Keubitbit, Modalitas Jazz-Etnik dan Pertaruhannya

Waktu Baca 13 Menit

Keubitbit, Modalitas Jazz-Etnik dan Pertaruhannya
Keubitbit. [Dok. Ist]

“Ada acara kolosal minggu depan. Lagi tahap mixing dan mastering bang,” ucapnya kepada readers.ID melalui sambungan telepon seluler, pada Selasa (9/3/2021).

Pria itu adalah Safrullah, pentolan Keubitbit. Grup band bernuansa etnik Aceh yang kini tengah malang melintang di blantika musik Indonesia.

Selaku pegiat seni, pria yang akrab disapa Aloel itu belakangan memang tampak sibuk, sejak ia menetap di Jakarta. Selain fokus dengan Keubitbit, Aloel juga sedang menggarap penampilan kolosal seni Ratoh Jaroe yang akan ditampilkan secara virtual pada 21 Maret 2021 mendatang.

Tak heran jika beberapa kali jadwal wawancara dengannya terpaksa digeser. Aloel terus menghabiskan waktunya di studio, menggarap sejumlah instrumen pengiring.

Readers.ID baru dapat berbincang dengannya pada Selasa malam, pukul 19.30 WIB, setelah Aloel selesai dari rutinitasnya.

***

Bertepatan dengan Hari Musik Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Maret, readers.ID memilih ulasan khusus tentang perjalanan Keubitbit. Tentunya bukan tanpa sebab.

Kelompok band etnik Aceh ini berhasil meraih prestasi yang tidak tanggung-tanggung di jagat musik nasional. Mereka diganjar nominasi Karya Produksi World Music Terbaik dalam Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2020 di Jakarta beberapa waktu lalu, lewat lagu berjudul ‘Saban Sabee’.

Kepada readers.ID, Aloel blak-blakan soal jalannya yang cukup terjal selama bermusik, semisal inovasinya memadukan aliran jazz dan etnik Aceh yang semula diremehkan di kanan-kiri. Namun proses pendewasaan membantunya tetap kukuh dan percaya, bahwa karya yang dihasilkan dari hati, lambat laun akan menemukan momentumnya di ruang publik.

Capaian Keubitbit di AMI Award --yang merupakan anugerah tertinggi musik Indonesia itu, tak lantas membuat grup ini berpuas diri. Band yang digawangi Aloel (pemain bas sekaligus vokal), Indra Fha (perkusi, drum), Indra Maulana (rapai), Raden Trio Ananda (seurune dan saxophone), Teuku Hariansyah (rapai), dan Manda Primana (keyboard) ini semakin giat menjalani proses kreatif mereka, untuk mempersiapkan karya-karya selanjutnya.

Siapa sangka, sebelum besar seperti sekarang, grup yang dibentuk pada Juni 2014 silam itu ternyata berawal dari kegamangan Aloel. Kala itu, ia belum menentukan arah dan warna musik yang akan dikembangkannya.

“Kebetulan saya berasal dari Aceh dan belajar sedikit tentang tradisi, akhirnya kepikiran lah ingin membentuk band etnik,” kata Aloel.

Ia lalu coba mengajak beberapa rekannya, terutama para musisi asal Aceh yang ada di Jakarta untuk membentuk band. Bahkan, ia pun tak ragu mengajak beberapa teman lain yang bukan berasal dari Aceh.

Ajakan itu ternyata mendapat respons positif. Para personel, ujar Aloel, rela menuangkan waktu lebih untuk bereksplorasi di Keubitbit. “Kami ingin bikin sesuatu untuk musik Indonesia, meski akarnya dari Aceh tetapi tidak harus bermain seperti di Aceh,” ceritanya.

Salah satu rilisan Keubibit di tahun 2018 bertajuk 'Three Minutes About Us'.

Dalam beberapa kali menggarap komposisi, Aloel merasa mulai menemukan arah musiknya. Namun di sisi lain, benaknya masih buntu. Ia bimbang apakah musik Keubitbit nanti bisa diterima khalayak ramai, khususnya masyarakat di luar Aceh.

Namun keraguan itu keburu ditepisnya, Keubitbit terus berinovasi. Musik etnik yang identik dengan tradisi lokal ia padukan dengan aliran Jazz. Aloel terkesan, pengemasannya kali ini memang jadi terdengar lebih menarik.

“Awal-awal memang perlu pendewasaan, sehingga bisa menyusuri paduan musik jazz dengan musik Aceh,” kata Aloel.

Meski telah memadukan keduanya, namun Aloel saat itu belum menentukan karakter. Sehingga Keubitbit kadang membawakan musik bergenre etnik, jazz, maupun latin.

Setelah menemukan warna musiknya, Aloel semakin sadar bahwa yang ia cari sebenarnya bukanlah penyatuan entitas musik tradisi dan modern.

“Bukan digabungkan jadi satu, tetapi lebih pada bekerja sama. Harus ada prinsip itu dalam penggarapannya, tanggung jawab musik jazz dan tradisi itu sama-sama kuat,” jelasnya.

Sempat Diremehkan Karena Musik Etnik

Totalitas dalam mengeksplorasi musik etnik Aceh, tidak berlangsung mulus bagi Keubitbit. Aloel dan kawan-kawan sempat diremehkan oleh rekan-rekan mereka sendiri. Tak hanya di Jakarta, bahkan di Aceh juga.

