UGP Aceh Tengah Milik Masyarakat Bukan Warisan Keluarga

Mustaqim (Foto: Dok. Mustaqim)
Penulis:

Oleh: Mustaqim*

Kehadiran kampus sebagai wadah untuk mendapatkan, mengembangkan dan meningkatkan kapasitas keilmuan seseorang. Beberapa hari ini, Kampus Universitas Gajah Putih di Aceh Tengah sedang tidak baik-baik saja.

Kampus tersebut didera masalah serius pada internalnya sehingga berefek terhadap proses belajar mahasiswa. Dalam kasus ini, Rektor dan Wakil Rektor UGD sepenuhnya dipecat oleh Yayasan UGP lantaran tidak dapat menyelesaikan persoalan dalam mengelola yayasan. Padahal kampus tersebut hadir sebagai salah satu upaya untuk memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakat dataran Tinggi Gayo.

Terlepas dari itu, penulis ingin mengupas sekilas bagaiman sebenarnya sejarah hadirnya UGP di tengah-tengah masyarakat Aceh Tengah. Pada 1984 seluruh lapisan masyarakat Aceh Tengah menyampaikan aspirasinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Aceh Tengah untuk mendirikan Universitas Gajah Putih di kabupaten itu.

Maka dengan demikian melalui keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Aceh Tengah mengeluarkan Keputusan dengan nomor. 421.4/06/1984 tanggal 28 Juli 1984 Tentang pendirian perguruan tinggi di Takengon melalui keputusan bupati Nomor 19/1984 tanggal 16 November 1984 tentang pembentukan Panitia Pendirian Universitas di Takengon.

Pendirian kampus kebanggan itupun melibatkan delapan personil sehingga dapat berdiri di tengah-tengah lapisan masyarakat Aceh Tengah. Kedelapan tokoh tersebut adalah Drs. Mahmud Ibrahim, Drs Samarnawan, Drs. Mustafa Ali, Drs. Arifin Mr Bantacut, Haroen Ug, Drs Muhammad Syarif, Jafar Ismail dan Drs. M.Yusuf Rawakil.
           
Dalam hal tersebut dengan langkah awal panitia melalui Akta Notaris Hj. Zahara Pohan. SH. (Akta Notaris nomor 37 tanggal 25 Februari 1986) yang kemudian di sempurnakan melalui akta notaris Usni Usman Husin SH Banda Aceh (Akta Notaris nomor 115 tanggal 24 Juli 1990) yang selanjutnya disesuaikan dengan UU nomor 16 tahun 2001 dengan akta notaris Cendri Nafis Mariesta SH, akta notaris nomor 87 tanggal 28 April 2010 dan telah mendapatkan pengesahan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KemenHum Dan HAM RI) nomor AHU: 116. AH.01.04 Tahun 2011 tanggal 10 Januari 2011. 

Akar masalah yang sebenarnya adalah Yayasan Gajah Putih dan berimplikasi ke UGP adalah adanya perubahan Dewan Pembina yang dilakukan oleh Almarhum Samarnawan, Mustafa Ali dan Vimartian Sagara Tarigan, pada Notaris Cendri Nefis, tertanggal 20 Februari 2019. Kemudian mengganti Pembina yang lama menjadi Pembina yang baru, notabene anak-anak pendiri yaitu Drs. Mustafa Ali, Eliyin, M. Hut, Dr. Abdiansyah Linge, anak dari Mahmud Ibrahim, kemudian Fitra Gunawan anak dari Samarnawan, dan King Rawana Saputra anak dari Syarif. 
 
Dalam regulasi Dikti, tidak diperbolehkan yayasan menjadi pejabat struktural kampus, dosen dan staf kampus, faktanya Eliyin dalam akte perubahan Pembina Yayasan masuk sebagai anggota pembina yang juga merupakan Rektor UGP. Ini sudah sangat menyalahi aturan Undang-undang yayasan dan Undang-undang Perguruan Tinggi. 
 
Dari Struktur yayasan yang ada, memang ada unsur sengaja bahwa adanya usaha untuk menghilangkan sejarah Yayasan Gajah Putih yang murni dibangun oleh Pemda dan DPRD Tingkat II Aceh Tengah pada tahun 1984. 

Di dalam Akte terbaru tidak lagi terdapat unsur pemda di dalamnya, sehingga terlihat ada kesan bahwa para panitia pendirian perguruan tinggi yang dibentuk oleh DPRD dan Pemda tingkat II dihilangkan oleh oknum pendiri itu sendiri.

