Menilik Naskah Kuno di Rumoh Manuskrip Aceh

Puluhan lembar kertas yang mulai usang terlihat bertaburan di lantai teras Rumah, No. 8A Jalan Seroja, Gampong Ie Masen Kaye Adang, kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh.
Kertas-kertas itu sengaja dijemur setelah dibersihkan, untuk dijilid lalu dimasukkan kembali ke dalam sampul baru oleh Tim Pelestarian Naskah Kuno Perpustakaan Republik Indonesia.
Kertas-kertas bertuliskan huruf Arab-Jawi tersebut adalah naskah kuno koleksi lembaga Rumoh Manuskrip Aceh, milik sang budayawan dan kolektor benda pusaka, Tarmizi Abdul Hamid.
Kabarnya, manuskrip-manuskrip itu sudah berumur ratusan tahun, terdiri dari beberapa jenis gubahan karya, seperti Fiqih, Tasawuf, Ilmu Nujum, Nazam, Syair (hikayat) serta pengobatan.
Di ruang sebelah kanan, terlihat lima orang yang sedang fokus menggeluti naskah kuno tersebut. Mereka adalah tim pelestarian naskah kuno Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Naskah-naskah manuskrip kuno Aceh koleksi Tarmizi ditaksir sudah berusia empat abad atau setara 400 tahun lamanya. Manuskrip tersebut dihimpun oleh lelaki yang akrab disapa Cek Midi itu dari masyarakat di seluruh daerah yang ada di Aceh.
Profesi suci itu telah digalakkan oleh Cek Midi dari puluhan tahun yang lalu. Sejak tahun 1995, ia sudah menjadi kolektor manuskrip kuno Aceh. Menjadi kolektor adalah ilham Tuhan bagi Cek Midi, sebab sejauh ini ia sudah mampu mengumpul ratusan manuskrip.
Menurut Cek Midi, proses mengumpulkan manuskrip kuno Aceh ia tekuni secara pelan-pelan namun pasti. Dari satu naskah menjadi dua, lalu menjadi ratusan. Yang tampak itu merupakan manuskrip yang tersisa atau masih disimpan oleh masyarakat.

Ia mengatakan, kala Tsunami melanda Aceh pada 2004, ada 115 naskah manuskrip yang hilang dibawa bencana. Namun, semangat Cek Midi tak pernah pudar, ia tetap berjuang pada pekerjaan luhurnya mengumpulkan kembali manuskrip-manuskrip kuno Aceh guna untuk menjaga dan melestarikan keuneubah indatu (warisan leluhur).
"Sebagian sudah dibeli oleh lembaga negara," katanya kepada readers.ID, Selasa (23/32021) di Lembaga Rumoh Manuskrip Aceh.
Cek Midi menegaskan, menjaga dan melestarikan aset dan warisan budaya sangatlah penting. Menurutnya, apa yang sudah dilakukan oleh Lembaga Rumoh Manuskrip Aceh hari ini sudah menjadi perhatian dunia, negara, bahkan Aceh sendiri.
Sejauh ini, Cek Midi mengaku sudah banyak pihak, lembaga, atau komunitas-komunitas pecinta sejarah telah datang ke Rumoh Manuskrip Aceh melakukan survei.
Manuskrip adalah bukti sejarah kuat, tertulis, dan menjadi artefak otentik. Karena menurutnya, berbicara sejarah adalah berbicara data dan dokumen. Bila tidak ada data dan dokumen itu tidak menguatkan, bisa diklaim mengada-ngada.
"Bila tidak ada dokumen tertulis, ada benda atau dokumen yang lain. Hasil dari referensi orang-orang tua kita juga bisa menjadi dokumen," jelasnya.
Selain manuskrip, Cek Midi juga sangat peduli dan memperhatikan peninggalan sejarah yang lain, seperti nisan pada makam-makam kuno. Hal itu juga mendapat perlakuan yang sama seperti manuskrip-manuskrip.
Selain di Aceh, naskah manuskrip kuno Aceh tersebar di seluruh dunia. Namun ia menambahkan, naskah itu susah untuk dipulangkan ke Aceh karena administrasi setiap negara berbeda-beda.
"Banyak manuskrip Aceh di luar negeri, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, tapi sangat susah kita bawa pulang ke Aceh," imbuhnya.
Di Sumatra sendiri, sebut Cek Midi, banyak manuskrip kuno yang tersebar, seperti di Pekanbaru, Riau. Namun, mereka memiliki kontribusi, dan hubungan serta korelasi dengan Aceh.
Di Pekanbaru misalnya, pemilik manuskrip kuno Aceh juga merupakan orang Aceh yang sudah lama merantau dan menetap di sana.
Awalnya Cek Midi memilih menjadi kolektor manuskrip Aceh adalah panggilan hati. Ia mengakui hal tersebut amanah baginya. Dengan keyakinan itu, ia merasa penting untuk menyelamatkan warisan sejarah.
Ia lantas betah mengerjakan hal itu puluhan tahun lamanya. Ia melakukan itu untuk upaya penyelamatan naskah manuskrip Aceh supaya tidak hilang dan keluar dari Aceh.
"Sejarah tidak bisa diulang, jadi ini sangat berharga sebagai khasanah budaya, sebagai cagar budaya, dan aset sejarah," ujarnya.
Jadi, tambah Cek Midi, penyelamat manuskrip ini sangat penting, di samping menjadi tugasnya selama ini, juga menjadi tugas pemerintah Aceh melalui dinas terkait yang mewadahi sejarah dan budaya. Mungkin instansi-instansi terkait belum melakukan ini karena ada hal-hal lain yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh.

