Kisah Penyintas Covid-19: Berpisah dengan Anak, Ingin Peluk Dia (2)

Endah Lismartini, seorang jurnalis ibu kota sempat terpengarah saat dokter Jono, dokter IDG RS Siloam Bogor mengabarkan dirinya positif Covid-19. Namun, Endah mencoba untuk tetap tenang.
Beruntungnya dia tidak perlu dirawat di rumah sakit yang kian sesak oleh pasien. Baik pasien positif Covid-19, anak yang tergigit lidah hingga korban kecelakaan bercampur baur di IGD rumah sakit. Tetapi bila bergejala virus corona, pasien itu langsung dibawa ke IGD isolasi untuk diperiksa, Endah salah seorangnya.
"Ibu Endah, berdasarkan hasil swab antigen menyatakan ibu terkonfirmasi positif Covid 19," kata Dokter Jono, dokter IGD RS Siloam Bogor yang bertugas 15 hari lalu.
Baca Juga:
Tulisan ini readers.ID kutip dari laman pribadi Endah Lismartini, tentunya sudah mendapatkan izin sebelum berita ini ditayangkan.
Dia pun berkisah. Pilihan saya untuk isolasi di kamar Adlan (anaknya) ternyata tepat. Kamar Adlan sangat ideal buat Isoman (Isolasi Mandiri). Meski kamarnya kecil, tapi jendelanya besar dan mendapat cahaya matahari pagi yang melimpah. Saya tak perlu keluar kamar hanya untuk berjemur.
Saya memulai Isoman masih dengan gejala ringan. Hidung yang terus menerus meler, sesekali bersin, dan batuk-batuk berdahak.
Hari pertama dan kedua isoman, saya melaluinya dengan biasa saja. Tapi karena tak keluar kamar sama sekali, kecuali untuk ke kamar mandi, maka tak banyak yang bisa dilakukan.
Mencoba membaca, dengarkan musik, juga main game lucu semacam Tetris, Candy Crush dan Sudoku. Karena kamar Adlan bersebelahan dengan kamar Mimi, kami masih bisa ngobrol dan bercanda-canda.
Sampai hari kedua Isoman, selera makan masih ada, tapi saya hanya ingin sayur asem. Mustakim (temannya) lalu mengirimkan masakan isterinya. Sayur asem, lengkap dengan lele goreng, tempe tahu goreng dan sambal terasi. Saya masih bisa makan dengan lahap. Makanan masih terasa nikmatnya.
Hari berikutnya, tetap ingin sayur asem, Wanda Faisal Aziz memasak sayur asem untuk saya. Alhamdulillah masih bisa makan dan selera makan masih aman.
Kabar ternyata begitu cepat tersebar. Tak henti teman-teman mengontak melalui whatsapp memastikan benarkah saya positif Covid? Saya jawab apa adanya. Lalu mereka menderaskan doa-doa agar saya dan suami segera sembuh dan negatif Covid-19.
Alamat yang saya berikan ke teman dekat lalu beredar. Beberapa teman juga meminta alamat. Saya berikan dengan ikhlas. Sejak itu, saya mulai menerima banyak kiriman. Apel, pisang, jeruk, pir, macam-macam vitamin, minyak kayu putih asli Pulau Buru, aneka jenis madu, kurma, lauk pauk matang, beras merah, sosis, nugget, habbassauda, susu bear brand, macam-macam obat herbal, jeruk nipis, jahe merah serbuk, air nano, gepuk daging, ayam goreng, roti mozzarella, dimsum, dan banyak lagi.
Beberapa pengirim bahkan tak menyebutkan nama, hingga saya tak tahu bagaimana berterima kasih.
Hingga sekarang, hari ke 12 Isoman, kiriman tak pernah berhenti. Hampir tiap hari ada saja paket yang saya terima. Sungguh, saya sangat berterima kasih pada teman-teman semua. Terharu, tak menyangka begitu besar perhatian dan cinta yang saya terima dari banyak orang.
