Suak Transaksi Bodong di Serambi Makkah, Laris Berujung Pahit

Langkah kontroversial bisnis penjualan pakaian muslim yang dilakoni S (30 tahun) dan SHA (31) terhenti di balik jeruji. Kepolisian Daerah Aceh akhirnya menahan pasangan suami istri yang merupakan pemilik Yalsa Boutique itu sebagai tersangka kasus dugaan investasi bodong.
Kepada awak media, Jumat (19/3/2021), Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, Kombes Pol Margiyanta mengatakan, dalam beberapa pekan lalu pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi, ahli serta menyaring beberapa barang bukti kasus tersebut.
“Ada dua alat bukti dan saksi dalam kasus ini,” kata Margiyanta.
Sejumlah saksi digali keterangannya, terutama saksi ahli dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta pihak perbankan. Dari mereka lah, model investasi di Yalsa diketahui bodong dan barang bukti yang diperoleh memenuhi unsur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Penyidik juga telah menyita uang Rp46 juta, laptop, emas berbagai bentuk, 87 lembar surat pembelian emas, kartu ATM, buku rekening, dan barang bukti lainnya. Sebelumnya mereka juga telah menyita sejumlah mobil yang diduga hasil dari investasi bodong itu. Aset para tersangka hingga kini masih terus dilacak.
“Polda Aceh masih terus melacak aset kedua tersangka untuk kasus tindak pencucian uangnya," ungkapnya.
Nasib moreng butik Yalsa hari ini memang bikin kaget. Sebelum geger dengan bisnis bodongnya, wajah butik yang eksis sejak 2014 silam itu tampak mengilap saat even peluncuran produk busana muslim di salah satu hotel, Januari lalu.
Laman media massa di Aceh saat itu dihiasi dengan gelaran meriah dari Yalsa. Selain peragaan busana, ia juga menyajikan hiburan dari penyanyi lokal dan nasional. Penampilannya diiringi megahnya tata panggung dan kilau pencahayaan.
Dengan raut semringah, pemilik butik mengklaim tema peluncuran ‘Expression of Style’ tepat menggambarkan optimisme Yalsa sebagai pemain penting industri mode di Aceh.
“Even ini akan menjadi sejarah lahirnya produk ekonomi kreatif Aceh yang akan menguasai pasar fashion nusantara. Kami juga tak berhenti di sini, kami akan terus memperkenalkan produk-produk terbaru dari kami,” ungkapnya kala itu.
Namun, citra itu segera memudar tak lama setelahnya.
Di balik kemegahannya, Yalsa diduga terbelit perkara penipuan. Hal ini terungkap pertama kali dari laporan model A yang masuk ke Polda Aceh 11 Februari lalu. Pelapor tak lain member yang menanam uangnya di Yalsa.
Butik ini menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau investasi hingga mencapai Rp164 miliar. Investasi tersebut dikumpulkan melalui 202 pihak yang disebut reseller dengan anggota sekitar 17.800 orang.

“Yalsa dilaporkan oleh anggotanya yang merasa ditipu usai menyetor sejumlah uang untuk diinvestasikan. Ia mengaku dijanjikan keuntungan dari penjualan busana di Butik Yalsa, mulai 30-50 persen dari setiap penjualan,” terang Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Winardy, Februari 2020.
Pengumpulan uang sejak Desember 2019 hingga Februari 2021 itu, ternyata tak memiliki izin usaha dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jumlahnya beragam, dari Rp500 ribu hingga puluhan juta.
Semula kedua pihak sepakat bahwa dana investasi itu tidak boleh diambil dalam jangka waktu enam bulan. Tapi belakangan masalah mulai muncul, saat dana itu dihentikan oleh pemilik Yalsa dan dianggap hangus.
Sejumlah penyetor yang tak terima sempat menyeruduk butik tersebut dan menuntut tanggung jawab pemilik Yalsa, seperti terekam dalam video yang beredar di media sosial pada Februari lalu. Sejak itu persoalan di Yalsa mulai terendus publik hingga menyeruak kabar tak sedap. Tak dinyana, masalah itu terus bergulir hingga ke ranah hukum.
Melalui rangkaian pemeriksaan, pemilik Yalsa Boutique yang merupakan sepasang suami istri itu akhirnya dijerat dengan Pasal 46 Ayat (1) Undang- Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain itu, mereka juga dikenakan Pasal 2 Ayat (1) huruf g, Pasal 3, dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang atau TPPU.