“Ngapain sih loh main musik kayak gini. Udah gak jaman main musik tradisi terus pakai kain sarung. Musiknya kayak gini,” kata Aloel meniru salah seorang temannya di Jakarta.

...berikutnya

Hal serupa juga didapati dari teman-teman Aceh, tempat asalnya. “Jioh, jioh, jak u Jawa maen cit rapai (Jauh, jauh, pergi ke Jawa mainnya rapai juga), maen cit musik Aceh (main musik Aceh). Mana ada maju,” tiru Aloel.

Perlahan ia mulai terbiasa dengan tanggapan miring di sekitarnya. Keubitbit pun tak mau surut dalam berkarya. Ia ingat ucapan teman lainnya yang justru memotivasi, “Bikin aja Loel, sikat aja. Pokoknya kerjain deh. Jangan pernah berhenti.”

Keubitbit lalu memulai peruntungan lewat audisi Java Jazz 2015, salah satu even jazz skala besar di Indonesia yang menampilkan performa musisi jazz nasional dan dunia. Idealisme itu berbuah manis.

Bermain dengan musik etnik, Keubitbit berhasil menyabet juara di audisi tersebut. Mereka berhak tampil di panggung Java Jazz. Tiket itu pula yang memuluskan Keubitbit jadi pengisi even tersebut untuk tahun-tahun berikutnya.

“Langsung dapat juara pada waktu itu. Karena mungkin melihat ini sesuatu yang beda sehingga mendapatkan perhatian dari penyelenggaranya, akhirnya waktu itu Keubitbit berhasil main di Java Jazz karena audisi,” imbuhnya.

Filosofi Musik Kande

Kemajuan yang diraih Keubitbit, diakui Aloel tidak terlepas dari pengaruh sang ayah, Rafly yang merupakan pentolan grup etnik Kande. Ia tahu betul perjalanan musik ayahnya.

“Saya belajar banyak tentang filosofi musik dari Kande. Saya melihat musik etnik itu seperti apa, dan kekuatan karakter Kande itu seperti apa. Saya sering mendiskusikan itu sama ayah,” kata Aloel.

‘Saban Sabee’, lagu yang diaransemen ulang oleh Keubitbit merupakan salah satu lagu milik Kande. Ia bahkan sering mengomposisikan ulang beberapa lagu Kande lainnya.

Aloel detail mencermati karya-karya Kande. Namun, dengan modalitas Aloel dkk yang juga mumpuni, mereka mampu mengarahkan Keubitbit jadi lebih progresif.

“Mulai dari aransemennya, nadanya, pengucapannya seperti ini, ritmenya, penekanannya dipikirkan dengan segala rupa yang akhirnya menjadikan Keubitbit kuat dengan karakternya sendiri,” imbuh Aloel.

Penghargaan AMI Awards

Lewat single ‘Saban Sabee’, Keubitbit pada tahun 2020 lalu berhasil memikat para pencinta musik Indonesia. Band ini pun meraih penghargaan AMI Awards nominasi Karya Produksi World Music Terbaik, usai menyisihkan beberapa grup musik lainnya.

Dengan proses panjang menjaga idealisme, didukung musikalitas yang mumpuni dan apiknya kerja sama antar personel, Aloel tetap menunjang prinsip bahwa Keubitbit berkarya bukan untuk sekadar mencari validasi.

...berikutnya

Para personel Keubitbit, kata Aloel, kala itu tidak pernah berambisi untuk meraih penghargaan bergengsi seperti AMI Awards.

“Saya kira lebih ke penguatan bersama, ya. Saya senang, karena ini kali pertama dalam sejarah musik Aceh kita mendapat perhatian khusus dari pusat, dan kita tahu, masuk nominasi saja sudah menjadi sebuah kebanggaan untuk kita,” ucapnya.

Salah satu cuplikan video klip musik Keubitbit. [Dok. Ist]
Tak ingin berlama-lama dengan cerita hebat itu, Keubitbit memilih fokus untuk menggarap karya baru. Aloel membeberkan, dalam waktu dekat Keubitbit bakal merilis lagu sekaligus album kedua mereka.

Single pertama yang berjudul ‘Lada Sicupak’ rencananya akan dirilis pada pertengahan tahun 2021. Sementara album kedua mereka bertajuk ‘Keubitbit For Aceh’ yang telah dirancang sejak 2020 masih dalam proses penyelesaian.

“Album keduanya baru direncanakan. Baru selesai tiga atau empat lagu. Rencananya memang akan ada 8-10 lagu dalam album kedua ini,” kata Aloel.

Di Album ini, mereka bakal berkolaborasi dengan musisi tradisi di seluruh wilayah Aceh yang tidak pernah terekspose. “Saya ingin datangi satu per satu untuk berkolaborasi dengan Keubitbit,” imbuhnya.

Ia juga ingin menyemangati sesama musisi lainnya. Menurut Aloel, musisi di Aceh jangan pernah menyerah untuk membesarkan musik Aceh. Proses kreatif dalam berkarya memang selalu punya banyak konsekuensi.

“Berkarya lah sepenuh hati tanpa harus memikirkan karya itu akan disukai atau tidak oleh pendengar, terus berbuat dan jangan berhenti belajar,” tandas Aloel.[]

Editor: Fuadi Mardhatillah

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...