'Pepesan Kosong' Jokowi Benci Produk Asing
“Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri”. Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi dalam pidatonya saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2021 pada Kamis (4/3/2021) lalu.
Kenyataannya ini sikap paradoks - bertentangan dengan kenyataan hingga membingungkan masyarakat dan berujung memuncul anggapan hanya pepesan kosong. Sebab, saat ini hampir semua sektor melakukan impor.
Seruan membenci produk asing yang disampaikan Jokowi saat pemerintah masih membuka keran impor sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri.
Ajakan membenci produk asing seolah kontradiksi dengan sejumlah kebijakan terbaru dari pemerintah. Seperti kembali membuka impor beras sebanyak 1 juta ton - alasannya untuk menambah cadangan beras atau pemerintah menyebutnya iron stock.
Padahal kemandirian pangan jauh hari bisa dilakukan - bila pemerintah serius untuk mencintai produk dalam negeri. Sehingga lontaran benci produk asing tidak menjadi pepesan kosong.
Menjadi tidak salah apa yang disampaikan Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, seruan Presiden Jokowi benci produk asing, merupakan wujud kegalauan pemerintah.
"Ini yang saya kira membuat pemerintah lagi pening, lagi pusing, sehingga harus mengeluarkan (pernyataan) semacam itu," kata Adi Prayitno, Kamis (4/3/2021) dilansir CNNIndonesia.
Menurut Adi, pernyataan Jokowi yang mengajak agar membenci produk luar negeri harus diikuti dengan kebijakan menutup keran impor dan sejumlah kebijakan strategis.
Pemerintah harus mengurangi ketergantungan terhadap komoditas impor dan mendorong sektor-sektor yang bisa dikelola sendiri.
Hal itu dilakukan dengan tiga cara. Pertama, membuat kebijakan politik yang memihak sektor produksi dalam negeri. Kedua, pemerintah memberikan bantuan berupa dana yang tidak kecil karena terdapat sejumlah budidaya yang harus didorong. Ketiga, pemerintah harus membantu memasarkan produk lokal.
"Semangatnya sih oke, tapi kan tidak selesai urusan retorika. Harus diterjemahkan dengan kebijakan politik yang memihak produk-produk lokal," ujar Adi dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurut Adi, selama ini pemerintah berpihak terhadap produk-produk impor. Ia juga menilai pemerintah kerap melakukan tindakan yang instan. Hal ini terjadi pada sejumlah komoditas yang masih bisa diproduksi dalam negeri seperti, beras, gula, garam, hingga cangkul dan cobek.
"Itu kan pekerjaan-pekerjaan mudah yang tidak perlu kecanggihan teknologi dan insinyur mapan," protesnya.
Adi mengatakan, para petani garam setiap tahun menjerit karena pada masa panen garam mereka dibeli dengan harga murah. Padahal ongkos produksi mencetak garam mahal. Hal serupa juga terjadi pada petani sawah. Pada masa panen, padi mereka dibeli dengan harga murah.
Pilu Nasib Petani Garam
Muslim Yusuf (57) misalnya, seorang petani garam tradisional memilih tetap bertahan untuk memproduksi garam di kawasan Pantai Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, meski di tengah himpitan era yang sudah serba canggih, modal dan pasar terbatas.
Di atas lahan tambak besar seluas sekitar 1.500 meter persegi, Muslim menumpahkan peluhnya. Dengan telaten ia memproduksi garam tradisional sendiri tanpa tersentuh bantuan apapun dari pemerintah.
Garam-garam itu tidak hanya sebatas untuk kecukupan dapur sendiri, melainkan juga sebagai salah satu penopang ekonomi keluarga.
Pria yang akrab disapa Pak Muslim itu, dalam sehari mampu memproduksi 100 kilogram garam dalam sekali masak. Namun, perolehan sebanyak itu tidak menjadi angka pasti, melainkan tergantung faktor cuaca, karena belum tersentuh teknologi.
Dampak dari pandemi Covid-19 juga dirasakan oleh petani garam seperti Muslim. Belakangan ini dirinya mengalami pemerosotan drastis dalam segi pemasaran, yang berimbas pada produksi garamnya.
Muslim mampu memproduksi hingga 500 kilogram garam dalam seminggu, tetapi selama pandemi, dirinya terpaksa harus mengurangi produksi garam hingga setengah dari biasanya. Hal tersebut dikarenakan menurunnya permintaan pasar, akibat banyaknya tempat-tempat usaha yang tutup selama pandemi Covid-19.