Kuasa hukum tersangka, Mukhlis Mukhtar menyebut kliennya lebih dulu mengalami kerugian lantaran ada reseller yang curang, sehingga berdampak pada proses pembagian keuntungan kepada penyetor dana. Namun di sisi lain ia tetap menghormati proses hukum yang sedang ditempuh.
Dugaan investasi bodong yang menjerat Yalsa Boutique bukan cerita pertama di Aceh. Setidaknya beberapa bulan sebelum itu, masyarakat juga digegerkan dengan kabar penahanan AH (40), pemilik perusahaan PT El Hanif Tour and Travel yang bergerak di bidang perjalanan haji dan umrah.
Sebelumnya sosok AH cukup populer di masyarakat. Pria yang pernah menjadi calon legislatif DPR RI ini juga penyelenggara konser salah satu musisi kondang mancanegara di Aceh pada 2012 silam.
AH menyandang status tersangka usai penyidik Polda Aceh menyusuri laporan dugaan penipuan yang dilakukan PT El Hanif. Pelapor yang mengadu Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Aceh, September 2020 lalu mengaku korban penipuan karena tak kunjung diberangkatkan umrah ke tanah suci, meski telah membayar sejumlah uang ke El Hanif.
Laporan itu sekaligus menguak kasus ini lebih utuh. Sedikitnya 47 orang ternyata telah mendaftar dan menyetor biaya umrah ke agen perusahaan di Aceh Tengah pada April 2018. Biayanya beragam, dari Rp17 juta hingga Rp23 juta.
“Janjinya akan diberangkatkan ke Arab Saudi pada Desember 2019, namun sampai tahun 2020 tak kunjung berangkat,” kata Humas Polda Aceh kala itu. Dalam pemeriksaan polisi, AH mengaku perusahaannya bangkrut sehingga gagal memberangkatkan jamaah.
Berbagai modus penipuan terungkap dari El-Hanif. Di samping menyediakan paket promo sebesar Rp13 juta, perusahaan ini juga menyodorkan tiket umrah secara gratis ke sejumlah ulama dan tokoh-tokoh di Aceh.
“Perusahaan ini ingin terlihat kredibel di mata publik, supaya makin banyak orang yang mendaftar,” ujarnya.
Saat konferensi pers Polda Aceh, AH tak sendiri. Masalahnya terkuak bersamaan dengan kasus lainnya. Ia lah KA (30), warga Banda Aceh yang juga pemilik PT Istiqlal Sarana Wisata and Travel. Korbannya sebanyak 27 orang, dengan setoran biaya umrah mencapai total Rp608 juta.

Sembari menangani kasus Yalsa Boutique, polisi juga menyelidiki perkara serupa yang diduga dilakukan perusahaan Dinar Khalifah. Penyidik Polda Aceh mendapat keterangan paket investasi yang ditawarkan oleh Dinar Khalifah beragam, mulai dari investasi uang melalui trading, umrah, rumah tipe 45, sampai investasi kendaraan roda empat.
Dalam penelusurannya, Dinar Khalifah diketahui mengumpulkan uang tanpa seizin OJK. Kasubdit Indagsi Ditreskrimsus Polda Aceh, Kompol Indra Novianto membeberkan total investasi yang berhasil dikumpulkan Dinar Khalifah sekitar 15-20 miliar rupiah, dengan korban lebih kurang 250 orang.
“Namun keuntungan yang dijanjikan dari investasi tersebut diduga tak kunjung dibayar sampai jatuh tempo sesuai kesepakatan,” ujar Indra, akhir Februari lalu.
Namun, jauh sebelum rentetan dugaan transaksi bodong bergulir setahun terakhir, publik di Aceh pernah dikejutkan dengan terkuaknya penipuan lewat investasi bodong, lima tahun silam. Pelakunya Nova Mastura, perempuan 25 tahun yang divonis enam tahun penjara.
Ia terbukti menyebar berita bohong terkait investasi forex dolar melalui pesan siaran (broadcast) yang merugikan korban-korbannya sebesar Rp147 juta dan Rp40 juta.
Beberapa hal perlu disoroti dari deretan suak penipuan yang menjerat banyak korban di Aceh. Kasus semacam ini tak pernah habis, bagaimana mengantisipasinya?
