Walhi Sorot Kinerja TFCA, Kasus Konflik Satwa Masih Tinggi di Aceh

Kinerja lembaga konsorsium Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) mendapat sorotan di Aceh. Anggaran yang besar digelontorkan, namun konflik dan kematian satwa terus meningkat di Tanah Rencong selama lima tahun terakhir.
Berdasarkan data yang dirilis Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada 16 Januari 2020, konflik gajah selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada 2015 lalu, konflik terjadi 39 kali, lalu meningkat menjadi 44 kasus pada 2016.
Pada 2017 konflik gajah di Aceh mengalami peningkatan tajam menjadi 103 kasus. Kendati pada 2018 ada terjadi penurunan yaitu 73 kasus. Tetapi mirisnya pada 2019 konflik gajah di Aceh mengalami peningkatan tajam menjadi 107 kasus.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menyorot kinerja lembaga konsorsium TFCA-Sumatera dalam mengelola anggaran Rp 160 miliar untuk perlindungan satwa di Aceh.
Lanjutnya, meskipun anggaran yang besar dikelola oleh konsorsium, kasus konflik dan kematian satwa terus terjadi, padahal anggaran yang dihabiskan tidak sedikit.
Muhammad Nur menuturkan sejak 2012 hingga 2021 anggaran yang digelontorkan oleh TFCA-Sumatera yang pengelolaan dilakukan oleh 12 lembaga konsorsium mencapai Rp 160 miliar lebih. Jika dibagi per tahun sekitar Rp 17,7 miliar.
“Fakta di lapangan, kerusakan hutan, kematian satwa, konflik, dan perburuan terhadap satwa lindung terus terjadi. Dampak perlindungan tidak sebanding dengan anggaran yang dihabiskan,” kata Muhammad Nur melalui siaran pers.
Muhammad Nur menyebutkan, hasil pemantauan Walhi Aceh sejak 2016-2021 sekitar 46 individu gajah mati, sebagian besar karena konflik dan sisanya karena perburuan dan kematian alami. Kasus perdagangan kulit harimau juga terjadi. Konflik gajah juga masih masif terjadi.
Berdasarkan data BKSDA Aceh, 74 persen kematian gajah di Aceh akibat konflik, 14 persen perburuan dan hanya 12 persen kematian secara alami. Sedangkan populasi yang tersisa saat ini lebih kurang 539 ekor.
“Artinya uang besar yang dihamburkan TFCA tidak menyelesaikan persoalan konflik satwa-manusia,” kata Nur.
Konflik gajah bukan hanya berdampak pada keberlangsungan hidup satwa, namun juga memberikan dampak kerugian ekonomi pada warga. “Namun, warga yang terdampak tidak pernah diberi ganti rugi dan minim dilibatkan. Mereka hanya jadi objek atas program perlindungan satwa,” kata Nur.
Muhammad Nur mengatakan semestinya dengan anggaran sebesar itu warga yang berada di kawasan hutan dapat dilibatkan penuh sebagai komunitas perlindungan satwa digaris utama.
Program aksi nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera merupakan satu skema pengalihan utang untuk lingkungan (debt-for-nature swap) oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan Pemerintah Indonesia yang ditujukan untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera.
Kesepakatan antara kedua negara dan para pihak yang terlibat (Yayasan KEHATI dan Conservation International Indonesia) ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2009 bertempat di Manggala Wanabhakti, Jakarta.
Di Aceh anggaran program TFCA-Sumatera dikelola oleh konsorsium yakni Konsorsium Orangutan Information Center, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Konsorsium Jantho Lestari, Konsorsium Suar Galang Keadilan, CRU Aceh, Forum Konservasi Leuser, Yayasan Leuser International (YLI), Yayasan Orangutan Sumatra Lestari (YOSL), North Sumatra Rhino Consorsium, dan Veterinary Society For Sumatra Wildlife (Vesswic), dan Konsorsium Haka.[acl]
Komentar