“Sebelum ada Covid-19 biasa harganya delapan ribu per kilo untuk garam yang kualitasnya bagus, sekarang turun jadi tujuh ribu. Banyak sekali perubahannya selama virus Covid-19 ini, harganya turun, permintaan pasar pun juga menurun. Jadi saya terpaksa mengurangi pembuatan garam,” ujar Muslim disela-sela aktivitasnya.
Selama ini, garam tradisional hasil produksi Muslim hanya dipasarkan di kawasan Banda Aceh dan Aceh besar. Dengan cara mengantarnya langsung menggunakan becak kepada agen-agen yang sudah berada di pasar.
Atas dasar itu, Muslim berharap kepada pemerintah agar memberikan sedikit perhatian kepada para petani garam, khususnya dalam masa pandemi Covid-19 ini. Pasalnya, omzet petani garam merosot drastis selama ini.
“Mudah-mudahan ya, setelah virus Covid-19 ini harga kembali stabil, dan omzet produksi bisa naik lagi,” pungkas Muslim.
Kisah Muslim bertahan memproduksi produk lokal tanpa ada sentuhan bantuan dari pemerintah menjadi satu di antara ribuan lainnya di Nusantara ini. Mereka harus berjuang sendiri untuk bertahan di tengah himpitan ekonomi saat ini.
...berikutnya
Nasib Mobil Esemka
Belum lagi menyangkut nasib mobil nasional Esemka hingga sekarang belum ada kejelasan kapan bisa dipasarkan. Setelah gaung benci produk asing disampaikan Presiden Jokowi, keberadaan mobil Esemka jadi sorotan publik kembali.
Salah satu orang yang mengangkat nasib Esemka kembali ke permukaan adalah pakar telematika Roy Suryo. Dia mempertanyakan konsistensi ajakan Jokowi dalam membenci produk asing.
"Tadi naik helikopter apa produk asli PTDI (PT Dirgantara Indonesia)? Kenapa tidak naik Esemka yang 'katanya' produk nasional?" cuit Roy Suryo via akun @KRMTRoySuryo2 pada Kamis (4/3/2021).
Esemka pertama kali dikenalkan Jokowi saat ia menjabat Wali Kota Solo. Kala persiapan Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi mengendarai mobil Esemka dari Solo ke Jakarta. Ia menggunakan model SUV warna hitam dari Solo.
Pada 2012, Jokowi menyebut 6.000 unit Esemka sudah dipesan. Namun, kabar Esemka sempat hilang ditelan bumi setelah Jokowi menjabat DKI 1.
Esemka mulai kembali meroket saat Jokowi maju jadi calon presiden di Pilpres 2014. Akan tetapi, produksi massal Esemka tak kunjung berjalan.
Selama periode pertama Jokowi sebagai presiden, Esemka hanya jadi gosip di publik. Beberapa kali mobil yang diduga purwarupa Esemka mengaspal di jalan.
Misalnya pada 2017, sebuah mobil berwarna putih yang disebut-sebut Esemka Digdaya melintas di jalanan Solo. Di tahun yang sama, SUV warna putih yang disebut-sebut Esemka Garuda 1 ikut mengaspal di jalanan.
Esemka kembali lenyap setelah itu. Bahkan, Esemka jadi senjata makan tuan bagi Jokowi di Pilpres 2019. Kubu lawan memanfaatkan Esemka untuk menunjukkan janji-janji Jokowi yang tak pernah terlaksana.
Namun, tak lama usai Pilpres 2019, Jokowi meluncurkan pabrik Esemka di Boyolali. Pabrik itu diklaim mampu memproduksi 18 ribu unit per tahun.
Pada peluncuran, Jokowi memperkenalkan unit mobil pikap Esemka Bima. Tak ada lagi model SUV seperti yang ia pamerkan saat jadi Wali Kota Solo.
Jokowi tak langsung terbebas dari cibiran. Esemka Bima dituding mobil rebadge atau hanya merakit ulang produk impor. Sebab bentukan mobil itu persis pikap China bernama Changan Star Truck.
Waktu berjalan, Esemka belum juga mengaspal. Katanya, mobil pikap dalam negeri itu sudah terjual 300 unit sejak 2019.
Pada tahun ini, kabar Esemka kembali muncul. Influencer otomotif Fitra Eri menyampaikan gagal memesan Esemka. Pabrik beralasan produksi dihentikan karena pandemi.
"Beliau menyampaikan permintaan maaf karena stok Esemka Bima yang ingin saya beli habis. Dan pabrik Esemka saat pandemi ini menghentikan produksi sementara untuk menghindari cluster Covid-19," ujar Fitra lewat akun Instagramnya yang dikutip Selasa (9/2/2020).