Berkaca dari kasus Yalsa Boutique, perlu dicermati tingkat sensitivitas masyarakat saat ini terhadap potensi penipuan melalui bisnis bodong. Akademisi keuangan dan investasi, Lukas Setia Atmaja mengatakan, entitas bodong memang cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
“Selama masih banyak jumlah masyarakat yang abai dan enggan melakukan riset terhadap hal baru, maka peluang bertambahnya entitas bodong masih akan selalu ada,” kata dia, mengutip Kontan, April 2020 silam.
Apalagi di masa pandemi, lanjutnya, masyarakat lebih banyak waktu luang dan mengonsumsi internet, sehingga banyak juga muncul penawaran investasi di ruang daring.
Salah satu cara utama mencegah hal tersebut, menurut Lukas, salah satunya dengan menanamkan prinsip ‘buy what you know and know what you buy’.
Ia mengimbau masyarakat harus lebih aktif dan kritis dalam mengenali aset investasi yang hendak dipilih. Sekurang-kurangnya, punya rasa keingintahuan yang besar terkait kerja investasi dan risikonya.
“Sayangnya belum banyak masyarakat yang menerapkan ini, sehingga tak heran investasi bodong selalu bertambah,” ujarnya lagi.
Senada dengan itu, Ketua Satgas Waspada Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L Tobing pernah menuturkan empat hal yang menyebabkan investasi bodong terus ada dan memakan korban.
Pertama, masih rendahnya tingkat literasi masyarakat mengenai produk-produk keuangan, hingga manfaat dari investasi yang masuk akal. “Sehingga mereka bisa mengetahui mana yang bisa diikuti, mana penipuan, mana yang benar,” ujarnya mengutip Jawapos, Februari lalu.
Kedua, Tongam juga menyoroti kelemahan masyarakat yang sangat mudah tergiur dengan tawaran keuntungan besar tanpa perlu repot-repot berusaha.
“Ketiga, seperti yang banyak dialami, yakni kesulitan ekonomi sehingga mengambil keputusan yang tidak dipertimbangkan secara matang,” ungkapnya. Bahkan, tak sedikit yang meminjam uang untuk menjajal investasi ilegal tersebut. Bukannya untung, yang terjadi malah beban persoalan yang makin bertambah.
“Sudah nggak punya uang, pinjam lagi dan akhirnya ketipu. Ini sangat-sangat parah,” ungkapnya.
Terakhir, banyak yang terjebak dengan investasi bodong lantaran melihat testimoni pengalaman orang yang sudah bergabung lebih dulu. Ini bisa menarik minat anggota baru. “Orang-orang yang testimoni itu adalah yang menginginkan orang lain untuk terjebak juga sebenarnya,” kata Tongam.
Laman informasi teknologi keuangan, Cermati.com menyebut mekanisme pembayaran di muka untuk keberangkatan di waktu tertentu sebagai satu ciri dari biro paket umrah bodong.
Diungkapkannya, kendati berbiaya murah, kerap kali diketahui belakangan uang itu dijadikan modal usaha, kalau bukan untuk dibawa kabur biro perjalanan tersebut. Biaya murah pula yang banyak memikat calon penyetor.
“Jika mereka menawarkan harga untuk biaya perjalanan yang lebih murah dari paket umrah dengan harga normal, Anda patutnya boleh untuk merasakan sedikit waspada dan curiga,” kata laman tersebut.
Biasanya harga yang ditawarkan untuk haji dan umrah berkisar di angka 7 sampai 12 juta rupiah dengan iming-iming kuota terbatas atau sedang promo. Padahal, harga normalnya bisa jauh dari harga itu.
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) tahun 2017 silam menakar standar penyelenggaraan umrah, yakni 1.700 dolar AS menjadi standar minimum untuk perjalanan umrah. Mengacu kurs 1 dolar di tahun tersebut yang mencapai Rp13.400, maka biaya umrah yang lumrah sekitar Rp22-23 juta per orang.
Mengutip Tirto, Amphuri menghitung biaya tiket pesawat saja untuk pergi-pulang sudah mencapai 1.000 dolar AS, belum termasuk hotel dan lain-lain.
“Namun, pelbagai promosi biaya umrah sangat murah menawarkan paket Rp19,5 juta, Rp16,5 juta, bahkan ada yang hanya Rp14-15 juta per orang. Tawaran inilah yang harus diwaspadai karena berpotensi merugikan,” ungkap Ketua Umum Amphuri saat itu, Joko Asmoro.[]
Editor: Fuadi Mardhatillah
Komentar