Larangan Mudik dan Regulasi Dadakan Pemerintah Aceh

Waktu Baca 9 Menit

Larangan Mudik dan Regulasi Dadakan Pemerintah Aceh

Dalam kurun waktu hanya beberapa hari sejumlah kebijakan larangan mudik telah dikeluarkan oleh Pemerintah, tiap kebijakan yang diedarkan kerap berbeda-beda atau tidak konsisten. 

Tak ayal setiap aturan larangan mudik tersebut mendapat protes dari setiap kalangan masyarakat, terutama masyarakat yang sangat berdampak dari aturan tersebut.

Berbagai polemik muncul di tengah masyarakat, bahkan mereka yang merasa dirugikan regulasi tersebut terpaksa memilih tidak menurutinya, meski tahu resiko apa yang akan dialami.

Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakia Meirizal, menilai kebijakan demi kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh terkait mudik kali ini merupakan bentuk kepanikan, karena desakan publik yang tidak memiliki kepastian.

Menurutnya, selama ini pemerintah tidak mempunyai aturan yang sejak awal disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga terjadi kegelisahan di tengah masyarakat terkait pelarangan mudik lebaran.

"Soal pelarangan angkutan ini bisa digaris bawahi bahwa menurut saya menunjukkan Pemerintah Aceh tidak peka terhadap nasib para pekerja angkutan umum, terutama sopir-sopir," kata Syakia kepada readers.ID, Senin (10/5/2021).

Seperti diketahui, saat aturan larangan mudik antar provinsi dikeluarkan, berbagai pendapat spontan mengalir deras dari semua kalangan masyarakat. Apalagi saat ini, di mana penyekatan ketat juga di terapkan di wilayah-wilayah tertentu antar kabupaten/kota di Aceh.

Sehingga, aturan-aturan yang kerap berbau dadakan ini menimbulkan satu sikap penentangan dari publik, bahkan parahnya bisa mengacu ke arah pembangkangan masyarakat akan regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Syakia menuturkan, seharusnya Pemerintah Aceh sejak awal Ramadan sudah menyiapkan skema atau formulasi penanggulangan Covid-19 di masa libur lebaran dengan melibatkan semua unsur.

"Sehingga, seharusnya saat ada rapat koordianasi mereka bisa membentuk tim teknis untuk membuat semacam kajian dan maping yang melahirkan program penanggulangan Covid yang terukur dan cepat disosialisasikan kepada masyarakat. Nah itu tidak dilakukan, sehingga yang terjadi hari ini adalah kebijakan-kebijakan reaktif akibat kepanikan atas desakan publi," ujarnya.

Memberikan Insentif Kepada Warga Terdampak

Akibat pelarangan mudik lebaran ini, tidak sedikit masyarakat mengalami kerugian atau berdampak tidak baik, salah satunya ialah para sopir yang bekerja di jasa angkutan umum antar provinsi dan antar kota.

Maka, tak dapat dipungkiri saran pemberian intensif kepada mereka semarak digaungkan oleh berbagai pihak, seperti halnya disarankan Syakia, bahwa para sopir terdampak harus diberikan insentif atau kompensasi, baik dalam bentuk THR ataupun BLT khusus. Sebab, kata dia, terdapat payung hukum yang mengatur hal itu, yakni Undang-undang Nomor 2 tahun 2020 yang berlaku sampai akhir tahun 2022 dan belum ada revisi.

Lebih lanjut, kata Syakia, Pemerintah Aceh ketika mengeluarkan kebijakan dan berdampak terhadap pendapatan sekelompok masyarakat, dalam hal ini harus bisa memberi ganti rugi, karena Pemerintah Aceh sendiri memiliki anggaran yang cukup besar di belanja tidak terduga dalam APBA tahun 2021, yakni Rp 347 miliar.

"Artinya, ketika ini dilarang dan tidak diikuti dengan pemberian kompensasi, di sini Pemerintah Aceh juga sudah berlaku zalim. Sehingga wajar para pekerja atau sopir di perusahaan angkutan itu melakukan protes," tutur Syakia.

Wilayah Aglomerasi yang Tak Sesuai

Terkait kebijakan baru bolehnya angkutan umum beroperasi di wilayah aglomerasi merupakan kebijakan pemerintah yang terkesan tiba-tiba akibat kepanikan karena desakan dari masyarakat.

"Zonasi ini kita enggak tahu basisnya apa ya, tapi si situ jelas ditulis mengacu pada qanun 19 tahun 2019, itu tentang Rencana Penetapan Kawasan Strategis Perdagangan dan Distribusi Aceh," jelas Syakia.

Menurutnya, penetapan wilayah aglomerasi sangat tidak relevan dengan zonasi transportasi masyarakat Aceh, karena terdapat wilayah yang terputus transportasinya namun ditetapkan dalam satu zonasi.

Misalnya, pada penetapan zonasi wilayah tenggara, yaitu Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Singkil. Diketahui Singkil dan Subulussalam berada di wilayah pesisir sementara Aceh Tenggara dan Gayo Lues berada di dataran tinggi. Untuk akses terdekat antar wilayah tersebut salah satu solusinya ialah harus melawati Sumatera Utara terlebih dahulu.

"Sementara masyarakat yang ada di Gayo Lues itu enggak boleh masuk Aceh Tengah yang jelas lebih terhubung, begitu juga masyarakat yang berada di wilayah Singkil dan Subulussalam, tidak boleh masuk ke Aceh Selatan, ini yang kemudian menjadi aneh, karena tidak ada assesment dan maping sebelumnya," kata Syakia.

"Akhirnya mereka mengambil data dari qanun tersebut yang sebenarnya bukan tujuan untuk zonasi transportasi tapi itu zonasi untuk perdagangan dan distribusi. Jadi ini bentuk kepanikan saya pikir," tambahnya

Sementara itu, hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Kebijakan Publik Nazrul Zaman, bahwa pemerintah dalam menetapkan sistem aglomerasi tanpa berdasarkan argumentasi terhadap wilayah.

Seperti pada zona 1, Nazrul mempertanyakan wilayah Aceh Jaya yang tidak dimasukkan ke zona 1 tersebut. Padahal, menurutnya sebagian besar masyarakat Aceh Jaya itu beraktivitas di Banda Aceh dari pada di Aceh Barat (Meulaboh).

"Kemudian, pada zona 6 atau wilayah tenggara, yang Zona 6, yang Gayo Lues, Aceh Tenggara, Singkil, dan Subulussalam. Apa mereka enggak tau itu dipisah sama provinsi Sumatera Utara, tidak ada jalan tembus. Nah itu bagaimana membuat aturan zonasi. Atau disiapkan surat kepada Gubernur Sumatera Utara untuk orang Singkil dan Subussalam boleh bepergian ke Kuta Cane," jelas Nazrul.

Ia menilai, pada penetapan wilayah zonasi ini Pemerintah Aceh terkesan asal jadi. Kata dia, zonasi itu harus dibuat bukan berdasarkan kedekatan wilayah, tetapi berdasarkan tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi.

"Jadi yang tinggi itu yang perlu di blok bukan asal caplok wilayah begitu. Pemerintah kita dalam membuat kebijakan sering seenaknya aja, tidak ada pertimbangan-pertimbangan ilmiah, argumentasi-argumentasi yang cerdas," tutur Nazrul.

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Loading...