Akademisi: Pemerataan Ekonomi di Aceh Tak Dilakukan Dengan Baik

Waktu Baca 4 Menit

Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK), Amri, menyebutkan pemerataan ekonomi di Aceh tidak dilakukan dengan baik. Hal demikian dapat dilihat dari keberadaan APBA, yang mana Provinsi Aceh masuk katagori 5 terbesar dari 34 Provinsi di Indonesia pada tahun 2020 lalu. Namun kenyataannya, hingga kini provinsi Aceh terus terpuruk dalam kemiskinan.

“Anggaran yang dimiliki Aceh banyak sekali, tapi pemerataan ekonomi tidak dilakukan dengan baik. Aceh seperti auto pilot, karena kemiskinan dan kesejateraan masyarakat Aceh tidak berdampak dengan adanya pemerintah Aceh," kata Amri dalam dalam sebuah dialog publik interaktif di Banda Aceh, Kamis (29/4/2021).

Menurut Amri, pemerataan ekonomi Aceh yang tidak baik ini disebabkan oleh lemahnya dorongan dari Gubernur, ditambah tidak adanya Wakil Gubernur yang bertugas mengawasi.

"Lebih menyakitkan lagi Wagub juga tidak ada, fungsi wagub sebagai pengawas sebenarnya sangat penting bagi Aceh," Ujar Amri yang

Dosen Fakultas Ekonomi USK itu juga mengatakan, Gubernur Aceh harus mengakui data BPS, karena data dari BPS juga dipakai oleh kementerian. Tidak ada khilafiyah dengan kemiskinan Aceh, sudah valid dan sudah jelas alat ukurnya.

"Yang perlu diperbaiki adalah kebijakan Nova Iriansyah, perencanaan, dan manajemen anggaran di Aceh harus tepat sasaran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat," tutur Amri.

Selain itu, kata Amri, untuk mengatasi kemiskinan harus adanya iktikat baik dari Gubernur Aceh. Jika pemerintah tidak memiliki iktikad baik mengurasi kemiskinan, maka apapun yang dilakukan oleh elemen lain tidak akan berdampak apa-apa.

Amri menambahkan, Gubernur Aceh dalam mengatasi kemiskinan harus memiliki keyakinan yang baik. Selain itu, manajemen dan kepemimpinan yang kuat menjadi indikator penting supaya masyarakat Aceh dapat keluar dari kemiskinan.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Akademisi Universitas Muhammadiyah, Taufik Abdul Rahim menyorot penyebab kemiskinan Aceh, salah satunya disebabkan belanja operasional APBA yang sangat besar untuk kepentingan birokrasi ketimbang masyarakat Aceh.

“Gubernur Aceh telah melakukan kesalahan kebijakan yang fatal, karena dengan dana APBA yang terbesar ke 5 di Indonesia tapi rakyatnya menjadi termiskin nomor 6 nasional," kata Taufik.

"Sudah seharusnya Gubernur Nova Iriansyah membangun Aceh dengan serius berdasarkan indikator-indikator pembangunan yang dapat mereduksi kemiskinan," tambahnya.

Taufik menilai, Gubernur Aceh dan pimpinan DPRA tidak bekerja secara maksimal untuk membangun Aceh. Selain anggaran belanja pegawai tinggi, juga cenderung APBA Aceh hanya di kuasai elit. Buktinya serapan anggaran APBA 2021 masih tarik ulur.

Taufik merincikan, sejumlah program yang disusun pada awal Irwandi-Nova hampir tidak dilakukan oleh Gubernur sekarang. Seperti pembangunan 6000  rumah dhuafa dan program pro kesejahteraan lainnnya. Di mana dari program Aceh Hebat telah beralih menjadi program Aceh Bereh yang tidak tertuang dalam RPJM.

“Kepemimpinan Gubernur, DPRA dan birokrasi di Aceh saat ini kompetensinya sangat rendah dibanding dengan anggaran yang mereka kelola. Ini menjadi sulit untuk keluar dari kemiskinan Aceh," ujar Taufik.

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...