Lalu di hari kedua saya isoman, suami dan anak-anak tes PCR. Usai tes, Adlan sempat kirim pesan. "Bun, sakit. Adlan enggak mau lagi tes swab. Hidung Adlan sakit," begitu dia tulis. Saya membacanya dengan senyum dan kasihan. Pengen peluk dia, tapi enggak bisa. Hari berikutnya hasil tes disampaikan melalui whatsapp. Perkiraan dokter tepat, suami positif. Alhamdulillah anak-anak negatif.
Saya lalu meminta izin abang saya agar Adlan dan Mimi bisa tinggal di rumahnya dulu. Meski berat, Adlan dan Mimi bersedia mengungsi untuk sementara waktu. Jadilah kami berpisah.
Saya dan suami tetap isoman di rumah, anak-anak ke rumah abang saya. Meski jaraknya tak jauh, tapi saya tahu, mulai hari itu kami tak bisa bertemu sering-sering, juga tak bisa kontak fisik.
Isoman hari ketiga, saya mulai merasakan kondisi tubuh yang sangat tak nyaman. Pilek mulai membuat hidung mampat. Sakit tenggorokan sudah hilang, tapi demam masih tak stabil.
Kadang demam, kadang biasa saja. Seluruh badan terasa pegal dan sakit. Semua obat dan vitamin yang diberikan saya minum. Air kelapa, madu, juga berselang seling saya konsumsi. Prinsip saya, makan dan supplemen vitamin atau obat tradisional wajib saya minum supaya segera pulih.
Hari ketiga ini, pusing mulai datang. Tapi tak sering. Tidur juga mulai tak nyaman, sulit tidur nyenyak dan ketika bangun rasanya malah makin lemas. Punggung pegal-pegal karena terlalu banyak tiduran. Tapi mau duduk berlama-lama juga enggak kuat. Mulut juga mulai terasa pahit.
Air Nano yang diberikan Yekthi Hesthi Murthi saya minum, tapi dampaknya, mulut saya semakin terasa pahit. Duh, enggak enak sekali rasanya. Hesti bilang, rasa air nano menyesuaikan kondisi tubuh. Semakin tubuh enggak sehat, maka airnya semakin pahit. Kurang lebih seperti itu penjelasan dia.
Lalu di hari keempat isoman, saya mulai kehilangan selera makan. Mulut pahit membuat semua rasa makanan jadi aneh. Rasa yang dominan hanya asin. Apapun yang saya makan, yang terasa hanya asin dan gurih.
Sedih banget rasanya. Tapi saya tetap memaksakan diri untuk makan. Pokoknya, enak atau engga, saya akan tetap makan. Semua makanan yang dikirim teman-teman, saya makan. Dan di hari keempat isoman ini, saya akhirnya merasakan gejala paling nyata dari Covid 19.
Malam menjelang tidur, saya baru sadar saya tak bisa mencium bau. Ketahuan ketika saya minta tolong suami untuk memborehkan minyak kayu putih di bagian punggung. Tapi saya tak mencium bau minyak kayu putih itu. Suami bilang, mungkin itu karena minyak kayu putih asli, jadi baunya tak terlalu menyengat.
Penasaran, saya ambil minyak kayu putih asli Pulau Buru itu, saya menciuminya, tak ada bau. Lalu saya ambil minyak kayu putih cap Lang dengan botol besar berwarna hijau. Saya buka tutupnya, dan saya dekatkan ke hidung. Saya berusaha keras mengendus endus, ternyata memang tak ada baunya.
Makin penasaran, saya semprotkan minyak wangi di tangan, saya ciumi tangan saya sedekat mungkin dengan hidung, tetap tak ada bau. Lalu saya ke kamar mandi, mengambil sabun, menciuminya sedekat mungkin dengan hidung, dan tetap tak ada bau. Fix, saya hilang penciuman.
Antara sedih dan lucu, saya bicara sendiri, "Oh kayak gini ya rasanya tak bisa mencium bau apapun." Lalu saya berbisik lirih pada diri sendiri, Tuhan mungkin selama ini saya lupa bersyukur, bisa mencium bau juga anugerah-Mu yang luar biasa. [Bersambung]









Komentar