Mengubah Tantangan Menjadi Peluang
Menyinari Puskesmas dengan Kepemimpinan Islami

Oleh Ns. Ernita, S.Kep dan Fithriady
TIDAK dapat dipungkiri, kepemimpinan merupakan kebutuhan pada setiap organisasi. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) sebagai organisasi pelayanan kesehatan masyarakat, selain memberikan pelayanan juga membina dan melibatkan peran serta masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan.
Puskesmas dalam pengelolaannya diperlukan seorang pemimpin untuk mengkoordinasikan, mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan seluruh kegiatan. Pemimpin Puskesmas harus mampu membawa timnya dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan berkualitas.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan terdapat 10.416 unit puskesmas di Indonesia pada tahun 2023. Jumlah tersebut naik 0,4% dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 10.374 unit.
Puskesmas diharapkan dapat menjalankan fungsinya dengan pemimpin yang mampu membantu masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal. Tentunya tidaklah mudah memimpin sebuah puskesmas di era transformasi digital, ditambah lagi di Aceh dengan pelaksanaan syariat islam, akan menjadi sebuah tantangan besar bagi pemimpin puskesmas.
Pemimpin harus terlebih dahulu mengenali diri sendiri, mengenali kebutaan dalam kepemimpinan, mengetahui kepemimpinan Rasulullah sehingga mampu mengubah rintangan menjadi peluang dalam menjalankan misi puskesmas.
Berawal dari Mengenali Diri Sendiri
Kepemimpinan diawali dari diri sendiri yaitu dimulai dari kemampuan diri untuk mengenali dan memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu terhadap titik buta yang ada, sehingga kepemimpinan menjadi lebih efektif dan efesien.
Titik buta dalam kepemimpinan merupakan ciri kepribadian, keyakinan, atau perilaku yang menghalangi seorang pemimpin untuk menjadi efektif dalam memimpin. Meskipun sebagian orang mengetahui hal ini, namun kenyataannya para pemimpin umumnya hampir tidak mengetahuinya, bahkan kadangkala kesalahan yang paling fatal terjadi akibat pemimpin itu sendiri.
Gagalnya pemimpin karena gagalnya mengenali diri sendiri dan mengenali sistem. Pemimpin yang baik diharapkan menjadi role model dalam sebuah sistem puskesmas dan mampu mempengaruhi yang lain untuk sebuah perubahan yang lebih baik.
Mengubah Rintangan menjadi Peluang
Menjadi pemimpin yang didambakan dan bertanggung jawab bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Pemimpin perlu melakukan pembelajaran, evaluasi dan memperbaiki diri secara berkelanjutan dalam meningkatkan kemampuan memimpin. Hal ini dapat diawali dengan belajar mengenali kesalahan dalam sebuah kepemimpinan sehingga dapat dengan segera mengatasinya.
1) Kebutaan terhadap posisi diri (Blind Spot).
Hal ini terjadi akibat merasa diri lebih tinggi posisinya, lebih berkuasa, punya wewenang dan pengetahuan lebih daripada yang lain, bisa membuat pemimpin cenderung akan meremehkan bahkan mengabaikan pendapat dari orang lain, terutama para anggotanya.
Seorang pemimpin bahkan tidak menyadari kelemahan dan kekurangan dalam gaya kepemimpinannya yang membuat tim merasa tidak nyaman atau tertekan.
Seringkali hal ini akan menyebabkan konflik dalam pencapaian visi Puskesmas. Sering terlibat dalam kegiatan bersama di puskesmas, baik berupa rapat atau diskusi personal serta kegiatan keagamaan dapat menjadi solusi dalam mengatasi “blind spot”.
Melakukan introspeksi secara berkala dan meminta umpan balik dari rekan kerja tim, mengikuti pelatihan kepemimpinan juga dapat membantu meningkatkan kesadaran diri. Pemimpin harus menyadari bahwa setiap staf puskesmas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
2) Kebutaan emosional sering diawali dengan kebutaan terhadap kesalahan diri sendiri.
Seorang pemimpin karena ingin menutupi kesalahan pribadi, atau memang karena tidak menyadari kesalahannya atau kegagalan pencapaian sebuah program sering menyalahkan orang di sekitar.
Pemimpin tidak peka terhadap emosi dan kebutuhan emosional anggota timnya, sehingga dapat mengabaikan stres yang dialami oleh mereka.
Kebutaan ini dapat diatasi dengan membiasakan diri untuk turut serta mengerjakan program, bukan hanya memerintah. Dengan ini, diharapkan pemimpin dapat mendeteksi langsung dan menelusuri titik-titik kelemahan yang menjadi penyebab kegagalan.
