarnya.
Fajran melihat satu gejala yang ia sebut sebagai ketidakpedulian kolektif (collective ignorance), ketika parpol ramai-ramai bungkam mengenai kisruh Demokrat hari ini.
Sikap diam itu pula yang bakal membuat situasi perpolitikan di Indonesia memburuk. Mengamati koalisi rezim yang kian kuat saat ini, tanpa ada penyeimbang yang sepadan maka bisa berdampak pada pengambilan kebijakan yang keliru nantinya.
“Karena tak ada yang mengkritik, ini tidak sehat lagi bagi politik kita, bahkan demokrasi kita lebih tepatnya. Saat ini kondisinya sudah sangat mengancam,” tandas Fajran.
Semiotika Politik SBY
Ada yang tidak biasa dalam konferensi pers yang digelar Jumat malam (5/3/2021) tadi. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas menyampaikan sejumlah poin menyikapi KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara.
SBY membelakangi dua foto yang terpampang di sisi kiri dan kanan, mereka ialah Almh Ani Yudhoyono, mendiang istri SBY dan seorang lagi merupakan ibundanya, Almh Siti Habibah. Di antara kedua foto, terpajang tegak satu hiasan gunungan wayang berbahan logam kecokelatan.
...berikutnya
Secara semiotika politik, seluruh latar itu menyiratkan pesan. Cara ini lazim bagi pengambil keputusan, sebagai penanda bahwa ia ingin mempertajam sikap secara implisit.
Semasa hidupnya, Ani Yudhoyono dinilai sosok yang amat berpengaruh bagi pribadi SBY. Dari latar itu, Fajran menilai, SBY seakan ingin menghadirkan kenangan berupa memori politik. Tak hanya pendamping di rumah tangga, mendiang Ani juga dikenal sebagai mastermind di balik berbagai keputusan pendiri Demokrat itu.
“Ia (Ani) magnet yang sangat kuat bagi Demokrat,” kata Fajran.
Politisi Demokrat, Andi Arief bahkan pernah mengakui peran sentral Ani di Demokrat. Peran tersebut memosisikan dirinya ibarat generator yang memastikan gerak Demokrat tetap berjalan baik.
Andi mengatakan, selama hidup Ani menjadi pengingat bila ada komitmen SBY yang luput. Ani ialah kendali yang senantiasa mengingatkan perihal AD/ART partai ketika SBY hendak mengambil keputusan.
Ani juga telaten mencatat perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara pengurus partai. “Dia bukan orang yang [suka] intervensi, mengatur-mengatur. Jadi apa ya? penjaga garis, penjaga moral politik agar semua on the track. Ini menurut saya fungsi dari pendamping yang paling benar, ya begitu,” kata Andi, melansir Tirto, Juni 2019.
Tak hanya itu, mendiang ibunda SBY, Siti Habibah juga merupakan sosok yang berpengaruh besar bagi Presiden RI ke-6 itu. Keduanya, Ani dan Siti meninggal dalam waktu berdekatan, hanya berselang dua bulan pada 2019 silam. Kehilangan dua orang yang amat berarti dalam hidupnya membuat SBY merasa amat terpukul kala itu.
“Pajangan foto mendiang Ani bisa menyiratkan pesan bagi seluruh anggota dan pengurus partai maupun masyarakat luas, bahwa SBY ingin menyentuh sentimen nasionalisme kepartaian, melalui sosok Ani, yang sangat dikenal sebagai sosok yang ikut membesarkan partai itu di masa-masa awal,” jelas Fajran.
Ada ingatan lama yang dimunculkan SBY, sekaligus aura positif yang tampaknya ingin kembali menggugah para kader Demokrat, agar mengingat lagi kejayaan dan soliditas di partai tersebut sejak awal berdirinya.
Selain itu, secara semiotika pula, gunungan wayang di latar belakang SBY juga mengesankan bahwa budaya Jawa perihal kesantunan dan kearifan juga perlu diterapkan dalam cara-cara berpolitik.
“Ini tegas sekali saya rasa. Pengambilalihan partai secara kasar, tentu sangat jauh dari langgam politik kesantunan, juga jauh dari nilai-nilai ke-jawa-an yang selama ini bisa dikatakan melekat dalam diri SBY sendiri,” ujarnya.
Namun, apa yang dialami Demokrat memang menunjukkan bahwa kontestasi politik di Indonesia semakin tidak sehat. Keterlibatan pihak luar dalam penyelenggaraan KLB Demokrat saja, menunjukkan cara berpolitik yang kian buruk.
“Tidak ada nilai moral dan etika politik. Etika itu kan di atas hukum. Jadi kontestasi kita belakangan ini makin tidak sehat,” kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, melansir Tempo.
Dari perspektif demokrasi, peristiwa KLB Demokrat di Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai anomali politik dan demokrasi. Walaupun sejumlah partai juga pernah menyelenggarakan KLB, Siti menilai KLB Demokrat tidak lazim.
“Karena yang menggelar KLB itu tidak mengikuti AD/ART partai, dan ketum yang dimunculkan juga bukan kader,” ujarnya.
KLB itu juga dinilainya memprihatinkan karena menafikan etika dan norma, serta menjungkirbalikkan peraturan partai. Selain membuat publik bingung, KLB Demokrat juga menunjukkan atraksi politik di mana para elite hanya berkompetisi dan berpikir untuk 2024.
“Publik ini sudah jengah dengan masalah seperti ini. Dalam kaitan itu mengapa kita ini cenderung mengedepankan otot, dan bukan otak. Nilai budaya terpuji bangsa ini seolah-olah dinafikan begitu saja,” ucapnya. []
Komentar