Namun, di sisi lain, bagi orang yang paham akan sejarah dan budaya, lanjutnya, penyelamatan aset sejarah sangat luar biasa penting. “Jika ditanyakan kepada orang yang paham sejarah, ini dulu yang harus diselamatkan, apa pun alasannya.”
Ia berharap, ke depan tidak ada lagi aset-aset sejarah yang terbengkalai dan dapat dikumpulkan pada suatu wadah supaya dapat diakses oleh semua pihak, serta mudah dilakukan sebagai pengkajian ilmu pengetahuan dari berbagai aspek, dan dari berbagai dimensi ilmu.
Soal isi naskah itu, Cek Midi mengaku terkesan pada substansi yang menyangkut kehidupan manusia yang sudah diramu dengan baik. Di dalam naskah manuskrip Aceh, kata Cek Midi, sudah dijelaskan cara-cara untuk mengatasi atau mengantisipasi wabah-wabah yang menyerang bumi.
"Ketika kita berbicara obat-obatan, leluhur kita sudah jauh-jauh hari menemukan resep obat-obatan. Begitu juga dengan qanun, sejak dari dulu leluhur kita sudah melaksanakan itu, dan ditulis dalam manuskrip-manuskrip," terang Cek Midi.
Tugas generasi hari ini, menurutnya, adalah menerjemahkan tulisan leluhur tersebut dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh semua kalangan.
“Tugas kita adalah merawat dan menjaganya supaya dapat dilihat oleh anak cucu kita di kemudian hari,” kata dia.
Sementara itu, salah satu Tim Pelestarian Naskah Kuno Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Leni Marlinda, mengatakan proses proservasi dan restorasi kondisi fisik perbaikan naskah manuskrip, tujuannya untuk memperpanjang usia sehingga lebih lama manfaatnya.
"Tujuan perbaikan disesuaikan dengan kondisi kerusakan, serta mengembalikan keutuhannya atau memperpanjang masa usia pemakaiannya," kata Leni.
Menurutnya, proses yang sedang dilakukan saat ini adalah proses penambalan dan penyambungan naskah dengan menggunakan tisu Jepang.

Tisu Jepang sendiri, kata Leni, ketebalan dan warnanya disesuaikan dengan warna dan kondisi naskah manuskrip tersebut.
Diketahui, kertas manuskrip kuno Aceh berasal dari Eropa, dan tintanya berasal dari getah kayu jelaga sehingga bisa bertahan begitu lama.
"Usia naskah ini sudah 4 abad lamanya, atau 400 tahun," kata Leni.
Ia menambahkan, setiap kertas Naskah manuskrip itu bila diterawang akan terlihat watermarknya. Kertas itu bagus, dan kondisi manuskrip masih lumayan baik nyaris tidak berubah. “Jauh berbeda dengan kertas kita hari ini, yang hanya bertahan selama tahunan,” tukasnya.[]
Komentar