Pemimpin juga dapat mengembangkan kecerdasan emosional dengan mengikuti pelatihan mental dan komunikasi agar mampu berempati terhadap emosi staf puskesmas.
3) Kebutaan terhadap perubahan.
Pemimpin sering bertindak terlalu cepat mengambil sebuah keputusan dalam waktu yang singkat, namun tidak adanya ketepatan dalam keputusan tersebut.
Bertindak tanpa berpikir matang, enggan untuk mengubah strategi, menolak untuk mengadopsi teknologi baru sehingga menyebabkan keputusan yang diambil tidak solutif.
Mengatasi kebutaan ini dapat dilakukan dengan membangun kebiasaan mengkonfirmasi kembali apa yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian, landasan dalam membuat keputusan akan lebih jelas dan kokoh.
Pemimpin juga harus bisa membuka diri untuk belajar tentang tren dan perkembangan teknologi sehingga mampu membawa puskesmas menciptakan program inovasi terbaru.
4) Kebutaan terhadap kinerja.
Kebutaan kinerja membuat pimpinan puskesmas dalam pengambilan keputusan tidak pernah bisa menyelesaikan masalah, selalu berfokus pada masalah yang terlihat saja dan buta pada akar masalah sehingga masalah akan sering berulang kembali.
Pemimpin tidak memantau kinerja anggota tim, sehingga tidak menyadari jika terjadi penurunan kinerja atau beban kerja tim yang berlebihan.
Pada kondisi ini, pemimpin diharapkan dapat lebih jeli menggali akar masalah, terutama pada masalah yang tidak kunjung selesai.
Pemimpin dapat menekankan pentingnya akuntabilitas (tanggung jawab) dalam setiap tindakan dan keputusan, melakukan evaluasi kinerja secara berkala dan menetapkan keseimbangan beban kerja yang adil.
5) Kebutaan terhadap keberagaman.
Kebutaan terhadap keberagaman dalam tim, sehingga perspektif yang berbeda tidak terwakili.
Dalam mengidentifikasi masalah, masalah sering terabaikan saat muncul sedikit demi sedikit, baru terkejut dan panik saat masalah terlihat besar.
Dengan mengedukasi diri tentang pentingnya keberagaman dan mengikutsertakan seluruh petugas puskesmas dalam mencari solusi yang lebih inovatif dapat membantu pemimpin mengatasi kebutaan akan keberagaman.
6) Kebutaan strategis karena pimpinan puskesmas merasa berpengalaman.
Pemimpin tidak memiliki visi yang jelas dan tidak mampu melihat gambaran besar dari tujuan jangka panjang puskesmas.
Pemimpin merasa terlalu berpengalaman dan sudah memberikan solusi yang tepat pada banyak masalah sehingga cenderung mengabaikan pendapat orang lain.
Terkadang dampak positif atau negatif dari konsekuensi keputusan yang diambil pemimpin terjadi jauh setelah pemimpin tidak lagi memimpin.
Maka, tidak ada salahnya bagi pimpinan untuk meminta pendapat dari para profesional dalam merumuskan rencana strategis yang jelas dan mengkomunikasikannya kepada seluruh tim, serta melibatkan mereka dalam proses perencanaan untuk menciptakan komitmen bersama agar visi puskesmas dapat tercapai dengan maksimal.
7) Kebutaan etika.
Kebutaan etika karena merasakan kalau kerja dalam tim sudah menjadi kebiasaan sehingga mengabaikan prinsip etika demi mencapai hasil yang cepat yang dapat merugikan puskesmas.
Ketika pemimpin ‘berhenti’ setelah membentuk suatu tim, maka fungsi dari kerja tim tidak lebih daripada kerja individu. Sebuah tim yang tidak dikelola dan dikontrol dapat membuat tim menjadi tim yang pasif.
Mengatasi kebutaan etika, pemimpin dapat mempertahankan komitmen terhadap prinsip etika dalam setiap keputusan, melakukan pelatihan atau diskusi tentang etika dalam kepemimpinan agar selalu ingat tentang tanggung jawab moral yang diemban.
Dalam mengatasi titik buta kepemimpinan, pemimpin harus lebih sadar akan bias diri sendiri.
Semua orang memiliki bias, tetapi mengenali bias memungkinkan kita untuk tidak membiarkan bias tersebut mengaburkan penilaian kita.
Mencari masukan dari orang lain untuk memperoleh sudut pandang yang seimbang harus terus dilakukan meskipun tidak ingin mendengarnya.