...berikutnya
Benci Produk Asing dan Perdagangan Bebas
Indonesia for Global Justice (IGJ) merilis data saat ini Pemerintah Indonesia telah menandatangani 20 perjanjian dagang melalui mekanisme Free Trade Agreement maupun Comprehensive Economic Partnership Agreement.
Kondisi ini tentu paradoks dengan pernyataan Presiden Jokowi menggaungkan benci produk asing. Peneliti IGJ, Olisias Gultom menyampaikan, pernyataan itu sangat kontras dengan sikap dan kebijakan pemerintah selama ini.
Dari 20 perjanjian itu, 9 di antaranya telah diimplementasikan, 11 telah ditandatangani dan dalam proses implementasi. Sementara, 13 perjanjian lagi negosiasinya sedang berlangsung.
Semakin tampak hanya pepesan kosong gaung benci produk asing, kebijakan pemerintah mendorong keras Omnibus Law memberikan ruang yang sangat luas bagi investasi asing.
Omnibus Law juga mendorong para pekerja Indonesia menjadi pekerja online yang belum terlindungi atau pelaku UMKM yang cenderung dibiarkan bersaing dengan barang asing yang dibebaskan masuk, apalagi melalui e-commerce yang menebus sampai ke desa-desa terdalam di Indonesia.
Karpet Merah untuk Asing
Presiden Jokowi mengajak masyarakat membenci produk asing. Namun yang terjadi ucap Jokowi tak serupa dengan kebijakan. Justru Jokowi menggelar karpet merah untuk asing - seperti disahkannya UU Omnibus Law dan sejumlah pernyataan lainnya.
1. Lahan Murah untuk Investor Asing
Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk menawarkan harga lahan murah bagi perusahaan asing yang ingin berinvestasi di Indonesia. Jokowi ingin harga lahan bisa lebih murah dari negara-negara lain agar Indonesia tak kalah saing.
"Kalau mereka (negara lain) memberikan harga tanah misalnya 500.000, kita harus bisa di bawahnya itu. 300.000 misalnya," kata Jokowi saat meresmikan kawasan industri Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020) seperti disarankan dari akun YouTube Sekretariat Presiden.
"Kalau mereka memberikan harga tanah 1 juta, ya kita berikan harga 500.000," kata dia.
Jokowi mengatakan, di kawasan industri ini akan disiapkan kurang lebih 4.000 hektar lahan. Untuk tahapan pertama, akan disiapkan kurang lebih 450 hektar.
Ia juga memastikan kawasan ini siap menampung industri asing yang hendak berinvestasi di Indonesia.
"Misalnya ada yang mau pindah tadi, LG mau pindah besok, sudah langsung masuk. Enggak usah ngurus apa-apa, nanti yang ngurus semuanya dari kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Tentu saja nanti dibantu gubernur dan bupati yang ada di sini," kata dia.
Jokowi mengaku tidak ingin peristiwa sebelumnya terjadi lagi. Saat itu, ada 33 perusahaan besar yang memutuskan untuk relokasi dari China.
Namun, tak satu pun yang memilih Indonesia sebagai tempat investasi baru.
"Saya senang hari ini sudah ada yang masuk tujuh (perusahaan). Sudah pasti ini yang tujuh. Kemudian ada 17 (perusahaan) yang memiliki komitmen besar sudah masuk ke 60 persen hampir 100 persen," kata dia.
...berikutnya
2. Jokowi Minta Perusahaan Asing Mau Relokasi dari China Difasilitasi
Jokowi sebelumnya meminta kementerian terkait melayani dengan baik perusahaan yang hendak merelokasi pabriknya. Pasalnya, berdasarkan informasi yang diterima, ada 119 perusahaan yang siap 'bedol desa' dari China.
"Saya sudah perintahkan kepada menteri, kepada Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), untuk industri-industri yang akan relokasi dari Tiongkok ke Indonesia," kata Presiden Jokowi saat meresmikan kawasan Industri di Batang, Jawa Tengah, melalui konferensi video, Selasa (30/6/2020).
"Baik itu dari Jepang, dari Taiwan, dari Korea, dari Amerika, dari negara manapun. Berikan pelayanan yang sebaik-baiknya," lanjut dia.
Bahkan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa perusahan-perusahaan tersebut tak perlu lagi direpotkan dengan permasalahan izin. Ia meminta Kepala BKPM beserta kepala daerah membantu pengurusan izin para investor dari China yang memindahkan pabriknya ke Indonesia.
"Kalau mereka ngurus izin di sana satu bulan, ya kita bisa seminggu. Kalau mereka ngurus di tempat lain bisa seminggu ya kita harus bisa sehari dua hari. Harus memiliki sebuah competitiveness yang baik," lanjut dia.
