Pakar Sebut Penyanderaan Pilot Susi Air Sebagai Pesan Papua Untuk Indonesia

BANDA ACEH, READERS - Hingga saat ini, Pilot Pesawat Susi Air Pilatus Porter PC 6/PK-BVY, Kapten Philips Max Mehrtens masih disandera oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Dalam pemberitaan sebelumnya, Kapten Philips Max Mehrtens disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua pada Selasa (7/2/2023) lalu dan kemudian membakar pesawat Susi Air tersebut.
Dalih dari penyanderaan Kapten Philips Max Mehrtens berbuntut panjang. Para pakar juga ikut mengulas dan menganalisa soal sandera tersebut. Di antara pakar menyebutkan bahwa penyanderaan itu sebagai salah satu bentuk tamparan keras untuk Indonesia yang harus berbenah lantaran banyaknya masalah yang timbul di Papua.
Selain itu, penyanderaan ini juga diduga sebagai tolak ulur dan mendorong pemerintah Indonesia untuk menarik pasukan militer dari Papua baru kemudian Kapten Philips Max Mehrtens dilepaskan oleh KKB tersebut.
Tidak cukup sampai disitu saja, Kapten Philips Max Mehrtens juga menjadi jaminan politik untuk mengakui kemerdekaan Papua atau melepas diri dari Indonesia. Umumnya, ancaman tersebut tidak hanya terjadi pada 2023 ini namun juga sudah pernah terjadi sejak 1996 hingga memakan korban atas penyanderaan itu.
Berikut ini sejumlah pandangan pakar soal buntut dari penyanderaan Kapten Philips Max Mehrtens seperti dilansir dari CNN Indonesia, Kamis (16/2/2023).
Dalam sebuah video berdurasi 2.51 menit itu, Kapten Philips Max Mehrtens dijadikan sebagai alat jaminan politik untuk mengakui kemerdekaan Papua. Ungkapan tersebut diucapkan Sebby didampingi Ketua Dewan Militer TPNPB Kodap III Ndugama-Derakma, Mayor Oscar Wandikboia dalam sebuah video berdurasi hampir 3 menit itu.
"Kami sampaikan bahwa secara resmi kami telah terima foto dan video pasukannya (Oscar), di mana mereka melaporkan pilot asal Selandia Baru resmi mereka tahan sebagai jaminan politik sebagai negosiasi hak kemerdekaan Papua Barat," kata Sebby dalam video berdurasi 2.51 menit.
Melihat dari pesan tersurat tersebut juga dinilai sebagai salah satu bentuk akumulasi kekecewaan OPM atas banyaknya permasalahan yang terjadi di Papua itu.
Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas menganalisa bahwa penyanderaan terhadap Philips oleh OPM tidak bisa disepelekan.
"Penyanderaan itu adalah tamparan keras bagi Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan di Papua," kata Cahyo.
Ia menambahkan peristiwa penyanderaan yang dilakukan OPM tidak hanya dilakukan sekarang ini melainkan juga pernah terjadi pada beberapa tahun silam. Cahyo menyebutkan pada Agustus 1996, OPM juga pernah menyandera sejumlah peneliti dari Eropa.
Saat itu OPM memberi ancaman yang serupa untuk menarik militer dari Papua dan kemerdekaan Papua diakui.
"Namun, Indonesia justru masih melakukan pendekatan keamanan dengan mengerahkan militer. Walhasil, dua orang yang disandera tewas," jelasnya.
Kemudian, sambungnya, tahun 2023 itu diulangi lagi. Artinya, ada masalah di Papua itu.
"Artinya, penyelesaian permasalahan Papua selama ini going nowhere atau masih di situ situ saja," kata Cahyo lagi.
Cahyo juga menganalisa bahwa upaya OPM tersebut sebagai langkah dan menjadi tamparan keras untuk Indonesia.
"Jadi itu tamparan keras untuk (Indonesia) selesaikan konflik di Papua," jelas Cahyo.
Sementara itu pandangan lain oleh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) asal Papua Yones Douw serta Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Cenderawasih Petrus K Farneubun.
Sebagai aktivis HAM sekaligus OAP, Douw juga tidak setuju menyelesaikan persoalan Papua Indonesia dengan pendekatan militer. Pendekatan ini justru berpotensi menelan korban jiwa karena sudah akan terjadi insiden tembak menembak, salah tangkap, pengungsian, dan kematian. Menurutnya itulah buntut pendekatan militer yang diterapkan Indonesia jika dipaksa dalam menyelesaikan permasalahan di Papua.
Penyanderaan Philips pun juga juga demikian, dirinya mengatakan bahwa hal tersebut harus diselesaikan dengan dialog antara OPM, pemerintah Indonesia dan Selandia Baru.
"Apabila Pilot ini tidak membebaskan lalu lakukan operasi militer untuk membebaskan sandera maka itu kegagalan pemerintah Indonesia," kata Douw.
Douw menyampaikan, saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana keselamatan pilot dan masyarakat sipil di Papua.
Komentar soal penyanderaan ini tidak hanya dari kedua pakar dan tokoh tersebut, melainkan juga dari seorang Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Cenderawasih Petrus K Farneubun.
Petrus K Farneubun menilai penyanderaan terhadap Captain Philips tersebut tidak bisa hanya dilihat sebagai ancaman melainkan dapat menjadi awal Indonesia untuk melakukan dialog bersama Papua.
"Jadi bukan melihat hanya dari segi ancaman sehingga untuk menumpas ancaman tersbut harus dengan kekuatan militer, tapi perlu juga melihat ini sebagai satu peluang untuk sama sama duduk di berunding atau dialog," kata Petrus.
"Dan secara teori, selama masih ada inkompatibilitas ini, maka potensi konflik tetap ada," ujarnya.
Petrus juga menegaskan bahwa tidak bisa berharap bahwa konflik Indonesia dan Papua akan berakhir. Hal ini karena dipengaruhi dari sejumlah faktor salah satunya adalah karena faktor sejarah di masa lalu.
"Kita tidak bisa berharap konflik akan berakhir dengan pengerahan pasukan ke wilayah wilayah konflik atau menumpas OPM karena aspirasi itu muncul dari dalam diri karena berbagai faktor, misalnya faktor sejarah, grievance (keluhan) dan lain-lain," ujarnya.
Komentar