Aceh Masih Minim Rumah Aman Untuk Korban Kekerasan

Aliansi Jurnallis Indonesia (AJI) Kota Banda Aceh bekerja sama dengan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), Flower Aceh, dan UPTD PPA mengadakan diskusi terkait hak asasi manusia (HAM) dan kekerasan, pada Jumat (10/12/2021).
Mengusung tema 'Pemulihan HAM dan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak', kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, digelar di Sekretariat AJI Kota Banda Aceh.
Adapun pembicara dalam diskusi ini, yakni Lilis Suryani (Paralegal komunitas di Aceh Besar), Fackhraniah (Paralegal komunitas dari kelompok muda di Aceh Utara), Rasyidah (Penyintas korban konflik di Banda Aceh), dan Ernawati (Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Flower Aceh).
Dengan penanggap masing-masing, Irmayani Ibrahim (UPTD PPA) dan Mawaddatul Husna (AJI Kota Banda Aceh).
"Sekarang anak-anak saja sudah sadar kekerasan. Kalau perempuan sekarang dia sendiri yang bercerita, lebih terbuka. Kami diminta pendampingan, ditelepon," papar Lili Suryani dalam diskusi.
Selanjutnya, Huzaimah dari Paralegal komunitas di Aceh Utara mengungkapkan, pada masa pandemi kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat.
Sementara pelakunya merupakan orang-orang terdekat korban mulai dari ayah tiri, adik atau abang hingga tetangga korban.
Dikatakan, di Aceh Utara belum tersedia rumah aman untuk korban dan belum ada psikolog khusus korban. Sehingga, pihaknya mencari konselor dengan dana sendiri.
Terkait layanan hukum diakuinya, sudah lumayan bagus lewat kerjasama dengan pihak rumah sakit, polisi, dan dinas terkait.
"Tidak ada biaya visum untuk korban tidak mampu. Namun, di kampung sudah banyak melapor karena mereka sudah paham. Dinas Sosial dan PPA sudah melakukan advokasi ke gampong dan sudah teranggarkan," bebernya.
Penyintas konflik di Banda Aceh, Rasidah atau yang akrab disapa Mami, menceritakan pengalamannya menjadi korban konflik dan korban tsunami.
Hingga akhirnya, menjadi pegiat kekerasan terhadap perempuan dan anak serta tantangan yang dihadapinya di lapangan.
"Kesadaran masyarakat sudah tumbuh. Setiap kabupatan dan kota sudah didukung paralegal. Banyak kejadian di level gampong. Tuha Peut perempuan, kalau kita cek data kurang sekali. Padahal ketika ada kasus tengah malam, sudah trauma sama laki-laki cerita sama laki-laki, kan nggak nyaman," imbuh Ernawati dari Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Flower Aceh.
Dikatakan, perlindungan terhadap paralegal penting karena pihaknya harus jaga diri dan keluarga.
Praktik di Aceh Utara bisa diadopsi oleh kota dan kabupaten lain dengan memasukkan anggaran advokasi kekerasan terhadap perempuan dan anak ke dana desa.
Disebutkan pula, Aceh penyumbang kematian ibu dan anak peringkat kelima di Indonesia.
Sementara di kebanyakan kota dan kabupaten di Aceh tidak melibatkan perempuan dalam Musrembang, sehingga alokasi anggaran tidak pro perempuan.
"Rumah aman baru ada di Banda Aceh. Walaupun di Aceh syariat Islam, tapi kondisinya sudah darurat," tegas Erna.[mu]
Komentar