Urgensi Melakukan Revitalisasi Bahasa Gayo

Waktu Baca 10 Menit

Urgensi Melakukan Revitalisasi Bahasa Gayo
Turham AG, S.Ag.,M.Pd (Foto for Readers.id)

Oleh: Turham AG, S.Ag.,M.Pd*

Sebagaimana dimaklumni bahwa bahasa Gayo adalah alat pemersatu dan sebagai media komunikasi dalam berinteraksi antara sesama masyarakat Gayo sehari-hari, disamping itu bahasa Gayo merupakan bagian dari bahasa Melayu Tua (Polinesia) di Nusantara yang tergolong ke dalam kelompok bahasa Austronesia. Bahasa Gayo juga sebagai aset tak benda dan khazanah Cultur Local wisdom Gayo serta bangsa Indonesia.

Penutur bahasa Gayo tersebar di beberapa daerah yang dikategorikan ke dalam 5 kelompok yaitu, Gayo Lut, mendiami sebahagian Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Gayo Deret menempati daerah Isaq Linge dan sekitarnya (sebahagian daerah Kabupaten Aceh Tengah). Gayo Lukup/Serbejadi yang berdomisili di Kabupaten Aceh Timur. Gayo Kalul di Kabupaten Aceh Tamiang dan Gayo Blang menempati Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara.

Keberadaan bahasa Gayo seiring dengan adanya orang (urang) Gayo sejak 7500 tahun yang lalu, namun tanpa disadari penuturan bahasa Gayo dalam masyarakat sampai saat ini terus mengalami penurunan, sehingga bahasa Gayo telah memasuki kategori rentan/terancam kepunahan.

Berdasarkan hasil pemetaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, tetapi menurut Berlianty dan Balik (2018) dalam Ethnoloque disebutkan bahwa terdapat 726 bahasa di Indonesia dan lebih dari 640 di antaranya adalah bahasa daerah masih akan berkembang, tetapi tidak dapat diingkari sebagian besar bahasa daerah itu akan punah yaitu sekitar 154 bahasa yang harus mendapat perhatian, sekitar 139 bahasa daerah terancam punah termasuk bahasa Gayo di dalamnya, bahkan terdapat 15 bahasa daerah yang benar-benar telah mati.

Penyebab rentan/terancamnya bahasa Gayo kedalam kategori kepunahan disebabkan sembilan faktor: (1) Sikap penutur bahasa Gayo terhadap penggunaan bahasa sendiri. (2) Adanya migrasi atau mobilitas sosial yang tinggi menyebabkan interaksi tidak lagi menggunakan bahasa Gayo. (3) Urbanisasi yang menyebabkan interaksi tidak menggunakan bahasa Gayo. (4) Terjadinya perkawinan dengan pasangan yang berbeda bahasa, sehingga komunikasi dalam keluarga tidak lagi menggunakan bahasa Gayo. (5) Terjadinya bencana atau musibah yang menyebabkan berkurangnya penutur bahasa Gayo. (6) Para orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa Gayo kepada anak-anak. (7) Di rumah tidak lagi menggunakan bahasa Gayo dalam komunikasi. (8) Sebagian masyarakat tutur tidak lagi menggunakannya dalam ranah komunikasi sehari-hari. (9) Tekanan suatu bahasa mayoritas dalam masyarakat tutur multilingual

Dari beberapa faktor tersebut, sikap penutur bahasa Gayo menjadi penyumbang terkuat terhadap kepunahan bahasa Gayo. Ketika para penutur bahasa Gayo melihat bahasa Gayo tidak lagi fungsional, kurang bergengsi, tidak keren, atau bahkan kampungan, keadaan dan cara pandang demikian menjadi pintu gerbang pertama bagi bahasa Gayo untuk memasuki keranda kematian.

Gejala yang akan menyebabkan kepunahan bahasa pada masa depan adalah (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa ibu, (5) penutur generasi terakhir tak cakap lagi menggunakan bahasa ibu (penguasaan pasif, understanding without speaking), dan (6) contoh-contoh mengenai semakin punahnya dialek-dialek satu bahasa, keterancaman bahasa Kreol dan bahasa sandi (Grimes 2000).

Mengingat bahasa Gayo telah berada pada situasi rentan atau terancam punah karena gejala-gejala di atas sudah terjadi pada masyarakat Gayo saat ini, maka perlu merawat dan melalukan revitalisasi terhadap bahasa Gayo melalui kegiatan-kegiatan, festival dan pelatihan tentang adat dan budaya Gayo serta bahasa dan sastra Gayo kepada peserta didik di sekolah/madrasah, dan kalangan masyarakat termasuk pemangku adat dan komunitas penutur maupun dan pihak-pihak terkait lainnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revitalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa revitalisasi adalah suatu proses atau cara yang dilakukan guna menggiatkan kembali program yang belum maksimal.

Revitalisasi bahasa Gayo dimaksudkan sebagai langkah untuk pelindungan adat dan budaya Gayo dengan (1) menjaga keaslian bahasa dan sastra Gayo agar tetap hidup; (2) mendapatkan kembali hubungan bahasa dan sastra Gayo dengan cara-cara penutur mempertahankannya; (3) membangun kembali tradisi komunitas bahasa dan sastra Gayo; (4) menemukan fungsi baru dari bahasa dan sastra Gayo; dan (5) menghadirkan generasi baru dari penutur bahasa dan sastra Gayo.

Upaya revitalisasi dimaksudkan sebagai langkah untuk merawat, melestarikan dan menghidupkan kembali hasrat dan minat penutur bahasa Gayo untuk menggunakan bahasa Gayo dalam kehidupan sehari-hari, membangun kesadaran masyarakat Gayo agar terus mempelajari, menuturkan dan mengajarkan bahasa Gayo kepada generasi muda terutama dalam keluarga dan lingkungan pendidikan. 

Sebagai masyarakat Gayo, harus merasa malu dan berterima kasih kepada Balai Bahasa Nasional dan Provinsi Aceh yang telah membangunkan dan memprakarsai masyarakat sebagai penutur asli bahasa Gayo agar menyadari dan lebih peduli terhadap bahasa Gayo. Bahkan, untuk memperkuat upaya ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meluncurkan Merdeka Belajar Episode Ke-17 yang bertajuk Revitalisasi Bahasa Daerah.

Adapun landasan hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan kegiatan revitalisasi bahasa Gayo adalah sebagai berikut.

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4301).

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109).

3. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 157).

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.

5. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2015 tentang Rincian Tugas Unit Kerja di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Bahasa di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

7. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Rincian Tugas Balai Bahasa.

8. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2016 Rincian Tugas Kantor Bahasa.

9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 11 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019.

11. Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka sesuai Peraturan Mendikbud No. 3 Tahun 2020, memberikan hak kepada mahasiswa untuk 3 semester belajar di luar program studinya.

12. Instruksi Pj. Bupati Bener Meriah No. 1 Tahun 2023 tanggal 05 Januari 2023 tentang Pemakaian Baju Kerawang Gayo dan Pelestarian Bahasa Gayo dalam Kabupaten Bener Meriah.

*Penulis merupakan Maestro Bahasa Gayo/Dosen IAIN Takengon, Aceh Tengah

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...