May Day, Buruh Aceh Tetap Menolak Omnibus Law
Puluhan buruh melakukan longmarch sambil berorasi dari kawasan Masjid Raya Baiturrahman hingga ke bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, pada Sabtu (1/5/2021).
Aksi itu dilakukan para buruh dari berbagai daerah di Aceh tersebut dalam memperingati Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei.
Dalam aksi tersebut, ada sejumlah tuntutan yang disampaikan oleh massa aksi. Tuntutan itu tidak hanya berskala lokal, namun juga berskala nasional.
"Tuntutan skala nasional, terkait Omnibus Law. Jadi memang buruh di Aceh dan secara nasional saat ini masih konsen menolak Omnibus Law itu," kata perwakilan massa aksi, Edy Jaswar, pada Sabtu (1/5/2021).
Alasan mereka masih menyuarakan penolakan terhadap pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja karena menilai ada beberapa pasal dalam aturan yang dikenal dengan Omnibus Law tersebut tidak sesuai.

"Ada empat poin yang kita tolak, di dalam Omnibus Law itu. Karena masih ada ketidakpastian pekerjaan, upah, dan jaminan sosial. Oleh karena itu kita tetap menolak," tegasnya.
Seperti diketahui, pemerintah pusat secara resmi telah menerbitkan 49 peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Adapun empat peraturan pemerintah (PP) yang ditolak oleh para buruh dalam aksinya, yakni berkaitan dengan kluster ketenagakerjaan.
Di antaranya, PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; serta PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Selanjutnya, PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
PP yang telah diterbitkan dianggap tidak lebih baik dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Indonesia sebelumnya.
"Salah satunya mengenai izin tenaga kerja asing, itu disederhanakan sehingga ini bisa membuat mereka dengan leluasa masuk ke sini. Sangat berpotensi tergerus lapangan kerja bagi pekerja lokal yang ada di Indonesia," ujarnya.
Sementara itu terkait tuntutan skala lokal, pria yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW-FSPMI) Aceh, itu meminta Qanun Nomor 7 tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan untuk direvisi.
Permintaan revisi diajukan karena menilai bahwa qanun tersebut belum memiliki perlindungan menyeluruh bagi tenaga kerja.
"Kita berdiri sendiri. Kita sejahtera dan bisa menentukan kondisi tenaga tenaga kerja itu sendiri," kata Edy.
Untuk mewujudkan itu, ia dan seluruh rekan-rekan buruh di Aceh akan berupa menjumpai pihak legislatif maupun eksekutif untuk membahasnya selama dua tahun ke depan.
"Mudah-mudahan nanti terwujud revisi qanun yang lebih baik," tutupnya.[]
Komentar