Isra’ Mi’raj dalam Perspektif Teologi

Oleh: Husaini Algayoni*
Isra’ dan Mi’raj peristiwa tidak masuk akal atau benarkah peristiwa tersebut benar-benar terjadi seperti yang diyakini oleh umat Islam, bagaimana mungkin Nabi Muhammad naik ke langit hanya ditempuh dalam rentang waktu satu malam kemudian kembali lagi ke bumi pada malam itu juga.
Argumen-argumen tersebut merupakan argumen orientalis yang meragukan adanya peristiwa penting dan bersejarah ini.
Ada dua upacara keagamaan yang selalu dirayakan oleh umat Islam, peringatan Maulid Nabi Muhammad saw (Kelahiran Nabi Muhammad) dan Isra’ Mi’raj (Perjalanan Nabi Muhammad pada malam hari dari Masjidil Haram, Makkah ke Masjid Aqsha, Baitulmaqdis, kemudian naik ke langit dan kembali ke Makkah pada malam itu juga).
Peristiwa bersejarah ini para ulama berbeda pendapat kapan terjadinya Isra’ Mi’raj, namun pendapat yang banyak diyakini oleh umat Islam ialah pada 27 Rajab tahun ke-10 pasca diutusnya Nabi Muhammad untuk rahmat bagi semesta alam. Untuk tahun 2024 M yang bertepatan dengan 27 Rajab 1445 H maka peringatan Isra’ Mi’raj jatuh pada 8 Februari 2024.
Upacara keagamaan ini merupakan peristiwa penting dan mempunyai kedudukan istimewa bagi kalangan umat Islam karena dalam peristiwa ini banyak intisari, hikmah dan kesan-kesan yang dapat diambil dari Rasulullah kemudian dapat diimplementasikan dalam kehidupan umat Islam sehari-hari.
Dari dua upacara keagamaan di atas, penulis akan menguraikan secara singkat peristiwa Isra’ Mi’raj secara ringkas dari sudut pandang teologi Islam untuk menjawab argumen-argumen orientalis yang meragukan adanya peristiwa bersejarah yang telah diabadikan dalam Q.S Al-Isra’ ayat 1:
“Maha Suci Allah yang telah menjalankan hambanya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Rasulullah melakukan perjalanan malam (Isra’) bertolak dari Masjid Haram menuju Masjid Aqsha berkendaraan dengan buraq yang kecepatannnya seperti kilat dan dalam perjalanan tersebut dituntun oleh Jibril melalui lautan pasir yang luas. Lalu Rasulullah melakukan Mi’raj yang bertitik tolak dari Masjid Aqsha menuju Sidrat al-Muntaha.
Penjelasan pemikir Islam Nurchalis Madjid dalam tulisannya “Pendekatan sejarah dalam memahami Isra’-Mi’raj” menerangkan bagaimana dapat terjadi bahwa Nabi Muhammad bertemu dengan para Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Isa as bahkan tentang bagaimana seluruh peristiwa perjalanan suci Isra’ dan Mi’raj itu terjadi, tentulah merupakan rahasia Allah, menjadi bagian dari perkara gaib yang kita harus beriman kepadanya.
Sementara itu, para ahli tafsir menuturkan tentang adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, apakah Nabi Muhammad mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj itu secara ruhani-jasmani ataukah ruhani. Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa Nabi Muhammad melakukan perjalanan suci itu secara ruhani-jasmani sekaligus.
Tetapi ada beberapa riwayat, seperti Aisyah, Muawiyah dan al-Hasan (ibn Ali ibn Abi Thalib), sebagaimana dikutip oleh al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya, al-Kasysyaf bahwa Isra’ Mi’raj itu dialami nabi secara ruhani saja.
Demikian penjelasan Nurchalis Madjid seorang pemikir Islam dari Indonesia yang banyak memberikan kontribusi terhadap peradaban kemajuan Islam khususnya di Indonesia.
Membaca kisah perjalanan Isra’ dan Mi’raj berada diluar nalar manusia dan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal bahkan sudah melampaui batas-batas hukum alam materi, terlepas apakah Rasulullah berjalan dengan ruhani-jasmani sekaligus atau hanya dengan ruhaninya saja.
Untuk menjawab argumen tersebut, perlulah menjelaskannya secara jelas agar tidak terjadi keraguan sehingga umat Islam tetap meyakini bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi pada Nabi Muhammad.
Nah, untuk meyakinkan peristiwa tersebut; penulis mengambil dari sudut pandang teologi Islam dalam menjelaskan peristiwa luar biasa ini.
Dalam teologi Islam, khususnya dalam aliran Asy’ariah atau dikenal dengan Ahlussunnah wal Jama’ah; yang mana aliran ini adalah aliran resmi yang dianut oleh umat Islam di Indonesia dan khususnya di Aceh.
Dalam doktrin Asy’ariah bahwa Allah mempunyai kemutlakan kekuasaan dan kehendak, karena itu; Allah bisa berbuat apa saja sesuai dengan kehendak-Nya walaupun peristiwa tersebut tidak masuk akal bagi nalar manusia.
Harun Nasution dalam bukunya Teologi Islam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al-Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun; di atas Tuhan tidak ada suatu dzat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan.
Tuhan bersifat absolut, Tuhan adalah Maha Pemilik yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Yaitu, sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Kemudian dengan adanya peristiwa Isra’ Mi’raj ini Allah memperlihatkan kepada Rasulnya apa yang dikehendaki-Nya dari tanda-tanda kekuasannya. “Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.”
Demikian sekilas penjelasan peristiwa Isra’ Mi’raj dari sudut pandang teologi Islam bahwasanya hal-hal yang tidak masuk akal dalam nalar manusia bisa saja terjadi jika Allah menghendaki terjadi untuk menunjukkan dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah.
Oleh karena itu ketika mempunyai keyakinan/iman yang kuat serta mendalami ajaran Islam maka tidak ada keraguan lagi terhadap isi kitab suci Alquran yang merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh umat Islam.
Selain itu juga sudah semestinya kita memperingati sejarah kehidupan Rasulullah melalui Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj dan mengambil hikmah serta teladan dari apa yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad.
*Penulis, Alumni Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Komentar