Pemimpin dapat mengatasi titik buta mereka dan menjadi lebih efektif jika mereka bersedia dan bersemangat untuk berubah.
Di dalam Islam, Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin yang telah diakui dan dihormati baik oleh umat Islam maupun non muslim.
Beliau telah memberikan contoh yang dapat kita terapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Model kepemimpinan Rasul SAW bukan lah sesuatu hal yang tidak mungkin kita tiru, karena beliau sebagai manusia biasa yang diberikan wahyu oleh Allah. Itu semua sangat tergantung kepada kemauan kita untuk mengamalkannya.
Berikut beberapa karakteristik dari kepemipinan Nabi Muhammad SAW, yaitu;
Kepemimpinan yang Egaliter
Nabi Muhammad SAW membawa sistem kepercayaan yang egaliter dan membebaskan, dengan pesan bahwa segala ketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia.
Beliau melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja kepada kekuasaan Allah melalui sistem musyawarah. Ajaran beliau menegakkan nilai-nilai sosial seperti persamaan hak, persamaan derajat di antara sesama manusia, dan berkeadilan.
Komitmen dan Toleransi
Nabi Muhammad SAW terus berjuang merombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, menunjukkan komitmen moralnya sebagai seorang pemimpin umat yang plural.
Beliau menunjukkan sikap pemaaf dan toleransi yang luar biasa, bahkan terhadap musuh Islam yang paling keras kepala pun Nabi memberikan amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Sehingga membuat mereka tertarik dengan Islam dan Islam sebagai agama rahmatan lil-’alamin.
Membangun Masyarakat yang Demokratis dan Beradab
Nabi Muhammad SAW berhasil membangun masyarakat baru yang demokratis, berperadaban, dan tidak korup, dengan mempersatukan kelompok Anshar dan Muhajirin yang berselisih, serta membentuk dasar politik, ekonomi, dan sosial bagi terbentuknya "masyarakat baru".
Beliau memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji, memusnahkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka'bah, dan kemudian memberikan amnesti umum serta menegakkan peraturan Islam di kota Makkah.
Teladan dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Nabi Muhammad SAW adalah suri teladan dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.
Sayyidah Aisyah menyebut akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Qur'an. Beliau yang paling mulia akhlaknya, tidak pernah berlaku keji, tidak mengucapkan kata-kata kotor, tidak berbuat gaduh di pasar, pemaaf, dan pengampun.
Beliau adalah teladan terbaik dalam berkeluarga, bertetangga, bergaul, berkawan, dan bermuamalah.
Kejujuran dan Kepercayaan
Sifat jujur dan dapat dipercaya adalah ciri khas kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang membuatnya dicintai oleh kaumnya. Kejujuran beliau telah terlihat sejak masa kanak-kanak dan terus berlanjut hingga dewasa.
Masyarakat Mekah memberikan gelar al-Amin kepada beliau, karena beliau dipercaya untuk menjaga barang-barang berharga milik penduduk, seperti emas dan binatang ternak.
Cerdas dan Komunikatif
Kecerdasan adalah sifat penting yang harus dimiliki oleh Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Muhammad SAW. Tanggung jawab yang berat, memerlukan kemampuan untuk memberikan argumen dan berkomunikasi secara baik dan efektif.
Kecerdasan Nabi Muhammad terlihat dalam kemampuannya menerima wahyu dan menyampaikan ajaran tersebut kepada umatnya dengan akurat.
Kepemimpinan beliau juga mencakup sifat tabligh, yaitu menyampaikan kebenaran dengan bijaksana dan tanpa kekerasan.
Kepemimpinan di Puskesmas dengan pendekatan Islami menawarkan kerangka kerja yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan modern. Dengan mencontoh kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, pemimpin Puskesmas dapat mengubah rintangan menjadi peluang dengan memperkuat nilai-nilai kejujuran, kepercayaan, dan kebijaksanaan.
Mengatasi titik buta kepemimpinan seperti kebutaan emosional, strategis, dan keberagaman, dapat dilakukan melalui introspeksi, pelatihan, serta keterbukaan terhadap masukan dari tim. Dengan cara ini, pemimpin tidak hanya meningkatkan potensi diri, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif.
Implementasi nilai-nilai Islami dalam kepemimpinan Puskesmas membawa dampak positif dalam pengelolaan organisasi, menjadikannya lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan.
Ini adalah langkah nyata menuju pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi dan berintegritas, sejalan dengan ajaran Islam yang mengedepankan rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Semoga.[]
Komentar