3. Jokowi Minta Masuknya Tenaga Kerja Asing Dipermudah
Jokowi bahkan menginginkan tenaga kerja asing semakin mudah masuk ke Indonesia. Hal ini disampaikan Jokowi saat membuka rapat terbatas terkait penataan TKA di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/3/2018).
"Dalam penataan tenaga kerja asing di Indonesia, pertama, saya minta agar proses perizinannya tidak berbelit-belit, ini penting sekali," kata Jokowi.
"Karena keluhan-keluhan yang saya terima perizinannya berbelit-belit," tambah Kepala Negara.
Jokowi meminta kondisi ini diubah. TKA yang masuk Indonesia harus dipermudah prosedurnya, baik dalam pengajuan rencana pengajuan tenaga kerja asing, (RPTKA), izin penempatan tenaga asing atau (IPTA), maupun visa tinggal terbatas dan izin tinggal terbatas (VITAS).
"Yang saya minta untuk dijalankan lebih cepat dan berbasis online dan dilakukan secara terintegrasi, terpadu, antara Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi di bawah Kementerian hukum dan HAM," kata Jokowi.
...berikutnya
Gaung Benci Produk Asing Patut Didukung
Pengamat Ekonomi Aceh, Rustam Effendi memiliki cara pandang lain terkait pernyataan Presiden Jokowi – menggaungkan benci produk asing. Rencana kepala Negara mengutamakan penggunaan produk lokal atau dalam negeri langkah maju dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.
Mengutip data dari katadata.co.id pada 2020, penduduk Indonesia terbesar keempat dunia. Yaitu berjumlah 274 juta jiwa. Peringkat terbanyak pertama Tiongkok 1,4 miliar, India 1,4 miliar dan Amerika Serikat 331 juta jiwa.
Jumlah penduduk Indonesia sebesar itu menjadi pasar empuk yang diminati investor – terlebih investasi barang dan jasa. Sehingga tidak heran banyak investor asing berlomba-lomba ‘merayu’ pemerintah Jokowi untuk mempermudah berinvestasi di Nusantara ini.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pernah menyebutkan, jumlah penduduk besar merupakan suatu keuntungan bukan menjadi beban. Asalkan potensi itu bisa dikelola dengan baik untuk kepentingan bangsa - begitu juga menjadi daya tarik dunia karena pangsa pasar yang besar.
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia harus bisa dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan kemandirian ekonomi bangsa. Karena bonus demografi ini berdampak positif apabila ada keseimbangan dengan pembangunan di bidang pertanian, perkebunan, perikanan, industri dari hulu ke hilir, termasuk akses permodalan.
Jargon benci produk asing yang disampaikan Jokowi, menurut dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala (USK) merupakan langkah maju dalam upaya mengampanyekan semangat nasionalisme ekonomi bangsa. Di kalangan warga negara harus diperkuat lewat ajakan, imbauan dan tentu dengan langkah-langkah yang konkret.
“Rencana Jokowi untuk mengutamakan penggunaan produk lokal itu sudah sangat bagus. Sudah seharusnya jargon itu dikonkretkan,” kata Rustam Effendi kepada readers.ID, Sabtu (6/3/2021) via telepon.
Menurutnya, export driven atau mendorong kebijakan ekspor harus diarahkan untuk menggenjot ekspor hasil produksi dalam negeri ke pasar global. Sehingga kemandirian ekonomi dapat tercapai – terlebih dari sisi lain pangsa pasar dalam negeri cukup besar dan cukup membantu untuk memasarkan produk sendiri.
“Persis seperti ditemui dalam masyarakat Jepang, sangat mencintai produk dalam negeri, merek sendiri,” sebutnya.
Rustam Effendi menyebutkan, bukan berarti pemerintah haram melakukan impor barang dari luar negeri.
Ada kala pemerintah harus mengeluarkan kebijakan Import Substitutional, atau menggantikan impor itu sendiri – merupakan kebijakan menggantikan barang-barang yang sebelumnya diimpor beralih ke penggunaan barang dan jasa yang dihasilkan atau diproduksi dalam negeri.
Rencana Presiden Jokowi menggaungkan benci produk asing, sebut Rustam, tidak akan terealisasi apabila pembantu di kabinetnya tidak menerjemahkan secara konkret. Para menteri harus menyambut melalui kebijakan turunan agar menciptakan iklim kemandirian ekonomi dengan mencintai produk lokal.[]
Sumber: cnnindonesia, kompas.com, katadata.co.id, bps.go.id, merdeka.com
Komentar