Mereka lupa bahwa pada saat mereka menjadi panitia penyelenggara pendirian Perguruan Tinggi di Kabupaten Aceh Tengah adalah selaku pejabat di daerah, akibat jabatan itupun mereka masuk kedalam panitia pendirian perguruan tinggi.  
 
Terlihat juga kondisi yang saat ini terjadi di tubuh UGP memiliki dua Rektor diakibatkan karena adanya dua kubu di tubuh Yayasan Gajah Putih. Ada pengurus yayasan yang memberhentikan Aliyin, M. Hut sebagai Rektor dan mengangkat Dr. Adnan sebagai Rektor Baru. Faktanya sampai hari ini Aliyin, M. Hut masih menganggab dirinya sebagai Rektor. Disisi lain Mustafa Ali menganggap belum pernah memberikan mandat kepada Abdiansyiah Linge sebagai Ketua Pengurus Yayasan. 
          
Beredar surat penetapan Pembina Yayasan Baru lagi dengan memasukkan semua anak-anak pendiri tanpa melibatkan Pemda sebagai Pemilik Yayasan yang sah. Dari Akte awal diselenggarakan oleh pemda dan pembangunannya pun menggunakan dana Pemerintah Daerah Aceh Tengah.

Padahal rapat yang diselenggarakan oleh Pj Bupati, tertanggal 5 November 2023 di Pendopo Bupati dihadiri oleh dua mantan Bupati Aceh Tengah, Nasruddin dan Sabella Abubakar disepakati bahwa ada tujuh orang dari Pemda dan lima orang dari pengurus lama yang akan duduk di kampus tersebut.

Kepengurusan Yayasan Universtas Gajah Putih yang baru, dengan mengisi Struktur Yayasan terdiri dari "Pembina, Pengawas Dan Pengurus Yayasan". Rapat ini ingin mengembalikan keberadaan yayasan yaitu milik masyarakat bukan milik perorangan/kelompok apalagi menjadi hak milik pribadi maupun warisan. 
       
Maka dari sejarah Universitas UGP sudah jelas bahwa Universitas itu adalah milik rakyat Aceh Tengah bukan milik para panitia dan diwariskan. Berdasarkan regulasi yang sudah disampaikan, sudah seharusnya setelah terbentuknya perguruan tinggi di wilayah tengah di kembalikan ke masyarakat, yang di wakilkan oleh DPRK dan Bupati, sehingga kedua lembaga itu membentuk kembali siapa dan mengapa yayasan di isi oleh orang-orang yang di tunjuk oleh Pemda. 
         
Sampai hari ini UGP belum juga dikembalikan oleh panitia yang ditunjuk kepada Pemda, dan wajar saja UGP sampai sekarang di Klem oleh dimiliki oleh panitia pendiri dan anak-anak almarhum panitia pendirian perguruan tinggi di Simpang Kelaping, Pegasing itu.
          
Pemda harus mengambil alih UGP untuk sementara dan menunjuk yayasan yang baru dengan tidak melibatkan lagi panitia dan anak-anak almarhum selaku panitia Pendiri UGP agar tidak terkesan UGP sebagai harta yang di tinggalkan oleh panitia-panitia pendiri UGP tersebut.
          
Karena akar masalah yang terjadi di tubuh Universitas Gajah Putih takengon ada di yayasan sebenarnya yang selalau mengobok2 universitas maka dari itu sudah saatnya Pemda Aceh Tengah harus turun tangan secepatnya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di UGP. Hal ini agar mahasiswa tidak menjadi korban atas kebringasan nafsu dari oknum-oknum yang tidak beranggungjawab.

Masyarakat hari ini menganggap Pemda Aceh Tengah tidak peduli dengan pendidikan tengah Aceh itu. Artinya ketidakpedulian pemda terlihat ketika pendidikan sudah dipolitisi oleh orang- orang yang merasa UGP adalah warisan yang di tinggalkan oleh almarhum-almarhum panitia pendiri UGP. Ini tentu tidak fare bukan.

Melalui tulisan ini, semoga Pemkab Aceh Tengah dapat menindaklanjuti permasalahan ini sehingga UGP dapat melahirkan regenerasi yang baik, bijak serta melaksanakan pembelajaran dengan aman, nyaman dan tenang.[]

*Penulis merupakan alumni Universitas Gajah Putih (UGP) Takengon, Aceh Tengah.