OBITUARI | Nasir Zalba dan Upayanya Menjaga Toleransi di Aceh

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh periode periode 2018-2021, Nasir Zalba menghembuskan nafas terakhirnya pada Senin (1/3/2021), di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA), Banda Aceh. Ia dikabarkan menderita infeksi saluran pernafasan dan telah dirawat selama sepekan di rumah sakit.
Meninggalnya sosok yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh ini, menyisakan duka mendalam bagi kerabat dan tokoh-tokoh lintas etnis dan agama di Serambi Mekkah.
Nasir Zalba ditakdirkan menyudahi kerja-kerjanya di ranah keberagaman tepat di usianya yang menginjak 61 tahun.
Nasir lahir di Banda Aceh, 19 Februari 1960. Ia tinggal di Jalan Tgk. Di Bitai, tepat di depan Masjid Al Badar, Gampong Pineung, Banda Aceh.
Selama ini, Nasir dikenal sebagai sosok yang mengayomi umat beragama di Aceh, baik Islam, Kristen, Budha, dan juga Hindu. Saat ini, Nasir Zalba ditunjuk Gubernur Aceh sebagai Ketua Tim Lapangan Pembinaan dan Pengawasan Perselisihan Tempat Ibadah Kabupaten Aceh Singkil.
Semenjak 2015, Nasir sudah menangani konflik agama di Aceh Singkil. Ketika itu ia menjabat sebagai kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh. Selama hidupnya, ia pernah mengemban beberapa jabatan, di antaranya Kabag Humas Pemprov Aceh, Mantan Plt Sekretaris KIP Aceh, dan terakhir sebagai Kepala Kesbangpol dan Linmas.
Setelah pensiun, Nasir aktif pada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Hal itulah yang membuat dirinya dekat dan memiliki koneksi serta hubungan emosional dengan tokoh lintas agama di Aceh.
Nasir juga dikenal sosok yang arif, luwes, dan bijaksana. Hal itu bisa dilihat dari cara kerjanya dalam menyelesaikan berbagai sengketa dan konflik antar, suku, ras, dan agama di Aceh.
Di samping ia juga dikenal konsisten, serta tegas dan berani, berangkat dari komitmennya dalam menyelesaikan konflik agama di Aceh Singkil pada 2015 silam.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) memperoleh Harmony Award, Sebagai FKUB Terbaik I Tingkat Nasional dari Menteri Agama RI di Jakarta, saat berada di awal kepengurusan Nasir Zalba.
“Ia Tokoh Pemersatu di Aceh”
Kalimat ini diutarakan Ketua HAKKA Aceh, Kho Khie Siong saat ditemui readers.ID, Senin (1/3/2021). Menurut Aky, Nasir Zalba ibarat seorang ayah, karena mampu mengayomi dan mempersatukan berbagai pihak di Aceh.
“Kesederhanaan yang dimilikinya untuk seorang pejabat sekelas itu jarang dimiliki oleh orang lain,” ujarnya.
Aky terakhir berkomunikasi dengan Nasir pada Desember 2020, ketika ada isu pelarangan Natal di Aceh Tamiang kala itu. Baginya, Nasir tak hanya menjadi sosok yang bijaksana, namun lebih kepada saudara.
Sejauh ini ia mengaku hubungan Hakka dengan FKUB harmonis. Ketika Nasir menjabat sebagai kepala Kesbangpol Aceh, ia orang pertama yang mencari komunitas Etnis Tionghoa di Banda Aceh. Ia dikenal amat peduli kepada kaum minoritas.
"Nasir adalah sosok pejabat pertama di Aceh yang mencari keberadaan kami. Saya pikir hal itu belum pernah terjadi," kata Aky.
"Waktu itu saya kaget. Kok tiba-tiba dihubungi oleh orang sekelas Nasir," imbuh Oky.
Nasir berhasil menghadirkan kembali rasa persaudaraan dengan tokoh-tokoh minoritas dari lintas ras, suku, dan agama di Aceh. Itulah yang menjadi pertimbangan bagi Hakka sehingga komunikasi dengannya terjalin dengan baik.
