Janji Palsu Ratusan Perusahaan Plastik Mendaur Ulang

Waktu Baca 5 Menit

Janji Palsu Ratusan Perusahaan Plastik Mendaur Ulang
Hotli Simanjuntak | readers.ID

Gerakan global Break Free From Plastic (BFFP) telah melacak dan menganalisis proyek-proyek yang diklaim oleh tujuh perusahaan teratas Fast Moving Consumer Goods (FMCGs) dan delapan aliansi sebagai bagian dari tanggapan mereka terhadap polusi plastik.

Perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi plastik tersebut sebelumnya mengklaim telah melakukan berbagai 'solusi' dalam penanganan plastik, namun nyatanya malah berpolusi. Mereka tidak banyak membantu mengatasi krisis polusi plastik.

Laporan Missing the Mark: Unveiling Corporate False Solutions to the Plastic Pollution Crisis mengkategorikan 265 proyek perusahaan untuk menentukan seberapa besar fokus perusahaan terhadap solusi seperti penggunaan ulang, daripada solusi palsu.

Hotli Simanjuntak | readers.ID

Dari total 265 proyek yang berjalan sejak 2018 hingga April 2021, hanya 39 yang fokus pada penggunaan ulang. Sementara, 226 proyek ditetapkan sebagai solusi palsu untuk krisis polusi plastik.

Hal ini seperti yang didefinisikan oleh para ahli dari gerakan BFFP. Laporan tersebut menganalisis inisiatif Procter & Gamble, PepsiCo, Mars, Inc, Mondelez International, Nestlé, Unilever, dan Coca Cola Company, sebagai pencemar teratas yang konsisten dalam brand audit global yang dilakukan oleh BFFP.

“Perusahaan-perusahaan penghasil polusi terbesar di dunia mengklaim telah menangani polusi plastik, namun nyatanya hal tersebut tidak terbukti dari hasil brand audit. Perusahaan-perusahaan ini menggunakan solusi palsu yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang paling parah dengan angan-angan sederhana dan klaim solusi terbaik," kata Koordinator Kampanye Korporat Break Free From Plastic, Emma Priestland, Selasa (22/6/2021) melalui siaran pers diterima readers.ID.

Kata Emma, faktanya hanya 15 persen dari proyek yang menerapkan solusi sesungguhnya, seperti penggunaan ulang, isi ulang, dan sistem pengiriman alternatif. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan ini berinvestasi dalam proyek-proyek yang tidak banyak membantu mengatasi plastik sekali pakai.

Laporan tersebut memberi peringkat perusahaan dari yang buruk hingga yang sangat buruk. Ditemukan bahwa Procter & Gamble menempati posisi paling atas terburuk dalam mengatasi polusi plastik, sedangkan posisi Unilever berada paling bawah.

Meskipun berada dalam urutan terbawah, hal tersebut tidak mengubah kinerja Unilever yang masih buruk dalam mengatasi pencemaran plastik.

Sementara itu, pemimpin Proyek Global Greenpeace USA Graham Forbes mengatakan laporan ini juga menunjukkan adanya perusahan-perusahan lain dari merek besar yang gagal memprioritaskan penggunaan ulang dan pengurangan kemasan sekali pakai.

Hal ini terbukti jelas bahwa alternatif berbasis penggunaan ulang sangat penting bagi perusahaan-perusahaan ini agar bisa tetap bertahan di masa depan yang aman terhadap iklim dan mengakhiri kontribusi mereka terhadap krisis polusi plastik.

“Alih-alih bekerja dengan industri bahan bakar fosil untuk mempromosikan solusi palsu, perusahaan-perusahaan ini harus mengakhiri ketergantungan mereka pada plastik sekali pakai dan meningkatkan sistem penggunaan kembali secara global,” ucap Graham Forbes.

Senada dengan Graham Forbes, Co-Founder Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati juga mengatakan telah banyak melihat solusi palsu yang dijajakan oleh perusahaan-perusahaan ini dan aliansi mereka.

Daur ulang bahan kimia, sebutnya, telah menciptakan limbah beracun baru seperti plastik menjadi bahan bakar atau Refuse Derived Fuel (RDF) yang bertentangan dengan ekonomi sirkular. Plastic Offset menjengkelkan karena gagal menjawab krisis plastik.

"Jenis inisiatif ini menunjukkan kurangnya ambisi dan prioritas metode penyampaian produk alternatif,” papar Yuyun yang juga anggota panel ahli dari Indonesia dalam menganalisis inisiatif perusahaan.

Lebih lanjut, Yuyun mengungkapkan banyak perusahaan multinasional di Asia yang memiliki lebih dari cukup sumber daya untuk berinvestasi dalam sistem delivery baru, dengan sistem guna ulang, isi ulang, dan desain ulang.

“Solusi ini akan memungkinkan pengurangan drastis dalam penggunaan plastik sekali pakai. Mereka harus mengubah cara berbisnis dan menghentikan greenwashing,” pungkasnya.[acl]

Pilihan Redaksi:

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...