Sebelumnya, kata Aky, Nasir menjadi sosok harapan mereka untuk bisa bekerja sama memperbaiki masalah-masalah yang terjadi di lapangan.
"Bagi kami, beliau merupakan sosok panutan, kami merasa kehilangan paling mendalam dengan meninggalnya Nasir," pungkasnya.
Terbuka pada Pendapat Siapa pun
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra termasuk satu dari sekian aktivis yang kerap menjalin diskusi dengan Nasir, terutama berkaitan dengan persoalan toleransi di Aceh.
Bagi Hendra, gaya komunikasi Nasir amat sederhana, lugas dan selalu serius menyelesaikan perkara antar agama di Aceh. Ia mengaku terakhir kali berkomunikasi dengan Nasir pada Desember 2020 lalu. Saat itu, keduanya sepakat bertemu dan membahas persoalan pendirian tempat ibadah di Kabupaten Aceh Singkil. Namun, karena kesibukan masing-masing, sampai kini pertemuan itu tak kunjung berlanjut.
Hendra mengenal Nasir sejak 2013 silam. Baginya, Nasir sosok yang enak diajak berdiskusi. Ia luwes dan dapat membawa suasana.
"Berdiskusi dengan Nasir bisa di mana saja. Tak mesti di tempat-tempat tertentu," kata Hendra.
Di sisi lain, kata dia lagi, Nasir bukan sosok yang suka menunda pekerjaan. Ia tampaknya paham betul skala prioritas dari masalah-masalah yang dipetakannya.
Ketika benturan antar agama di Aceh Singkil mencuat pada Oktober 2015 silam, Nasir pernah meminta izin kepada Gubernur Aceh (yang saat itu dijabat oleh Dr. Zaini Abdullah) untuk menangani langsung masalah itu.
"Saya kira tidak ada sosok kepala dinas yang seperti Nasir di Aceh ini," kata Hendra mengenang cerita langsung dari Nasir.
Semasa menjabat sebagai kepala Kesbangpol Aceh, Nasir turun langsung ke Aceh Singkil selama dua bulan, setelah mendapat izin dari Gubernur Zaini. Ia berusaha keras mendorong upaya-upaya penyelesaian konflik di Aceh singkil segera direalisasikan.
"Ia tahu betul tentang Aceh Singkil," ujar Hendra.
Salah satu kelebihannya ini tentu dilatarbelakangi kemampuannya yang pandai membangun jaringan dengan banyak pihak. Hendra mengingat kata Nasir, “Jadi orang itu harus luwes dan harus pandai membawa suasana. Kita tidak bisa membawa diri selalu kita sebagai seorang pejabat untuk bisa ketemu dengan siapa pun.”
Hal itu terbukti dengan sejumlah pertemuannya dengan pihak-pihak yang berbeda pandangan. Khususnya, saat Nasir ditunjuk Gubernur Aceh sebagai Ketua Tim Lapangan Pembinaan dan Pengawasan Perselisihan Tempat Ibadah Kabupaten Aceh Singkil.
“Ia sangat mudah beradaptasi di kalangan masyarakat. Ia kerap bertemu dengan cara-cara informal, dan ia percaya bahwa dari pertemuan semacam itu lah orang akan nyaman untuk menyampaikan pendapat dengan jujur,” ujar Hendra.
Namun, janji untuk bisa bertemu membahas perkembangan penyelesaian kasus di Aceh Singkil awal Februari lalu, tak kunjung terjadi. Kehilangan sosok Nasir pun, kata dia, bisa berpengaruh pada tahap penyelesaian masalah tersebut.
“Setelah Nasir tak ada lagi, bisa jadi semua akan kembali dimulai dari nol. Sebab, saya kira, KontraS tidak menemukan sosok yang paham konteks Aceh Singkil, seperti Nasir. Mungkin ke depan, ini yang akan menjadi kendalanya," imbuh Hendra. []
Komentar